Dengan masa kecilku yang seperti itu, rasanya sulit menemukan pendapat sendiri. Selalu bergantung pada pendapat orang lain. Sebenarnya ada pada diriku yang meminta diperkenalkan. Entah apa namanya yang pasti Aku tak pernah berani menyebutnya sebagai pendapat diri. Kenapa? Karena selama Aku hidup, sering terjadi perdebatan pendapat. Saat manusia yang dianggap masih belum cukup umur ini selalu di sepelekan pendapratnya. Alih-alih membantuku menjadi dewasa, ada beberapa yang menjatuhkanku sampai ke dasar. Belum sempat rasanya Aku menginjakan langkah pertamaku menuju dewasa, mereka dengan tega mendorongku terduduk kembali menjadi manusia yang selalu dinilai manja.
"Kamu ini masih kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa. Jangan membantah, turuti saja!".
Masa kecilku dulu, tak banyak yang tahu betapa sulitnya Aku menerima banyak hal yang tak seharusnya didapatkan oleh yang seusiaku. Sering Aku ingin berontak dan mengadu pada orang tuaku. Tapi seperti ada sisi dimana dalam diri ini yang menolak, melarangku untuk bercerita pada siapapun kecuali Tuhan. Hingga hari ini, tak ada satu pun yang mengetahui bagaimana sebenarnya duniaku saat masih kecil. Saat di sekolah, saat berinteraksi dengan teman, saat mencoba ingin dekat dengan guruku sendiri, pun dengan keluarga besarku, yang seringnya Aku merasa asing dengan yang seharusnya melekat.
Itu semua membuatku menjadi pribadi yang tertutup saat beranjak remaja. Ingin bicara, tapi takut ucapanku tak sependapat dengan yang lain. Ingin bergabung dengan dunia orang-orang baru, tapi takut jika tak mampu seimbang. Berteman dengan beberapa orang saja, itupun sama-sama tak pernah dilihat secara utuh oleh orang sekitar, termasuk di lingkungan sekolah. Masih banyak sekali hal tak menyenangkan yang terjadi selama aku tumbuh. Dan kini, aku telah memasuki dunia manusia-manusia remaja. Masa dimana ada yang berubah 180°.
Aku yang tadinya tak pernah terlihat utuh, kini menjadi bagian dari mereka yang sangat beruntung. Kini Aku sedang berada di tengah-tengah orang dengan tingkat kepintaran yang di atas standar. Aku bukan termasuk manusia dengan isi otak yang seperti mereka, menurutku. Sedikit heran ketika mengetahui hal itu. Entah Aku harus merasa bangga atau malah seperti dikejar hari-hari menyiksa.
Selama beberapa bulan, Aku menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Sulit rasanya berpura-pura terbiasa ditempat yang menjadikan kita semakin terasingkan. Tak ada yang mau mengulur dengan tulus saat kita membutuhkan bantuan. Tak ada yang benar-benar bisa untuk Aku masuki dunianya. Aku terasing. Tak di izinkan membaur dengan yang lain. Hanya ada satu orang yang mungkin nasibnya sepertiku, diasingkan. Tapi Aku tetap tak berani membuat hubungan dengan siapapun, tepatnya setelah Aku sedang berdiskusi dengan diriku sendiri tentang apa yang salah, apa Aku yang salah karena terlalu tertutup atau mereka yang memang tak mau menerimaku dengan tangan terbuka. Tapi rasa-rasanya Aku telah merubah kebiasaan, yang dahulu tak mau membaurkan diri kini Aku mengajak yang lain berbicara lebih dulu, yang dahulu selalu takut sampai tak bisa terjamah dunianya oleh orang lain kini selalu mencoba memasuki dunia orang lain, meski amat sulit. Terlalu menyiksa.
Kalian sudah bisa menyimpulkannya? Iya benar, Aku manusia yang mencintai sepi. Aku akan sangat berterima kasih pada siapapun yang berada di rumah, jika mereka tak menggangguku saat sedang menikmati keadaan kamar, apalagi sedang membaca buku.
Tak ada yang spesial selama itu, Aku tidak menemukan yang bisa memasuki duniaku sendiri. Meski sudah merubah sebagian besar kebiasaanku, tampaknya orang-orang masih enggan menjamah duniaku ini. Di sini tak ada yang menarik, mereka akan merasa hampa sendirian, mungkin pikirnya begitu.
Pada masa dimana Aku mulai membuka gerbang menuju remaja, selama satu tahun lamanya Aku dibuat seperti berada dalam perjalanan laut. Sebentar tenang, sebentar lagi dihajar ombak, lalu akhirnya sampai di daratan dengan keadaan yang entah itu menyenangkan atau terasingkan. Di situlah tempatku beristirahat, sebentar mengambil napas untuk melanjutkan perjalanan yang-entah di depan akan ada apa lagi.
Pada masa-masa pertengahan putih-biruku, ada satu laki-laki yang mencoba mendekatiku. Yaa, semacam pendekatanlah kalau kata anak zaman sekarang. Aku manusia dengan kepolosan yang tebal, dan sikap masa bodoh yang terlalu ini sedang mencoba mengerti 'apa itu berpacaran?'. Apa kalian percaya bahwa pada zaman canggih seperti sekarang ini ada manusia yang sama sekali tidak mengerti teknologi? Setingkat mengirim SMSpun masih harus diajarkan. Percaya tidak? Lalu dengan keadaan yang seperti itu dia hanya mengiyakan saja saat ada yang menyatakan perasaan. Lewat pesan singkat pula, ah cemen sekali kami ini.
Kami tidak lama, dengan kata lain kami memutuskan hubungan saat belum genap berjalan 4 bulan hubungan kami itu. Kalian tau apa sebabnya? Si manusia macam tutup botol sirup itu bermain dengan perempuan lain di belakangku. Sombong sekali dia, wajah tak setampan artis Korea sedikitpun dengan tingkahnya yang kurangajar itu berani sekali dia macam-macam. Untung saja waktu itu aku tidak terlalu mengerti apa itu berpacaran. Tentang bagaimana praktik sebenarnyapun aku tidak mempelajari.
Setelah lama aku sendiri, ada seseorang yang tiba-tiba datang menyapaku. Saat itu aku sudah akan menginjak bangku SMA. Masih saja aku bisa mengingatnya, bagaimana sapa hangat yang pertama kali ia kirimkan padaku.
"Heii, apa kabar?"
Dia siapa? Sebentar Aku sedang mengingat-ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramai Sendiri
Teen FictionBagaimana jika ada manusia yang sangat tertutup dan merasa hidupnya tak jarang merasa tersiksa, terasingkan dan hampa harus berjuang melawan ketakutan dan rasa tidak nyaman pada dirinya sendiri. Melawan apapun yang pernah membuatnya menjadi terpuruk...