Syahirah 2 || BAB 12

207 10 0
                                    

Selama mengajar, Syahirah tidak pernah fokus. Ia merasa ada yang menjanggal hati dan pikirannya. Ada sesuatu yang tidak bisa digambarkan olehnya dengan kata-kata. Mungkin seperti perasaan hilang, tapi Syahirah merasa barang-barangnya tidak ada yang hilang ataupun tertinggal. Lalu, selama mengajar ia terus teringat oleh mamanya.

Kembalinya Syahirah ke kantor guru, ia mengambil handphone-nya yang berada di dalam tas dan mengeceknya. Ia melihat ada dua puluh kali panggilan tak terjawab dari kakak iparnya dan sepuluh panggilan tak tertajawab dari kakak laki-laki satu-satunya.

Perasaan gelisah, khawatir, dan sesuatu yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata kini bercampur aduk menjadi satu. Syahirah mencoba menghubungi kakak iparnya karena kakak iparnya menelponnya hingga dua puluh kali, tapi tidak dijawab. Akhirnya ia menghubungi nomor kakaknya, aktif dan tidak butuh waktu lama bagi kakaknya untuk mengangkat panggilan.

"Assalamu'alaikum ka Reno, ada apa nelepon Sya? Ada hal yang sangat pentingkah?"

Dari panggilan suara itu, Syahirah bisa mendengar suara pengajian. Banyak orang berada dirumahnya sedang membaca surah Yaasin. Bukan hanya membaca surah Yaasin, bahkan suara tangis isak dari kakaknya bisa ia dengar sangat jelas. Ada apa ini? Perasaan ini semakin tidak karuan.

[Wa'alaikum salam].
Suara kakak Iparnya-lah yang terdengar. Farah yang menjawab telepon karena Reno merasa tidak sanggup. Bahkan sekarang ia masih menangis terisak, belum bisa mengendalikan tangis dan emosinya.

"Kak Farah sama kak Reno nelepon aku sampai berkali-kali ada apa? Terus kenapa ada suara orang ngaji? Ada pengajiankah? Lalu, aku dengar suara kak Reno nangis. Ada apa?"

Syahirah tidak lagi mendengar suara kakak iparnya. Farah terdiam. Di seberang telepon sana, Farah menahan tangisnya. Ia berusaha untuk menormalkan suaranya, tapi tidak bisa. Suaranya bergetar. Ia ikut merasakan kesedihan suaminya dan rasa kasihan terhadap adik iparnya.

"Kak Farah?" Syahirah memanggil lagi. "Ada apa kak?" Syahirah tidak bisa mengendalikan pikirannya untuk tidak berpikiran negatif. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang ada dipikirannya. Satu hal yang sangat ia takuti, yaitu kehilangan orang satu-satunya ia sayangi pergi meninggalkannya. Ia tidak mau memikirkannya dan tidak mau hal itu benar-benar terjadi.

[Cepat pulang ke rumah, Sya. Mama ... mama meninggal]
Farah akhirnya berbicara setelah seperkian detik terdiam. Syahirah tentu saja tidak langsung memercayainya.

"Kak Farah jangan bohong. Aku juga nggak mau bercanda," kata Syahirah mencoba menyingkirkan pikiran negatifnya itu.

[Kakak nggak bohong. Kakak juga nggak becanda. Mama kamu meninggal]
Syahirah tidak bisa mendapatkan suara kakak iparnya yang bercanda. Terdengar suara kakaknya yang begitu serak dan berat menyuruhnya untuk segera pulang kerumah mama.

Rasanya baru kemarin Syahirah berkumpul dan mengobrol dengan mamanya. Baru juga kemarin Syahirah wisuda dan foto bersama mamanya. Lalu, hari ini ia mendapatkan kabar yang tidak pernah terduga. Untuk kedua kalinya, ia mendapat kabar tidak mengenakan di sekolah.

Sebelas tahun yang lalu, ia mendapat kabar ayahnya meninggal juga saat berada di sekolah. Sekarang pun sama. Syahirah segera meminta izin untuk pulang lebih awal.

***

Aldo tidak pernah menduga dapat kabar kalau ibu mertuanya meninggal dunia. Kini pikirannya ke mana-mana. Ia memikirkan dan membayangkan wajah istrinya yang bersedih. Wajah yang ingin selalu ia buat tersenyum, kini menangis. Aldo segera mengakhiri kelasnya.

Baru saja Aldo ingin memberitahu Syahirah kalau ia menjadi guru disebuah sekolah menengah atas. Meskipun hanya jadi guru honorer, setidaknya ia bisa mengajar selain menjadi dosen. SMA tempatnya mengajar nanti, lokasinya lebih jauh dari kampusnya yang sekarang. Hampir di daerah Bogor. Dan Aldo akan menjadi guru SMA lusanya.

Aldo menyetir mobil di atas kecepatan rata-rata. Ia ingin segera menemui sang istri dan menenangkannya. Untuk sekarang, Reno sendiri pasti tidak bisa menenangkan adiknya. Maka dari itu, kehadiran dirinya saat ini sangat dibutuhkan oleh Syahirah.

