TUMBAL PERAWAN Part 8

12.8K 286 44
                                    

Rasa deg-degan semakin menjadi kala motor yang kukendarai sudah sampai di depan rumah Lastri. Di teras yang remang-remang, samar terdengar beberapa wanita sedang berbincang-bincang, entah membicarakan apa karena tak terlalu jelas.

Usai melepas helm dan meletakkan di spion, aku berjalan ke teras sambil memperhatikan dua orang yang duduk di sana, membelakangiku. Dari kejauhan, mereka belum terlihat jelas. Namun, semakin dekat, dua wanita itu mulai bisa kutangkap sosoknya. Siapa mereka? Dada terasa berdebar-debar. Dan ... saat mereka menoleh ...

Hah? Tidaaak ...!

Lastri mengerjaiku rupanya. Gila! Dua perawan yang ia janjikan ternyata amat sangat jauh dari ekspektasiku.

Aku bahkan hampir membatalkan ritual pesugihan nanti malam kalau tak terancam akan mati. Ini sungguh menyebalkan!

Melihatku datang, Lastri dan dua temannya langsung menyambut.

"Mas Bagas, kenalin temen-temenku. Yang ini namanya Mbak Sumiati." Seseorang yang ditunjuk oleh Lastri segera mengulurkan tangan. Sebenarnya amat malas menjabat tangannya, tapi terpaksa kulakukan agar rencanaku tak gagal.

Kutatap wanita itu dari atas sampai bawah. Usianya sekitar empat puluh lima tahunan. Mungkin lebih, terlihat dari kerut di wajahnya yang sudah mulai jelas. Tubuh pendek dan berlemak di mana-mana. Rambut ikal sebahu dicat pirang, sungguh tidak cocok dengan warna kulitnya yang hitam. Memakai celana jeans dan kaos lengan pendek warna kuning super ketat hingga gumpalan daging terlihat jelas tercetak. Persis seperti kepompong.

"Halo, Mas Bagas. Saya Mia," sapanya genit. Iuh! Mia? Pret!

"Bagas," ucapku singkat.

"Kalau yang ini Mbak Warti," ujar Lastri sambil menunjuk ke arah wanita satu lagi. Makhluk ini lebih tak berbentuk lagi dibandingkan Sumiati. Usianya jelas lebih tua, sekitar lima puluhan tahunan. Giginya sudah ada yang ompong. Badannya sedikit lebih tinggi dari Sumiyati, tapi lemaknya lebih banyak. Mungkin bisa dijual dan laku dengan harga tinggi jika ia seekor sapi. Penampilannya hampir sama dengan temannya itu, mungkin mereka janjian mau kembaran. Huh! Dipikir mau pawai pakai seragaman?

Kuterima jabat tangan Warti, dan secepat kilat melepasnya. Kalau terlalu lama bisa-bisa tanganku remuk diremasnya.

Sekali lagi kupandang mereka berdua ... astaga! Makhluk apa ini? Lastri benar-benar membuatku gila. Mungkin memang benar mereka masih perawan, tapi ... ah ... rasanya ingin menangis saja. Haruskah kutiduri mereka? Apa mereka memenuhi kriteria sebagai tumbal? Entahlah ....

Setelah berbasa-basi sebentar, kami lalu bersiap pergi ke sebuah hotel melati di tepi pantai yang jaraknya sekitar dua belas kilometer dari rumah.

Aku dan Lastri berboncengan, sedang dua makhluk jadi-jadian itu naik motor mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan, Lastri menempeli erat tubuhku. Rasanya hangat. Senangnya. Akan tetapi kesenangan itu tiba-tiba harus menguap kala teringat akan dua 'perawan' teman Lastri. Kini, aku malah jadi kesal sendiri.

"Tri, kamu mau ngerjain aku, ya?" tanyaku ketus sambil terus mengendarai motor.

"Maksudnya?" Lastri malah balik bertanya.

"Ndak usah pura-pura ndak ngerti. Maksud kamu apa bawa ondel-ondel dua itu? Masa kamu tega lihat aku nganu sama mereka?! Kamu tega banget sama aku, Tri!"

Perempuan seksi itu bukannya menjawab, malah tertawa terpingkal-pingkal. Sialan!

"Habisnya mau yang kayak gimana, ta, Mas? Mau yang kinclong? Ya, susah! Sudah mending ada yang mau. Daripada gagal rencana kita."

"Kamu, tuh, ya! Paling-paling ini cuma akal bulusmu. Kamu niat ngerjain aku, kan?!" Kesalku sudah memuncak di ubun-ubun.

"Ndak, Mas. Lha, stok perawan yang ada dan mau diajak kerjasama ya cuma mereka berdua. Mau gimana lagi?" Lastri cekikikan.

Semprul! Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Tak ada yang bisa dilakukan untuk merubah keadaan. Waktu sudah hampir habis. Hanya ada dua pilihan yang tersisa, maju terus dengan meniduri mereka, atau mundur dengan terancam akan mati. Dan, aku pilih yang pertama. Meski berat, tapi setidaknya masih ada Lastri yang bisa jadi madu sebagai penawar dua racun itu.

Setelah memakan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sebuah hotel kelas melati di area pantai Laut Selatan. Tempat yang biasa digunakan para muda-mudi atau pasangan selingkuhan saling memadu kasih.

Kami bergegas masuk, check-in, lalu ke kamar. Aku hanya pesan satu kamar, biar irit. Namanya juga hotel melati, tak ada aturan ketat, yang penting bayar. Ada uang, kami senang. Begitu moto yang tertulis di dinding resepsionis. Ah, moto macam apa itu!

Di kamar yang tak terlalu luas ini, hanya ada sebuah tempat tidur ukuran sedang, sebuah meja di sampingnya, dan dua kursi kayu. Jendela kaca besar tertutup gorden berada di samping pintu masuk. Tak ada kamar mandi dalam. Jika mau mandi, pengurus hotel bilang, kamar mandi ada di ujung bangunan. Pemakaiannya bergantian dengan tamu hotel yang lain.

Kikuk. Itu yang kurasakan pertama kali. Berada dalam satu kamar dengan tiga wanita itu membuatku sedikit canggung.

Teringat perkataan Mbah Somo, sebelum melakukan ritual, aku harus membakar dupa terlebih dahulu, lalu membaca mantra yang sudah kuhapalkan. Maka, kulakukan apa yang dukun itu perintahkan. Sementara itu, ketiga perempuan itu malah cekikikan. Entah apa yang mereka bicarakan.

Seketika bau wangi menyeruak ke seluruh ruangan, bahkan mungkin sampai keluar. Seperti terbius mantra, tiba-tiba kurasakan dingin. Pun ketiga wanita itu juga mengatakan hal yang sama. Gorden yang semula tenang, tiba-tiba bergoyang perlahan seperti tertiup angin tapi tak ada angin di sini. Pintu dan jendela bahkan tertutup rapat. Di balik kain penutup yang bergoyang itu samar-samar terlihat sosok hitam berdiri sambil mengamati kami. Jantungku langsung berdegup kencang. Mungkin itu makhluk halus peliharaan Mbah Somo yang akan menikmati perawan melalui tubuhku.

Benar saja, tak lama makhluk itu seolah berjalan menembus jendela masuk ke kamar ini. Namun setelah itu ia tak terlihat lagi. Tubuhku gemetaran. Peluh sebesar biji jagung bercucuran. Tiba-tiba ... semua menjadi gelap.
_______
Aku membuka mata saat sinar matahari menyusup masuk melalui celah-celah jendela menerpa wajah tampanku. Aku termenung sejenak mengumpulkan kesadaran. Beberapa detik kemudian baru teringat sedang berada di sebuah hotel bersama tiga orang perempuan.

Aku bangkit. Duduk, lalu mengedarkan padangan ke seluruh ruangan. Tak ada seorang pun kecuali diriku sendiri di sini. Ke mana tiga tumbalku? Dan kenapa pula aku tak mengenakan pakaian selembar pun? Aku sama sekali tak ingat apapun tentang kejadian tadi malam. Ada apa ini?
_______
Tbc.

TUMBAL PERAWAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang