TUMBAL PERAWAN Part 2

22.7K 306 5
                                    

Suara tonggeret yang bersarang di pepohonan jati sekitar rumah mertua menjadi pengiring deru napasku yang memburu. Dosa besar telah kulakukan. Gadis bertubuh indah itu terkulai lemas di sudut ranjang kamarnya dengan isak tangis tertahan.

"Jangan sampai kamu katakan tentang hal ini kepada siapa pun. Termasuk Mbakmu Retno. Kalau sampai kamu cerita, aku akan membunuhmu," ancamku pada Yeni yang ketakutan.

"Ke-kenapa Mas Bagas melakukan ini padaku?" Terbata, gadis itu bertanya lirih seraya memunguti pakaian di sampingnya yang koyak karena kubuka paksa.

"Kamu ndak perlu tahu," jawabku sambil berpakaian.

"Apa Mas Bagas suka sama aku?"

Seketika aku menoleh ke arahnya. Heran. Kenapa gadis itu sampai berpikir seperti itu.

"Apa maksudmu?"

"Kalau Mas Bagas suka sama aku, harusnya bilang. Jangan seperti ini. Kalau bicara baik-baik, mungkin akan berbeda."

Alisku berkerut, masih tak mengerti.

"Dari dulu, aku sudah suka sama Mas Bagas. Sayang Mas Bagas lebih memilih Mbak Retno dibanding aku."

Mataku membelalak. Tak percaya mendengar apa yang Yeni katakan.

"Jadi? Kamu suka sama aku? Kakak iparmu?"

Yeni mengangguk lemah. Astaga! Sepertinya keberuntungan sedang berada di pihakku. Kenapa baru sekarang gadis molek ini mengatakannya? Tahu dari kemarin, aku tak perlu bersusah payah memperkosanya. Dia pasti datang dengan suka rela padaku.

Aku berdehem sebentar.

"Jangan menyukaiku. Aku ini kakak iparmu," ucapku sok bijak.

"Kalau Mas Bagas menyadari kita adalah ipar, kenapa Mas Bagas menodaiku?" Nada suara Yeni meninggi. Sepertinya dia mulai bisa mengendalikan situasi.

Pertanyaannya membuatku tak berkutik. Tak tahu harus menjawab apa, aku mendekati lalu duduk di sampingnya. Membelai rambut hitam panjang yang tergerai di tubuh putih mulusnya.

"Ini semua salah kamu. Kenapa kamu begitu cantik dan menggoda. Bikin aku tergiur." Meski receh, rayuanku sepertinya mengenai sasaran. Terbukti, gadis berponi itu wajahnya bersemu merah, malu-malu. Entah untuk apa tangisnya tadi, sedang sekarang dia malah tersenyum-senyum padaku.

"Mas Bagas kok malah ngerayu ...." Dasar gadis gampangan, dengan mudahnya masuk perangkap rayuan.

"Loh, ya, ndak ngerayu. Aku ini jujur. Kamu emang cantik." Kukecup ujung kepalanya.

"Gimana kalau kamu jadi pacarku?" tanyaku.

"Hm? Jangan Mas. Aku takut ketahuan."

"Ya, jangan sampai ketahuan, ta!" Kutatap wajahnya yang mirip Retno, oval dengan hidung mancung dan mata bulat. Namun, satu kelebihan Yeni. Badannya lebih montok. Menggiurkan bagi siapa pun yang melihatnya.

"Ya, sudah. Aku mau Mas." Jawaban gadis lugu itu merupakan lampu hijau bagiku untuk kembali menjamahnya.
_______

Puas sekali hari ini. Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Selain bisa memenuhi syarat dari Mbah Somo, aku juga dapat wanita simpanan. Cantik dan semok. Ah, ternyata begini rasanya punya pacar diam-diam, menegangkan sekaligus menyenangkan.

Usai puas menikmati perawan ting-ting, aku pamit pulang sebelum bapak ibu mertua kembali dari ladang.

Yeni melepasku dengan berat, tapi aku tetap pergi. Pulang ke rumah. Sejauh-jauhnya seorang pria pergi, pasti akan kembali juga ke pelukan istri. Bagiku, Retno tak kan terganti. Satu-satunya wanita yang bisa menaklukan hati ini. Kulakukan ritual pesugihan pun demi dia. Agar ia bahagia dan tercukupi semua kebutuhannya.

Sesampainya di rumah, wanitaku sudah keluar kamar. Ia tengah memasak di dapur.

"Dik," sapaku.

"Hm," sahutnya tanpa menoleh. Tetap fokus mengaduk tumis kangkung di wajan.

Aku lalu duduk di kursi dekat Retno berdiri.

"Dik, maafin aku, ya. Jangan marah lagi. Nanti cantikmu ilang, loh, kalau cemberut terus." Kucoba lancarkan rayuan lagi. Semoga kali ini Retno luluh.

"Mas dari mana?" tanyanya masih dengan nada kesal.

"Cari obyekan, Dik."

"Di mana?"

"Ya, muter-muter."

Saat hendak mengambil gelas untuk minum, tak sengaja kulihat jari telunjuk kanan Retno dililit plester cokelat.

"Ini kenapa, Dik?" Kuraih tangannya, mencoba melihat lebih dekat. Namun ia malah menariknya segera.

"Tadi foto di dinding tiba-tiba jatuh, ndak tahu kenapa. Kacanya pecah. Pas bersihin, ndak sengaja kena beling."

"Foto yang mana?" tanyaku dengan jantung berdetak lebih cepat. Jangan-jangan ....

"Foto pernikahan kita." Jawaban singkat itu membuatku kesulitan menelan ludah.

Apa? Foto pernikahan jatuh saat aku sedang berdua dengan wanita lain? Apakah ini firasat untuk istriku? Keringat tiba-tiba mengucur deras.

"Dik, aku ke kamar dulu." Kutinggalkan Retno tanpa menunggu jawabnya. Ingin segera menenangkan diri agar wanita berjilbab itu tak menyadari kegugupanku.

Di kamar, aku merebahkan diri di ranjang. Memikirkan apa yang terjadi pada Retno hari ini. Mungkinkan suatu saat nanti ia akan mengetahui apa yang kulakukan? Semoga saja tidak.

Siang ini sangat terik. Meski begitu, entah kenapa badanku tiba-tiba menggigil. Kurasakan dingin yang luar biasa hingga menusuk tulang.

Aku meraih selimut yang terlipat rapi di sampingku lalu memakainya untuk menutupi seluruh tubuh. Satu lembar selimut ternyata masih belum mengurangi rasa dingin ini.

Aku bangkit. Berjalan dengan tubuh masih menggigil mendekati lemari di mana tersimpan selimut cadangan.

Perlahan kubuka pintu lemari reyot. Kreek!

Hah! Apa itu? Sesosok bayi melayang keluar dari dalam lemari. Aku terkejut dan ketakutan setengah mati. Ingin segera kuberlari tapi kaki ini terasa sangat berat, seperti tertancap di lantai.

Bayi itu mendekat. Wajahnya yang polos terlihat menyeramkan dengan darah belepotan di sekitar mulut seperti habis makan sesuatu.

Karena kaki tak bisa digerakkan, aku mencoba berteriak. Namun lagi-lagi, suaraku tak keluar. Sekuat apapun berteriak, tetap tak terdengar. Bayi melayang itu semakin dekat, lebih dekat, sangat dekat. Dan ....

Tbc.

TUMBAL PERAWAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang