[23] Rewrite.

2.8K 388 26
                                    


***

Prilly menatap Ali linglung. "...apa?"

"Udah nggak ada kesempatan lagi, kan?" lirih Ali dengan putus asa. Cowok itu berbalik bersiap untuk pergi.

"Kalau kita ngulang dari awal, artinya kita harus ngulang rasa sakit yang sama." Prilly menunduk ragu. "kayak baca buku 2 kali, mau diulang berapa kali, tetep aja akhirnya sama.."

Ali merasa sekujur tubuh nya melemas. Pundaknya meluruh. Mati-matian cowok itu berusaha menahan kemarahannya. Ia marah, marah karna tak bisa membuat Prilly bertahan bersamanya.

Sejak dulu... memang tidak ada orang yang bisa bertahan didekatnya.

"Nggak ada yang salah, kita bisa ubah itu Prill!" balasnya dengan suara bergetar. "Ini nggak sama kayak baca buku 2 kali, kita tulis ulang cerita kita sendiri!"

"Tapi Ali..."

"Gue mohon jangan pergi lagi, gue nggak mau kehilangan lagi!" Ali berkedip beberapa kali, berusaha menahan air matanya. "karena dihidup gue... gue nggak punya banyak,"

"Apa yang kamu harapin dari aku, Li?" tanya Prilly culas. "aku cacat, aku nggak punya kaki. Mereka semua bener, aku itu nggak pantas buat kamu."

Cewek itu terduduk, melempar kaki yang disebut 'palsu' oleh teman-temannya itu ke sembarang arah. "AKU PALSU, LI!"

Ali terdiam mendengar semua teriakan Prilly. Tubuhnya membeku, ketika Prilly memukul lantai koridor dengan frustasi.

"AKU GAK BUTUH INI! AKU BUKAN PEREMPUAN PALSU!!" Cewek itu menatap Ali dengan sinis. "Sekarang kalau aku begini, kamu pasti bakal ninggalin aku."

Ali menggeleng kaku.

"IYA! LO PASTI NINGGALIN GUE HABIS INI!"

Ali berjongkok, lalu memeluk gadis itu erat-erat. "Nggak..."

Prilly meronta kencang. "LEPAS! BILANG KALO LO JIJIK SAMA GUE! AYO BILANG, LI!"

"Nggak akan," Ali tetap memeluk Prilly, membiarkan cewek itu menangis sejadi-jadi nya di pelukan nya. Matanya mengedar, memastikan tidak ada satu orangpun yang dikoridor ini. Tidak ada yang boleh melihat Prilly seperti ini.

Sepi.

Setelah merasa Prilly sudah tenang, Ali melepas pelukannya, kemudian bergerak memungut kaki palsu yang sempat membuat Prilly histeris.

"Dengan atau tanpa ini," Ali mengangkat kedua kaki palsu ini ke depan wajah Prilly yang muram. "Di mata gue lo tetep cantik."

"Bohong," desis Prilly.

Ali tersenyum kecil. "Gue udah tau dari dulu, gue selalu perhatiin itu." Cowok itu memasangkan kaki palsu itu pada Prilly. "gue nggak peduli sama ini, gue sayang sama lo."

Prilly memperhatikan Ali yang sibuk memasang kaki palsunya. Ada perasaan lega saat melepas semua hal yang ia tahan selama ini. Cewek itu bergerak, "ini di ikat dulu,"

Ali mengernyit sebentar, kemudian mengangguk. "Begini?"

Prilly hanya diam tak menjawab, sampai Ali selesai memasangnya. Cewek itu bersuara, "kamu... nggak mau tanya aku?"

"Tanya apa?"

"Soal tadi," Prilly mengepalkan tangannya.

Ali memeluk Prilly tiba-tiba. Cowok itu memejamkan matanya, "gue nggak akan tanya lagi."

"Kenapa?"

"Kalau lo nggak mau, gue nggak akan paksa. Tapi, jangan minta gue buat pergi, karna gue nggak bisa."

Tangan Prilly terangkat, kemudian mengelus punggung Ali. "Kayaknya belum terlambat, Li." bisiknya, sambil melepas pelukan mereka.  "Tapi ini," Prilly menunjuk kakinya. "Bakal selalu nyusahin,"

"Prill?"

"Ayo kita baca buku 2 kali," Prilly melempar senyum manis ke arah Ali. "bantu aku buat ubah isi buku kita!"

Ali membalas senyum itu, lalu mengangguk. Kejadian ini membuatnya melihat sisi lain dari Prilly. Prilly bukan hanya perempuan lembut, penyabar, dan juga pendiam. Ia mendengar semua perkataan orang sekitar, lalu memikirkannya.

Ali melihat Prilly yang rapuh, dan ketakutan. Tapi entah mengapa semua itu justru membuatnya makin mencintai gadis itu.

Ali... makin jatuh ke dalam pesona Prilly.

***

"Masakan kamu enak, walaupun cuman mie instan." ujar pak Bondan, sambil tertawa renyah.

Prilly menggigit pipi dalamnya malu. "Saya akan belajar lagi, pak!"

"Ini dirumah, bukan disekolah." Pria paruh baya itu melirik putranya yang hanya diam. "tiru Ali, dia selalu membangkang kalau dirumah."

"Pa?"

Prilly tersenyum lucu. "Iya om, nanti Prilly belajar masak lagi!"

"Lo tinggal disini aja!" seru Ali tiba-tiba.

Tawa pak Bondan terhenti. Dilihatnya Ali dengan bingung. "Maksud kamu?"

"Ayahnya nggak tanggung jawab, Ali cuman nggak mau Prilly kenapa-napa."

"Huh?" Pria itu membetulkan letak kacamatanya, lalu menatap Prilly. "bisa kamu jelasin?"

"Ayah udah nggak pulang ke rumah 2 bulan, Prilly juga nggak tau Ayah kemana." jawab Prilly ragu.

"Kamu nggak tau?" pak Bondan menatap Prilly dengan kaget. "Ayah kamu dipenjara karena kasus pencurian, pihak sekolah dapat informasi itu sekitar sebulan yang lalu."

"Papa tau?"

"Prilly nggak bayar uang sekolahnya selama sebulan, jadi pihak sekolah nyari tau. Papa kira Prilly udah tau semua ini."

Prilly sudah tidak kaget lagi. Dia hanya tidak terima dengan kelakuan ayahnya yang tidak mengabarinya sama sekali. Tangannya mengepal, menahan sesak di dadanya.

"Lo tinggal disini aja," Ali menyodorkan air putih pada Prilly.

"Kamu harusnya bilang 'yang sabar, ya' begitu!" sang Papa berbisik kesal. Anaknya itu... tidak bisakah bersikap sedikit prihatin?!

"Ali nggak akan suruh Prilly buat sabar," jawab Ali cuek. "karena tanpa Ali bilang, Prilly pasti udah sabar duluan. Iya, kan?"

Prilly terdiam. Bahkan saat Ali menariknya keluar rumah, dia hanya menurut saja.

"Gue romantis nggak?"

Cewek itu mendongak, menatap Ali yang memang lebih tinggi darinya dengan polos.
"Iya.."

Cowok itu tertawa, kemudian merangkul Prilly dengan erat. "Jangan sedih-sedih, ya? Lo bilang mau ubah isi buku kita."

"Bantu aku ya, Li..." bisik Prilly penuh harap.

***

END.

Love You, Nerd! (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang