Sederetan pesan menunggu untuk dibaca. Dentingan bunyi panggilan tak berhenti memecahkan kesunyian di subuh hari ini. Pricillia Agnesia, wanita kelahiran Inggris ini terpaksa menetap di Indonesia untuk melanjutkan bisnis ayahnya yang ada di sini.
Tentu hal yang sangat membosankan katanya. Ia harus bekerja? Bukankah kebebasan lebih baik pada usianya saat ini. Dia masih terlalu muda untuk disebut ibu di kantornya. Begitulah celoteh pikirannya beberapa hari lalu saat tiba di Indonesia. Jika saja dia punya keahlian magic, mungkin waktu akan selalu ia ulang kembali ketika akan mencapai titik ini.
"Baby ... please wake up!"
Suara milik ibunya sudah seperti Harimau yang mengaung kelaparan mencari mangsanya. Sambil digoyangkannya badan Pricillia dengan lembut. Terlihat sekali bahwa mereka tidak menyukai sesuatu yang kotor, apalagi menyentuh adik beradik yang bernama kotor itu. Lihat saja, jari jemarinya begitu halus seperti kain sutera.
"Mom, please! Pri masih ngantuk. Okay?"
Tubuhnya menggeliat manja di atas kasur. Ditariknya selimut hingga menutupi sebagian dari wajahnya.
"Pri! Ini sudah jam berapa? Kamu harus ke kantor sekarang! Mommy nggak mau ya denger ocehan daddy kamu,"
Selesai dari memberi petuahnya. Ibu Pricillia langsung berhembus pergi begitu saja. Namun sia-sia, Pricillia tetap menikmati nafas tidurnya yang berat. Sangat tidak mungkin mewujudkan mimpi buruknya sekarang dengan harus pergi ke kantor. Bekerja? Dipanggil sebagai ibu? Dan harus mengorbankan jam tidurnya? Oh Tuhan ... itu benar-benar candaan yang paling kejam.
"Where Pricillia, Hon?"
Tanya Lelaki yang masih terlihat muda dengan celana dan baju olahraga. Nampaknya akan pergi jogging.
"Dia nggak mau pergi ke kantor. Tolong jangan menyalahkan Mommy, Okay? Sudah capek sekali ngebangunin tapi masih aja kayak dilem mata Pri,"
Oceh Ibu Pricillia dengan memotong-motong roti sangat kesal. Haruskah roti manis itu yang menjadi pelampiasan?
"Seharusnya mommy ajarkan dia untuk bangun pagi. Daddy ada acara pagi ini di Gedung Olahraga. Ada perlombaan besar, di kantor ada asisten Daddy yang handle biar dia yang akan menjelaskan kepada Pricillia posisinya," Jelas Antoni, ayah dari Pricillia.
"Up to you!"
Emosinya sangat meronta ingin keluar saat ini. Karena takut akan terjadi peperangan di meja makan, Bu Theresia langsung pergi dari suasana yang kurang baik tersebut.
"Pri! Tolong bantu mommy, Honey. Please wake up! Daddy kamu udah celotehan mommy baru aja di meja makan. Mommy tuh kesel tau! Arrrggghhh ...,"
"Mom, i am so tired now. I can't open my eyes, Please your attention," bantah Pricillia menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal.
"Okay, jangan salahkan kalau mommy mendadak jadi orang gila," rayunya dengan nada dibuat sesedih mungkin.
"Ok fix, aku bangun."
***
Ini bukan seperti sebuah keluarga yang sedang menikmati sarapan pagi. Melainkan seperti sedang memerankan film horror. Angker, tidak menyenangkan, begitu menegangkan. Sama sekali bukan keluarga yang dipenuhi kasih sayang.
"Assalamu'alaikum," terlampir pesan masuk di Handphone milik Pricillia.
Baru saja akan membalas pesan tersebut. Tangannya sudah lebih dahulu dicubit oleh ibunya.
"If eating don't play your handphone! Finish your food,"
"Mommy ...,"
"Kalian bisa diam? Apa tidak bisa makan dengan tenang?" Bentak Antoni.
Setelah menajamkan tatapan ke arah istri serta anaknya, ia berucap lagi, "Kalian nggak bisa ya tidak bicara saat makan? Apa saya harus makan dengan lauk liur celotehan kalian ini, hah?"
"Dad! Kita ini nggak bertengkar, daddy aja yang terlalu takut kalau pikiran tentang wanita jalang itu terusir dari pikiran daddy, iya 'kan? Jangan menyalahkan aku ataupun mommy, kalau yang selalu memancingkan keributan dan menghilangkan keharmonisan di rumah ini adalah daddy. Nggak sadar, eh?" Balas Pricillia gegabah.
"Kurang ajar kamu ya!"
Antoni baru saja akan melayangkan tamparan ke wajah anak sulungnya itu. Namun diurungkan karena handphone miliknya berdering.
"Saya segera ke sana, iya pak. Hehe, mari. Selamat siang."
Tanpa berbasa basi dan mengeluarkan kata-kata apapun. Antoni langsung melenggang meninggalkan Pricillia yang menangis dan Theresia yang terkaku di posisi duduknya.
"Apa yang sudah kamu bicarakan, Honey? Apa daddy kamu selingkuh dari mommy? Jujur sama mommy!"
Dengan sisa-sisa menahan rasa perihnya, Theresia membuka suara untuk menanyakan perkataan putrinya tadi.
"Aku berangkat, Mom,"
Tanpa penjelasan apapun, dia mengelap air matanya kasar. Pricillia kemudian mengemasi perlengkapan yang akan dibawa ke kantor dan memilih langsung berangkat setelah mencium kedua pipi ibunya.
Apa yang sudah dipermainkan semesta. Theresia begitu bingung saat ini, apa suaminya telah bermain api? Apa suaminya tidak sungguh mencintai dia? Adakah salah yang membuat semua ini terasa begitu rumit?
Pricillia menghempaskan tubuhnya di kursi mobil. Beberapa hari lalu dia membaca pesan masuk di handphone ayahnya yang berisi [Aku hamil, Mas. Sudah saatnya keluarga kamu tau mengenai keberadaanku.] Dia tak bermaksud berbicara seperti tadi di hadapan ibunya. Namun mau bagaimana lagi? Mulutnya sudah lebih dahulu dipancing amarah.
Dreeet ... handphone milik Pricillia bergetar lagi.
Menunjukkan sebuah nama The Best Human yang mengiriminya pesan.
"Jangan lupa untuk tersenyum hari ini, Peri manis:)"
Begitulah isi pesan yang dikirimi orang yang belum diketahui siapakah ia sesungguhnya kecuali Pricillia. Spontan karena menerima pesan dari orang tersebut, Pricillia langsung melupakan perasaan marahnya tadi.
Dan lihatlah ... sekarang senyum merah merona hadir dari bibirnya. Begitu manis ...
*****
Jangan lupa untuk kritik dan sarannya teman-teman.
Semoga saya bisa terus memperbaiki karya saya dengan dukungan teman semua. Aamiin
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR yang Sesungguhnya
Teen FictionApa pendapat banyak orang mengenai LDR? Apakah cinta yang dipisahi oleh jarak? Mungkin begitu. Tapi tidak pada kenyataannya. Bagi seorang Pricillia, LDR adalah perbedaan antara keyakinannya dengan sang kekasih. Lalu bagaimana mereka meloloskan diri...