Akan kuajarkan satu mantra.
"Hocus Pocus."
Sebuah mantra kebohongan.
****
Menyusuri rumah kosong ini, aku bersenandung kecil. Lagu kenangan, mengingatkanku dengan beberapa teman baik. Ketika senandungku berhenti, aku sampai di sebuah pintu.
Di balik pintu, terduduk seorang gadis, menyayat pergelangan tangannya sendiri sembari menangis.
"Berhenti," Aku menggerutu, "Self-harm tidak menyelesaikan masalah."
Gadis itu menoleh. Raut wajahnya begitu hancur, kutebak dia menyayat wajahnya sendiri secara asal. Juga, tangan tangannya yang penuh oleh sayatan pisau. Darahnya mengalir deras, khawatirnya dia kehabisan darah.
Memprihatinkan.
"Jangan mendekat!" Dia memperingatkan kala aku melangkah mendekatinya.
Silet yang kau pegang tadi, kau acungkan ke arahku. Saat kau sadar tidak berhasil, dengan cepat mengarahkannya ke lenganmu. Tepat di mana pembuluh darah seharusnya berada. "Jangan mendekat atau aku bunuh diri."
Ancaman tidak berhasil, aku sudah berdiri di hadapannya. Jongkok, aku mensesajarkan mata kita.
Gadis yang malang. Tergores banyak lebam selain sayatan di wajahnya. Ada yang sudah menghitam adapula yang masih biru. Kutelusuri lebih lanjut. Tepat di bawah leher terdapat luka bakar bekas rokok. Tidak hanya satu, tapi beberapa luka bakar dalam di tempat yang sama.
Beralih ke tangannya sendiri, terlihat tidak mempu bergerak. Kram tulang, terlalu banyak menahan sakit. Luka sayatan tipis di beberapa daerah, sisanya lebam yang sama. Kondisinya lebih parah dari dugaanku.
"Aku jelek!" Dia mulai meracau, "Tapi aku juga manusia! Berhenti. Sakit. Sakit. Sakit."
Air matanya jatuh, bercampur dengan darahnya mengalir menyusuri pipinya yang bonyok.
"Aku bukan karung tinju, bukan asbak, bukan bola, bukan budak, bukan rendahan," dia menjerit. Sambil terus menatap mataku, dia melempar siletnya dan mulai memelukku. "Kumohon, tolong aku."
Kubalas pelukannya, memeluknya dengan lembut ku berbisik, "Mau ku ajarkan satu mantra?"
Atensinya teralih. Kini fokus menatap mataku dari bawah daguku.
"Hocus Pocus."
Dia menjadi lebih tenang. Tidak lagi menangis, namun tubuhnya masih bergetar. Masih lemah. Kupeluk lebih dalam.
"Tolong aku."
Aku menangguk. "Akan kutolong."
"Sakit, sakit."
Ku tenangkan tubuhnya dengan menepuk punggungnya. "Pasti akan lebih baik."
Gadis itu menggeleng. "Mereka tak mau berhenti."
"Tak ada yang menyakitimu."
"Mereka memukulku."
Aku menepuk terus punggungnya, menenangkannya yang masih bergetar hebat.
"Menonjokku, membantingku. Sakit, ini sakit. Semuanya sakit. Badanku sakit, hatiku... sakit."
Dia kembali menangis, kali ini tanpa berteriak. Tetap saja aku menepuk lembut gadis ini di bawah daguku.
"Aku jelek,"
"Tidak."
"Mereka berkata aku tidak berguna."
"Mereka belum mengerti kamu."
"Mereka benci suaraku."
"Telinga mereka sakit."
"Mereka tak mau berhenti."
"Kau gadis paling cantik yang kulihat."
Gadis itu menggeleng. "Aku paling jelek yang pernah ada. Buruk rupa. Mata besar. Hidung besar. Bibir kecil jelek." Dia memukul mulutnya sendiri. "Aku tak pantas hidup."
Ku elus kepalanya yang mungil. "Sussh, kamu pantas hidup. Berkatmu, ada satu pria yang bangkit dari keterpurukan. Ada lebih banyak lagi yang berterima kasih atas kehadiranmu."
"Karena akulah yang menyelamatkan mereka dari perundungan!" Mulai berteriak, "Aku target para perundung. Aku yang dirundung merek selamat!"
Aku menggeleng, berusaha menenangkan gadis itu sekali lagi. "Pria itu masih mencarimu. Jangan sampai kau menghilang."
"Tolong aku. Jauhkan mereka. Aku takut, aku tak mau sakit lagi," racaumu dalam nada bergetar.
"Akan aku selamatkan."
Gadis itu menggeleng. "Mereka berjanji mengarakku ke rumah lacur. Aku tak mau. Lepaskan aku."
"Mereka takkan berhasil. Akan aku gagalkan."
"Mereka membuang benda-benda berhargaku. Aku ingin benda itu kembali. Mama, kalung mama di salah satu benda itu. Mama..."
"Akan kutemukan untukmu."
"Mama memberikannya. Di saat terakhirnya bernafas. Aku ingat dengan jelas bagaimana mama pergi. Bagaimana mama mati. Takut."
Ku tutup matanya. Gadis yang malang.
"Mereka merebutnya. Mereka mengambil orang yang kusayang. Menjauhkan mereka. Aku sendiri. Aku gamau sendiri. Aku takut."
"Aku takkan pergi. Kutemani kau. Kau tak sendiri."
"Tolong..."
Ku tutup mulutnya dengan sebuah kecupan. Lembut, sebentar namun berhasil membungkamnya.
Lalu aku tersenyum padanya. "Tenang saja, aku akan menyelamatkanmu. Menjauhkan mereka seperti katamu dan takkan menghilang. Aku mencintaimu. Akan kubahagiakan kamu."
Gadis itu menggeleng. "Aku tak pantas."
Ku usap kepalanya. "Tak perlu memantaskan diri. Aku yang membutuhkanmu." Kupeluk dia. Mengecup puncak kepalanya. "Kamu sudah cukup."
Kau pun akhirnya tersenyum.
"Hocus Pocus."
Sebuah mantra penenang maupun pengalih. Namun yang pasti Hocus Pocus hanya sebuah mantra, sebuah kebohongan.
.