Prolog

44 9 2
                                    

                               ----
       Senyaman apa pun zonamu. Jika berlainan dengan takdir, maka kau tak lagi punya alasan untuk tidak.
                                •••

Mei, 2019

Kepulan asap vafe menggulung di sebuah gedung besar entah khusus apa. Banyak anak-anak gadis, mereka memakai celana levis dan tenktop yang dilapisi jaket. Tak ayal, remaja lelaki juga ada melengkapi mahluk Tuhan yang saling menyempurnakan ini, meramaikan suasana. Tetapi bukan hal buruk bagi mereka, jika harus menghabiskan uang untuk membeli benda yang muncul asap itu dengan piloxnya sekaligus. Berbeda dengan pemikiran orang tua yang terkadang bertentangan dengan prinsip anak muda zaman sekarang.

"Uang gue dah abis, coy!" Mila menepuk pundak teman lawan jenisnya, di tongkrongan biasa mereka berkumpul. Dia terbilang dekat dengan Mila, setelah satu sahabat karibnya sejak kecil.

"Beli lagi dong lu," balasnya seperti berguyon, gadis itu tahu Fajar tak berniat menyinggung soal uang. Mila hanya membalasnya dengan senyuman.

                             ^^^

"Udah jangan dikasih uang lagi, Pah! Mila udah ketauan kok ngabisin uangnya percuma, beli pilox buat gegayaan jepretan depan kamera?!" teriakannya begitu anarkis. Tangannya spontan menahan uang dari tangan sang papah untuk adik kandungnya.

"Apasih masalahnya buat kamu, Yuni? Mentang kakak belagu banget!" balas adik tak kalah anarkis. Kemarahannya bergejolak di ubun-ubun. Sebab bukan pertama kalinya kakak itu mencegah uang yang akan diberikan papah pada dirinya.

"Udah dong anak gadisku, kalian papah kasih uang sama rata kok ah," kilah papah jujur. Ia mengasongkan uang mingguan pada kedua putrinya dengan tulus serta mendamaikan keduanya.

Suasana rumah megah itu seketika hening kembali, tanpa keributan dari dua anak perempuan yang bedanya hanya satu tahun saja. Mila berposisi sebagai adik, usianya kini 16 tahun. Jelas berbeda dengan kakaknya yang berusia 17 tahun, kelas XI di sekolah yang berbeda. Mereka memiliki kesamaan yaitu suka melukis. Banyak gambar yang sudah mereka lukis, tetapi saling menyembunyikan karya di antara keduanya. Hanya ayah yang tahu ciptaan masing-masing.

Dengan langkah gontai, Mila menjatuhkan tubuhnya di kasur.                        
"Mil, gue ke rumahlu yak?" pinta Fajar memelas, suaranya terdengar memohon dari balik telfon.

"Dih mau ngapain? Ogah ah gue bawa-bawa cowok ke rumah. Kakak gue aja belom berani!" sergahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala tak setuju, meski tahu temannya itu tak akan mengetahui gerakannya.

"Ngalangin aja nih kakak lu, dahal gue pengen ketemu abanglo!"

"Kenapa abang gue coba?! Kenapa gak bapak gue aja sekalian?" Mila terbilang ketus. Btw abang gue kan merantau, kampret! Lanjutnya dalam hati.

"Ya kalau jadi, mau sih. Tapikan bapaklo kayaknya galak, Mil."

"Dasar! Bapak gue kalem, sekalem Pak Sandiaga Uno, apa lu bilang galak?"

"Kan 'kayaknya' Mil," Fajar menekan kata 'kayaknya' dalam ucapannya. "Soalnya... anaknya lebih galak lagi!"

"HAH?!"

Tuttt....

Satu suara yang mengakhiri obrolan pagi pada saat wekeend ini. Fajar memang suka isengin salah satu sahabatnya ini, ah tidak, mungkin teman.

Hooaamm.

Ia melihat jam di ponsel. Pukul 10:39. Rupanya belum dzuhur. Sayang sekali ia bangun, padahal baru saja tidur satu jam setengah. Beberapa menit kemudian, telfonnya berdering. Mila mengangkatnya dengan malas. "Halo?" Tanpa melihat nama orang yang memanggilnya.

"Mil, sana mandi. Kita nongkrong yap?" Suara lelaki, setelah dilihatnya ternyata Fajar. Kesambet apaan nih anak? Tukasnya membatin.

"Gue lagi nabung, gak bisa boros-boros."

"Gue yang tlaktir, ayo cepet!" titah Fajar. Telfonnya dimatikan agar Mila segera bergegas ke kamar mandi.

Fajar dan Mila belum lama kenal, tapi sudah akrab saja, sejak awal masuk sekolah menengah akhir. Mila tipe orang yang tidak mudah menerima laki-laki sebagai temannya. Gadis labil berusia berambut sebahu itu sangat suka menyendiri di keramaian yang menarik perhatian Fajar untuk menemaninya.

Saat tengah melangkah menuju kamar mandi. Mila sempat melirik lemari kaca kecil di dekat lemari pakaiannya. Tak lama setelah menatap, buliran air jenih mengalir di kelopak matanya. "Mila rindu ibu...," lirihnya.

Dengan cepat ia menghapus kasar air matanya. Handuk yang sedari tadi menyangsang di pundak mendadak dilempar ke tempat cucian. Mila mengambil foto yang terpampang wajah dirinya dengan seorang wanita paruh baya, siapa lagi kalau bukan wanita yang telah melahirkannya.

Gak ada yang teriak-teriak lagi nyuruh sholat ke Mila, bu. Kak Yuni udah kayak sampah daur ulang yang bikin Mila males liatnya. Tiap hari ngomporin uang jajan yang dikasih papah buat Mila. Tapi ibu enggak gitu. Kenapa coba ibu harus pergi duluan? Kan rindunya Mila jadi enggak bakal pernah kesampaian. Kecuali ... kalau dirinya mati. Tapi Mila nggak bakal lakuin hal bodoh itu cuma karena rindu. Sejak tadi Mila menggerutu dalam hatinya.

                              ▪▪▪
Instagram penulis @nsfauziah17

HAMASAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang