[3]

25 6 2
                                    

Suara hujan yang menggebu-gebu di luar membuat Sooyi semakin tenggelam dalam lamunannya. Sudah seminggu ini ia diajari Mirae apa saja yang harus ia lakukan, semuanya telah ia catat dan pahami dalam buku kecilnya.

Tidak pernah terlintas sekalipun dalam pikiran Sooyi bahwa ia akan bekerja di rumah sebesar ini. Ia senang tapi juga takut. Majikannya itu walaupun wajahnya sangat tampan dan terlihat manis namun hatinya begitu keras. Ia begitu bingung melihat sifat Mirae dan Jimin yang saling bertolak belakang. Mirae memiliki simpati yang besar terhadap orang-orang di sekitarnya. Sedangkan Jimin sangat pendiam dan tidak mau bicara, dia angkuh dan antipati dengan keadaan sekitar.

Hal yang semakin membuat Sooyi bingung adalah ketika Mirae bercerita bahwa selama ini, Jimin tidak memperkerjakan asisten rumah tangga.
Awalnya ia tidak percaya karena Jimin itu pengusaha sukses, jadwalnya sangat padat ditambah ia merupakan seorang lelaki, gambaran tentang laki-laki yang tempat perangnya bukan domestik sampai saat ini masih melekat seperti suatu prinsip tanpa disadari.

Namun sampai dia menyaksikan sendiri ketika sedang membereskan kamar Jimin tepat pukul 06:15, ia melihat Jimin mengatur stopwatch untuk mandi. Saat ia masuk untuk membereskan kamarnya pun selimutnya sudah dalam keadaan terlipat rapi. Kamar pribadinya tidak pernah ia biarkan kotor, bahkan dinding di kamarnya berwarna biru laut, cerah dan terlihat menyegarkan. Ia begitu apik dalam mengatur rumahnya sehingga Sooyi mengakui pria sepertinya juga bisa melakukan pekerjaan rumah.

Suara pengingat di ponsel Sooyi menyadarkannya bahwa saat ini pukul 00:25, ia harus menyiapkan teh hijau hangat untuk Jimin karena pukul 00:30 adalah waktu Jimin bekerja, lebih tepatnya mencari inovasi untuk pengembangan usahanya. Jimin sangat suka mengolah pikiran dini hari karena ia merasa lebih banyak mendapat inspirasi. Tanpa sadar, Sooyi juga jadi sangat suka berpikir dini hari.

Sooyi mengambil cangkir berwarna abu-abu muda tanpa corak yang diberi tahu oleh Mirae. Cangkir itu adalah kesukaan Jimin. Ia mengaduk pelan teh yang ia buat, sebisa mungkin tanpa suara karena Jimin membenci kegaduhan walaupun jarak dari dapur ke kamarnya jauh.

Saat Sooyi berbalik, ia sedikit terlonjak dengan keberadaan Jimin. Pria ini pasti lupa lagi bahwa sekarang sudah ada asisten rumah tangga. Dalam beberapa tindakan, Jimin terkadang refleks melakukannya sendiri padahal seharusnya itu semua tidak perlu ia lakukan sekarang. Teh hijau hangat yang ia buat hampir saja jatuh dan membasahi tubuh Jimin karena saking dekatnya posisi mereka saat ini, hanya cukup berjarak untuk cangkir yang dipegang Sooyi. Jimin sendiri pun sebenarnya terkejut namun ia tetap memasang ekspresi datar, tapi ia jadi bingung sendiri yang akhirnya membuat keadaan semakin canggung karena tidak ada yang berpindah.

“Permisi, Pak.” Sooyi membungkuk dan hendak segera pergi namun Jimin menahan lengannya. Sooyi panik bahkan cangkir yang ia pegang ikut bergetar.

“Kau salah memegang cangkirnya,” tembak Jimin. Sooyi benar-benar bingung, karena Mirae tidak mengajari cara memegang cangkir ala Jimin, ia hanya mengajari letak gagang cangkir saat diletakkan di meja Jimin tapi tidak dengan posisi saat sedang dibawa.

“Kau tidak tahu?” Tanya Jimin menatap Sooyi.
Sooyi meneguk ludahnya kasar, ia benar-benar tidak tahu, air di dalam cangkir itu semakin bergejolak.

“S-ss-saya..mm...” Sooyi gelagapan, ini adalah pertama kalinya Jimin bicara dengannya namun kondisinya benar-benar menegangkan.

Jimin menghela napas pelan, lebih seperti lelah dibanding marah. “Apa kau tidak tahu tata cara minum dan makan?”
Jimin bertanya lagi. Ya Tuhan, Sooyi ingin menenggelamkan kepalanya ke air panas yang barusan direbus, ia tidak mengerti apa maksud Jimin.

Jimin menjulurkan tangan kanannya. “Bagaimana jika ini terjadi?” Sooyi sedikit memundurkan kepalanya bingung dan hanya diam menatap Jimin, otaknya tidak mampu bekerja.

Jimin bersuara lagi, “Bagaimana kau memberiku teh itu jika gagangnya tidak sesuai posisi tanganku?”

Sooyi membuka celah mulutnya terkejut dan segera memindahkan posisi gagang cangkir yang tadinya ia pegang dengan tangan kanannya sekarang menjadi dipegang dengan tangan kirinya.

“S-ss-saya minta maaf, Pak.” Sooyi membungkuk dan tidak berani menatap Jimin. ia menggigit bibir bawahnya takut dipecat lagi.

“Bagaimana bisa ibu memilihmu menjadi istriku tapi kau melupakan hal sesederhana ini?” Sooyi mengangkat kepalanya. Pertanyaan Jimin yang terakhir lebih membuatnya terkejut.

“Apa?!”

GENERATION [P.Jm] -DISCONTINUE-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang