Epílogo

1.8K 95 45
                                    

Lima tahun berlalu, namun senyum tak pernah lagi singgah dibibir. Banyak waktu terlewati, namun perasaan yang mati tidak pernah hidup kembali. Air mata tak pernah membasahi wajah, tawa pun tak pernah menggelitik perut. Yang dilakukan hanyalah diam, layaknya patung.

Pundak yang dulu tegap, kini membungkuk lemah. Tubuh yang dulu berisi kini tinggal layaknya tulang belulang. Sungguh miris, namun Ia tidak pernah mau dikasihani. Lebih tepatnya, Ia lebih memilih tak mau peduli. Bahkan pada sisa kehidupannya, Ia hanya tinggal menunggu Tuhan mencabut hukumannya didunia dan membiarkannya membayar dosa di tempat yang semestinya.

Kakinya melangkah tak tahu kemana, Ia hanya mengikuti dua pertugas yang berjalan beberapa langkah di hadapannya. Kepala merunduk, matanya pun lebih tertarik untuk memandangi lantai daripada sekitar.

"Bubun, kita mau ketemu siapa?,"

Telinganya sayup-sayup mendengar suara lucu anak kecil, namun Ia tak begitu mau tahu kenapa ada anak kecil di penjara.

Kakinya lalu melangkah ke sebuah ruangan, Ia tak tahu ruangan apa ini. Karena ini adalah pertama kali para petugas membawanya ke ruangan ini. Asing memang, namun Ia enggan untuk sekedar bertanya dimana gerangan keberadaan mereka sekarang.

"15 menit," salah satu petugas membawanya duduk di depan sebuah meja yang tak begitu lebar. Ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan petugas tersebut, kenapa dengan 15 menit. Namun sekali lagi, Ia tidak akan pernah bertanya. Bibirnya telah terkunci sejak lama.

Tubuhnya tersentak kala sebuah rasa hangat menyapa kulitnya, diikuti sepasang tangan kecil juga jari-jari mungil memegang tangannya.

"Om, tangannya kenapa?," Suara nyaring namun terdengar lembut dengan nada lucu itu membuat kepala yang tadinya tertunduk kini perlahan mendongak. Matanya menangkap sosok mungil juga menggemaskan menatapnya lucu. Ia terkesiap.

Kilatan mata bocah lelaki itu membuat dirinya termenung, Ia merasa tak asing dengan tatapan itu.

Anak lelaki itu kembali memandang tangannya yang di borgol, tangan mungilnya menelusuri permukaan dingin dari borgol tersebut, dahi nya tampak menukik heran karena Ia tidak tahu benda apa yang tengah Ia sentuh sekarang. Lalu bocah itu meringis karena berpikir borgol itu menyakiti tangannya.

"Sakit ya, om?," Anak kecil itu meniup tangannya, bibirnya mengerucut kala mencoba mengeluarkan udara dari bibirnya, namun yah terjadi adalah air liurnya terbang kemana-mana.

Ia lagi-lagi tak merespon apa-apa, hanya saja Ia cukup terkejut ketika anak kecil itu mengingatkan nya pada seseorang. Namun tentu saja walaupun Ia terkejut, yang orang lain lihat hanyalah wajah datar tanpa ekspresi nya saja.

"Bubun, om nya nggak bisa ngomong?," Anak lelaki berumur sekitar 4 tahunan itu mengalihkan perhatiannya. Bertanya pada seseorang seakan diruangan itu Ia tidak sedang sendirian. Dan kenyataannya Ia memang tidak sedang sendirian, banyak pasang mata yang kini tengah memandangnya sedih, sekaligus rindu.

"Kak Minho...," Seakan sesuatu baru saja menamparnya, jantungnya berdetak cepat kala suara itu menyapa telinganya. Suara yang begitu akrab, suara yang begitu Ia rindukan. Kepalanya itu dengan ragu mendongak, detak jantungnya nyaris berhenti kala retina nya mendapati sosok yang Ia yakini si pemilik suara.

Senyum itu, wajah itu, mata itu, juga segala yang ada pada seseorang yang kini tengah ada dihadapannya membuat kilatan di matanya memudar. Tergantikan dengan cairan bening yang sudah lama tak menumpuk di pelupuk matanya kembali memenuhi rongga hingga dalam hitungan detik cairan tersebut jatuh ke lantai.

Air mata pertama sejak lima tahun lalu.

"B-bi... Ch.. Changbin?," suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti gumaman tak berarti yang membuatnya merasa sesak.

[3]Lo Siento (COMPLETE) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang