Happy reading....
"
"Apa maksud mu dengan mengatakan jika aku hanya temanmu?!" Aku menyembur Arsen tatkala acara mentraktir Adlan-ku kacau.
"Snow, tenanglah." Arsen terlihat sama frustasinya dengan ku, tapi mengapa ia harus demikian? Aku yang di pojokkan di sini.
"Tenang katamu? Arsen dengar, aku tidak butuh pengakuan tapi setidaknya berikaplah jujur pada kekasihmu." matanya yang tajam menyorotiku tanpa berkedip dari balik kacamatanya.
"Aku sedang berusaha untuk itu, tapi kau muncul-- tidak, kalian bertemu saat aku belum sempat berkata jujur." ya Tuhan ku, ia calon pewaris kedudukan tertinggi di perusahaan paling berkelas di London. Tapi bagaimana bisa ia senaif ini.
"Kita hampir 3 minggu bertunangan, dan kau belum memberitahunya? Apa yang akan ia pikirkan ketika kau bilang jika kita akan menikah, Arsen ini konyol!" aku tidak peduli berapa banyak pasang mata yang menyaksikan perdebatan ini.
"Snow..."
"Berhenti memanggilku seperti itu."
"Dengar, aku lebih mengerti kekasihku. Jadi jangan terlalu memikirkannya, kami saling mencintai maka tidak akan terjadi apa-apa walaupun kita menikah, kau mengerti?" hatiku mencelos saat kata-kata Arsen tepat mengenai ulu hatiku. Benarkah ini? Aku terjebak di antara hubungan asmara 2 orang yang saling mencintai? Terkutuklah aku.
"Jika begitu, aku kira... berteman denganmu bukanlah pilihan yang baik. aku lebih senang menikah dengan musuhku sekarang, bukan dengan temanku. Selamat malam, dan selamat tinggal Mr.Mitchell." aku menahan air mata yang siap meluncur dari pelupuk mataku. Aku memutar tumit dan berjalan cepat menuju pintu keluar kafe yang baru kemarin menjadi tempat kerjaku.
"Snow! Snow kembali ke sini,..." aku mendengar intrupsinya tapi aku tak peduli, aku melangkah dengan langkah lebar-lebar.
Tak terasa air mataku menetes, aku ingin berteriak sekuat tenaga rasanya. Aku kalut dan merogoh ponsel, mencari kontak Laura.
"Hey... ada apa Ash?" aku mendengar suara riang khas milik Laura membuatku sedikit lega.
"Hai..." sialnya aku sedikit terisak saat menjawab Laura, oh aku tidak ingin ia khawatir.
"Oh Ash, ada apa?" aku sekarang benar-benar terisak.
"Tidak ada, apa kau ada waktu?" sebisa mungkin aku menormalkan suaraku walaupun air mataku tetap mengalir.
"Kau di mana? Aku akan menjemputmu, Ash." aku menyebutkan tempat ku berada, dan menunggu Laura. Aku duduk di taman kota yang sedikit jauh dari kafe. Aku tidak ingin Arsen menarikku pergi lagi, aku benar-benar tidak mau bertemu dengannya.
"Ash?" aku terlonjak saat suara Laura ada di belakangku, "Kau baik?"
Sontak saja aku memeluknya erat karena memang ini yang aku butuhkan, Laura seperti mengerti dan mengelus punggungku. Ia menularkan rasa tenang saat memelukku.
"Laura... Aku tidak yakin dengan perjodohan ini" saat aku mulai tenang, kami duduk di bangku taman dan mulai menceritakan apa yang terjadi.
"Apa yang terjadi? Bukankah kau bilang kalian mulai berteman?"
"Awalnya seperti itu, tapi tadi aku melihat kekasihnya saat akan menemui Adlan di kafe. Aku sudah mengetahui tentang wanita itu dari Adlan, tapi tanpa di duga Arsen dan kekasihnya menemui kami di kafe..." Laura mendengarkan dengan penuh minat, aku menahan gejolak yang seperti membakar hati ku saat akan mengatakan ini, "Arsen mengenalkan aku sebagai temannya."