!! caution :
do not read if you don't like a book with sad ending. i've write the sequel of this book, you can just skip this part if you want to read the sequel (without being heartbroken). thank you for your understanding.
17.09.20
Rena tengah membereskan meja kamarnya. Ia berencana menelepon Haechan, yang kini berstatus sebagai pacarnya. Astaga, bagaimana tuhan bisa membalikan takdir seperti membalikkan telapak tangan.
Gadis itu merapihan rambut dan duduk diatas kasurnya. Ia menekan tombol 'panggilan vidio' di gawainya. Tapi, tumbennya telepon tidak diangkat. Padahal ini malam minggu, dan ini hari ulang tahunnya. Tidak mungkin pemuda itu lupa, bukan?
Ah, haechan ingin mengerjainya. Ah, oke, aku terima, batinnya.
Ia memilih untuk mematikan lampu kamar dan tidur. Mungkin saja besok pagi Haechan datang? Astaga, mimpi yang sangat indah.
Tengah malam ia terbangun, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk terjadi. Ia menengok ke jam digital yang ada di nakas sebelah kasurnya. Sekarang pukul 11.15.
Rena mengambil gawainya dan kembali membuka roomchatnya dengan Haechan. Pemuda itu masih belum membuka gawainya, pesan yang tadi ia kirim masih centang satu, dia belum membacanya.
Bukannya Rena terlalu berlebihan, tapi agak aneh dan firasatnya merasa kurang enak. Ia mencoba menelepon kembali pemuda itu. Telepon tidak diangkat, tapi terhubung ke layanan pesan suara.
"Rena," terdengar desahan berat dari pemuda itu. Benar dugaannya, ia sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu ingat? Waktu aku bilang jangan menyerah padaku, karena aku akan berjuang padamu?" Pemuda itu tertawa, pelan sekali. Ia menghela napasnya, terdengar nenyayat hati, entah kenapa.
"Untuk kali ini," lanjutnya. "Untuk kali ini, menyerahlah padaku."
Hening.
"Aku," napasnya menderu, "Maaf,"
"Menyerahlah, karena aku sudah menyerah." Ujarnya. Suaranya begitu pelan sehingga yang terdengar seperti bisikan. Rena hanya terdiam. Terdiam sangat lama. Ia masih belum bisa mencerna semua ini.
Pemuda itu menarik napasnya dalam-dalam. "Maaf karena aku sudah menyerah, bukan hanya padamu tapi pada dunia dan segalanya."
"Maaf karena aku," kata-katanya terhenti yang selanjutnya terdengar adalah isak tangis. Haechannya kembali menangis. Setelah sekian lama Haechannya tak pernah menunjukkan pilunya, sekarang ia kembali menangis, dan untuk saat ini Rena tak bisa memeluknya lagi seperti saat itu. Saat dimana Haechannya pertama kali menangis di hadapannya.
"Rena, aku, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Kupikir segalanya akan berangsur membaik, tapi ternyata, aku salah." Pemuda itu semakin tersedu-sedu, larut dalam tangisnya. Kim Rena membeku, kepalanya kosong. Tak ada hal yang bisa ia katakan atau lakukan.
"Kau benar, yang aku selama ini lakukan hanyalah berlari, aku selalu berlari dengan alibi aku mencoba bertahan, dan kau benar, aku tak sanggup lagi untuk menahannya, ternyata."
Rena tak dapat menahan perih di dadanya. Ia begitu ingin memeluk pemuda itu. Mengatakan bahwa, perlahan semuanya akan membaik. Rena begitu ingin mendekapnya, beserta seluruh perihnya. Tapi sayang, jarak tak bisa ditembus dengan sekedar tangis ataupun rindu.
"Rena, maaf karena kamu harus mendengar semua kesedihanku ini, maaf karena semuanya, jangan merasa bersalah atas apapun, Rena. Kamu tidak pernah bersalah, hanya saja aku tidak begitu kuat untuk bertahan."
Untuk sejenak pemuda itu terdiam. Ia mengambil napas dan tertawa, pelan. Tertawa seolah ia sedang begitu bahagia. "Rena, aku hampir lupa. Selamat ulang tahun, maaf aku tidak bisa lagi mengatakannya lagi tahun depan. Aku pamit, jaga dirimu baik-baik, permintaanku jangan menyerah dulu kalau belum waktunya, maaf aku hanya berakhir menjadi pengecut, Ren.
"Kita adalah hancur yang mencoba bertahan, tapi maaf aku tak lagi bisa menahannya. Kuharap, tawaku selama ini dapat membuatmu bertahan jauh lebih lama dibandingkan diriku. Kita dulu, sekarang dan selamanya, Ren. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, aku sayang padamu." Panggilan ditutup.
Rena tak tahu harus bagaimana. Ia, juga hancur sekarang. Ia merasa sedih dan begitu marah. Marah karena segalanya. Begitu marah. Entah kenapa ia marah, ia kecewa. Tidak bisa dijelaskan bagimana rasanya.
Sampai akhir, Haechannya tidak sadar, bahwa ia adalah pilar terkuat di hidup Rena. Ia begitu menyesal, ia begitu ingin lenyap dari muka bumi ini. Jiwanya tersedot habis entah kemana.
Semua ini adalah kado terburuk yang pernah ia dapatkan.
[end]
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA || HAECHAN
Fanfic𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠, 𝐚𝐤𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐫𝐢𝐧𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞 𝐛𝐮𝐦𝐢. sebuah kisah pendek tentang gadis pengagum matahari. amigdala 01, com...