🌿🌿🌿
Tolonglah!
Kamu hanya ilusiku, hanya teman khayalankuKamu hanya proyeksiku,
karena tidak ada yang mau berteman denganku....
Enda aditya~ Putuanugraha
Lift, dua jam kemudian.
Cahaya bergerak ke kiri, bergantian menerangi angka demi angka yang berderet di atas pintu lift. Sementara aku masih memperhatikan perempuan cantik yang sejak masuk hingga sekarang menatap ponselnya.
Bagaimana bisa dia berjalan tanpa melihat ke depan?
"Di ponselmu ada rapat penting sama Pentagon untuk selamatin bumi dari serangan alien ya, Mik?"
Dia langsung mendongkak, menoleh kearahku.
"Eh, Enda. Aku nggak tahu ada kamu," jawabnya tersipu.
"Itu karena kamu asyik sendiri, Mik."
"Maaf. Hahaha." Dia tertawa ringan. "Ngomong-ngomong, aku ada cerita nih. But, talk to you later, ya? Aku mau ketemu orang dulu," katanya.
"We'll always meet, Mik."
"Absolutely, tempat biasa?"
"Ya." Pintu lift kembali tertutup tepat saat kami saling melempar senyum.
Kafe, setelah tiga jam.
Tempat ini seperti kuburan, yang terdengar cuma suara derap hujan di langit-langit dan jalanan.
"Mas, cafe latte satu, ya!" Seru Mika kepada pelayan yang baru beberapa langkah keluar dari bar hendak membawakan menu untuknya. Pelayan itu pun terpaksa balik badan.
"Ya, bagaimana tadi? Eh, kamu mau minum apa, Nda?"
"Aku kesini untuk dengerin cerita kamu."
"Ah, jangan kaku begitulah, kayak lap kanebo kering aja." Mika kemudian memesan air putih mineral untukku.
"Jadi, siapa namanya?"
"Reza. Dua hari lagi dia kesini."
"Pertemuan pertama?"
"Iya."
Kini ponselnya menampilkan foto laki-laki.
"Ganteng." Kupaksakan berkomentar.
"Iya dong." Mika mengangguk lalu melihat kembali ke ponsel sambil tersenyum.
"Kalian sudah jadian?" Dia mengangguk lagi, tanpa melihatku. Aku tersenyum. Hujan diluar kafe makn deras. Pelayan datang dengan segelas caffe latte panas.
Air putihnya?
Taman kota, seminggu kemudian.
"Jadi? Putus?"
"Iya, putus." Mika menghela nafas panjang.
"Apa masalahnya? Jarak atau cemburu?" Tanyaku lagi.
Jarak dan kepercayaan, dua hal ini selalu menjadi masalah pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh. Entah apa yang sesungguhnya terasa jauh: kota dan tubuh, atau hati keduanya?
"Keduanya, Nda. Pertama, dia membahas jarak karena selama ini sulit bertemu denganku. Tapi, makin lama cemburunya makin kelihatan, makin meledak-ledak...," Mika menjelaskan. Dadanya kembang-kempis tak beraturan. "Lalu..." Dia berhenti bicara.
"Taham, minumlah dulu," kataku, Mika menurut.
"Lalu dia membahas gambar kita yang kuletakkan di meja kerja." Mika menarik nafas lagi. "Sudah kujelaskan kamu temanku, tapi dia masih aja nggak terima. Cuma karena menyimpan gambar kita, dia bilang aku sakit." Jelasnya.
"Mik, dia yang sakit karena nggak bisa terima kita." Jawabku. "Mika, lihat aku," pintaku sembari menatapnya.
"Sadarkah kamu, Mik, bahwa selama ini kamu nggak pernah sendiri? Bahwa selama ini aku selalu ada bersamamu?"
Dia tersedak.
Kemudian benar-benar menangis. Tersengal karena jeda-jeda yang terpaksa dia tahan dari dadanya.
"Enda...," sebut Mika lirih.
"Yes, my dear." Aku menjawab sambil meraih pipinya yang mulai sejuk.
"Enda, maafkan aku."
"Nggak apa-apa."
"Bukan, Enda, bukan itu." Dia menyeka air mata lalu melanjutkan kata-katanya. "Kamu harus menerima ini semua, Enda."
"Maksudmu?"
"Enda sayang, sahabatku yang baik..." Mika berhenti, tampak ragu. "Kamu nggak nyata."
Aku tersentak, mencoba berdiri tapi limbung.
"Kamu nggak nyata, Enda, kamu cuma teman khayalanku..."
"Nggak!" Aku berseru kepadanya.
Aku terpukul mundur.
"Aku bisa jelaskan, Enda. Kamu hanya proyeksiku karena nggak ada yang mau berteman denganku. Bahkan keluargaku menganggapku aneh..."
Dia menghela nafas lagi. Aku diam, menunggu
"...karena aku sering ngomong sendiri. Bicara sama kamu yang nggak bisa mereka lihat," katanya. "Enda, selama beberapa hari sejak Reza mengatakannya kepadaku, aku mulai menyadari sesuatu, bahwa aku nggak bisa terus begini. Aku butuh hidup normal, Nda! Selama ini aku terlalu nyaman berteman cuma sama kamu!" Ujar Mika.
Nafasnya mulai terkendali, membuatku sadar bahwa dia menyampaikan hal ini dengam sadar. Seketika kepalaku mengingat kejadian yang lalu. Percakapan di lift yang cuma dimengerti kami berdua. Pertanyaan pelayan kafe tentang air putih. Orang-orang yang tak menabrakku di jalanan karena aku yang lebih dulu menghindari mereka.
Ya, mereka semua sama sekali tak melihatku.
"Mbak?" Cahaya senter tiba-tiba memotong percakapan kami. "Maaf, taman ini sudah tutup," ujar seorang satpam.
"Maaf, pak, saya juga sudah mau pulang." jawabnya.
"Sendiri aja, Mbak? Mari saya antar ke pintu gerbang."
"Terima kasih, Pak."
Mika bangun dari kursi, menengok ke arahku lalu tersenyum. Dia berjalan, meninggalkan aku terpaku.
Lampu taman mati satu per satu. Mika dan satpam itu menjauh. Aku pudar ditinggalkan cahaya.
...
A/n : Jangan mau jadi silent readers, 1 vote dari kalian sangat berharga;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Weird Destiny : Random Story
Historia CortaYa, Takdir memang sedikit lucu atau bahkan aneh, karena kenyataannya membuat lidahku kaku dan tenggorokanku tiba-tiba mengering, sehingga yang ku perbuat hanya memainkan jari-jari lentikku diatas papan qwerty dengan bahasa yang agak rancu. namun ter...