Sesampainya dirumah mertuanya. Banyak sekali orang-orang berdatangan untuk takziah. Aldo memakirkan mobilnya tidak jauh dari halaman rumah. Ia segera masuk ke dalam menemui Syahirah. Istrinya itu sedang duduk di dekat tubuh mamanya yang sudah kaku dan dingin. Aldo dapat melihat air mata Syahirah yang terus mengalir sangat deras.

Aldo juga melihat Reno yang sedang duduk tidak jauh dari Syahirah. Punggungnya bersandar pada tembok dan kepalanya berada dipundak istrinya. Farah merangkul Reno. Membawanya ke dalam pelukan dan mengusap-usap lengan suaminya agar lebih tenang. Keadaannya sangat kacau sekali sama seperti Syahirah.

Aldo berjalan masuk ke dalam dan duduk di sebelah Syahirah. Langsung membawa istrinya ke dalam pelukannya. Syahirah bersandar pada dada bidang Aldo dan menangis di dalam pelukan Aldo.

"Mas, mama, mas Aldo." Syahirah terisak. Melihat Syahirah yang menangis terisak seperti saat ini membuat hati Aldo ikut teriris. Ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Syahirah.

"Sya, kamu harus kuat, harus tegar. Aku tau kamu sayang banget sama mama kamu, tapi Allah lebi sayang sama mama kamu. Makanya Allah menyuruh mama untuk pulang. Di sana mama sama ayah kamu akan bertemu. Biarkan mereka bahagia Sya. Kamu kirimi Al-Fatihah untuk mereka. Kamu anak yang shaleha," kata Aldo. "Kamu masih punya orang yang sayang sama kamu. Ada aku, kak Reno, kak Farah, ayah dan mama aku yang merupakan orang tua kamu juga." tambahnya.

***

"Sya, aku keterima jadi guru di sebuah SMA. Dan lusa aku sudah mulai ngajar," Aldo memberitahu Syahirah saat pada malam hari. Setelah acara tahlilan dirumahnya selesai. Ketika Syahirah sudah merasa lebih baikan.

Syahirah terdiam. Ia masih tidak bisa menghadapi kenyataan. Kini ia sudah kehilangan dua orang yang paling ia sayangi. Sosok seorang ibu dan ayah kini sudah tidak akan pernah ia dapati lagi. Kasih sayang mereka, setiap kali Syahirah datang ke rumah ini, ibunya pasti menyambutnya dengan sangat antusias meskipun terkadang dirinya tidak pernah membawa sesuatu setiap kali berkunjung.

"Sya," Aldo memanggil istrinya dengan lembut. Karena sedari tadi istrinya hanya diam dan sering melamun. Makan saja sedari tadi tidak. Padahal Syahirah belum makan sejak dari tadi siang.

"Mas, lusa itu baru tiga harinya mama. Masa iya mas tega ninggalin aku? Memangnya nggak bisa ditunda dulu?" Kali ini ke-egoisannya memenuhi dirinya. Syahirah masih dalam suasana berkabung, tapi Aldo lebih mementingkan perkerjaannya.

"Enggak bisa Sya. Kalau aku bisa tunda, aku akan tunda sampai minggu depan."

"Terserah mas Aldo aja!" Syahirah meninggalkan Aldo yang masih berada di dalam kamar. Aldo mengusap wajahnya dengan gusar. Saat ini dirinya dalam posisi serba salah.

Reno yang kebetulan melewati kamar adiknya. Melihat Aldo sedang duduk dipinggir kasur dengan wajah ditekuk. Reno pun masuk ke dalam kamar menghampiri Aldo.

"Ada apa?" Aldo mengangkat wajahnya menatap Reno yang sudah berdiri di hadapannya. "Enggak ada apa-apa bang," kata Aldo.

"Syahirah marah ya?" tanya Reno. Aldo terdiam dan menekuk wajahnya kembali. Reno duduk di sebelah Aldo dan menepuk bahu laki-laki itu. "Syahirah kalau lagi sedih memang suka begitu. Sensitif. Tapi, dia begitu karena dia enggak mau ditinggal. Apalagi saat ini dia sedang berkabung. Jadi, dia ingin orang yang di sayangi selalu ada di sisinya hingga dia benar-benar merasa sangat baikan," tutur Reno. Aldo menatap Reno.

"Tapi, bang. Saya nggak bisa menunda mengajar di SMA. Terlebih lagi saya sudah lama melamar pekerjaan di sekolah itu," jelas Aldo setengah putus asa. Reno mengangguk. "Gue ngerti, tapi lo harus ngertiin Syahirah juga. Nggak mungkin harus gue yang menenangkan dia kan. Sedangkan gue aja punya istri yang sedang mengandung. Gue harus merawat dan memerhatikan istri gue." kata Reno.

"Tapi saya juga nggak bisa ninggalin pekerjaan saya begitu saja. Itu juga kan demi Syahirah, bang."

"Ya udah, kalau gitu lo omongin dulu secara baik-baik ke Syahirah. Kalau Syahirah marah atau terbawa emosi, lo harus sabar. Jangan ikutan emosi. Lo juga jangan egois," saran Reno. Sebelum ia beranjak, ia menepuk bahu Aldo dan pergi keluar dari dalam kamar. Aldo menghela nafas panjang.

Syahirah 2: Aldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang