Bagian 4

13.5K 1.4K 54
                                    

Dian tidak jadi pulang ke rumah orang tuanya. Mendadak, ia ingin merayakan satu juga subscriber Youtubenya di sini. Di dapur yang mewah, berinterior mengagumkan dengan peralatan serba lengkap rugi bila tak dimanfaatkan.

Sudah ada tiga temannya sebagai tim KreasiDian tengah mempersiapkan peralatan untuk pembuatan video.

"Alamak! Ini rumah kau macam istana begini, luas kali." Itu suara Fauzy, mahasiswa multimedia asal Medan. Dia menjabat sebagai kameramen sekaligus kreatif. "Beruntung sekali kau, Di. Punya suami tampan, mapan pula!" seru pemuda itu tak henti-henti melontarkan pujian. Sedari tadi, pandangannya pun sibuk mengitari ruangan dapur.

"Gue punya ide!" Kali ini Radith yang menimpali. Dia juga mahasiswa multimedia, asal Jakarta yang menjabat sebagai editor. "Gue mau bikin konten grebek rumah lo, Di. Boleh kan?" Begitulah kalau sudah berurusan dengan orang Jakarta, logatnya lo gue, Dian sempat ketularan, meskipun gaya bicaranya kaku.

"SURUH BAYAR, DI!!" Dan si cempreng ini namanya Talia, dia sahabat yang merangkap sebagai asisten. Asalnya dari Jogyakarta.

Pengambilan video dimulai. Dian berdiri di belakang meja bar, menghadap mangkuk-mangkuk kecil berisi bahan-bahan kue yang sudah berjejer rapi. Di depan sana, agak jauh sekitar dua meter ada Fauzy dengan kameranya yang terletak di atas tripod siap untuk membidik objeknya.

"Hai, hai ... Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh! Wellcome to my youtube chanel sahabat KreasiDian yang berbahagia. Pertama-tama aku ucapkan terimakasih untuk satu juta subscribenya, uh, kalian keren!" Dian mengacungkan dua jempol ke udara. "Dan buat kalian yang belum menekan tombol subscribe ... aku tunggu silakan tekan sekarang! Karena subscribe itu mudah guys! MUDAH! Tinggal klik. Hahahahaha"

"Cut! Cut!" Si Fauzy menginterupsi. "Di, kau jangan lebar-lebar ketawanya. Nggak bagus, Di. Hilang keanggunan kaaaau!"

Yang ditegur langsung meringis malu. Fauzy memang sangat responsif dengan kelakuan Dian yang dirasa kurang pas. Saat Fauzy sibuk dengan ceramahnya, tim Dian yang lain justru sibuk mencibir, dan itu sukses membuat Dian tertawa terpingkal-pingkal.

"Kalian ini! Dikasih tahu," beo Fauzy seraya melempar pelototan tajam ke arah Radith dan Talia bergantian.

"Woles, My Man! Lo kayak bapak-bapak tauk! Geli gue dengerin lo ngoceh mulu."

"Yaudah sih biarin. Itu kan emang udah jadi ciri khasnya Dian. Sableng, nggruis, yowes ben!" celetuk Talia pada akhirnya.

Dian menepuk pundak Talia pelan, sekata-kata dia! Yakali cewek cantik, anggun, baik hati kayak dirinya dikatain sableng, dan apa tadi? Nggruis? Bahasa mana itu?

Fauzy pun akhirnya mengalah dan menurut, dia seperti tersadar telah banyak mengatur.

"Okelah! Action!" Pemuda itu kembali membidik ke arah Dian. Mulailah Dian bercuap-cuap ngalor-ngidul sambil mempraktikkan pembuatan Tart Pie.

Dua jam terlewati akhirnya kelar juga. Sekarang mereka tengah menikmati menu kuliner ayam goreng yang Dian pesan melalui daring.

"Nggak kuat aku, Di. Lain kali kau beli yang nggak pedas-pedas amatlah. Kau kan tahu kalo aku tak suka pedas."

Dian mengangguk.

"Ya entar lo gue beliin bubur bayi, yang nggak pedes," sahut Radith.

"Ada apa dengan kau dari tadi. Sengak kali sama aku?"

"Besok minta sambelnya pisah aja. Huh hah! Aku juga nggak kuat," pada akhirnya Talia ikut mengeluh juga.

Well, diantara mereka berempat bisa dilihat siapa yang paling maniak sambel, Dian dan Radith. Bahkan keduanya pernah membuat konten challenge makan samyang double spicy dan masih ditambah bon cabe, Dian dan Radith pemenangnya.

Setelah kenyang, si Fauzy dan Radith pamit pulang. Sedangkan Talia memilih tetap tinggal.

"Aku mandi dulu, Li. Kalo kamu mau mandi, di deket dapur ada kamar mandi."

"Ntar deh. Nanggung lagi seru!"

Talia sedang main game, tak bisa diganggu gugat. Dian cuma bisa menggeleng samar sembari melangkah masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai dengan urusan membersihkan diri, Dian tak mendapati Talia di kamar. Macbooknya sudah mati, artinya dia sudah selesai bermain. Gadis itu lantas masuk ke dalam walk in closet untuk berganti pakaian terlebih dahulu sebelum keluar kamar untuk mencari Talia.

"Di, masmu itu dokter?" tanya Talia yang tiba-tiba muncul.

"Dokter? Arsitek dia!"

"Oh. Trus ruangan yang deket gazebo timur itu buat apaan?"

"Ruang apa emang? Dua hari di sini aku belum sempat keliling sih."

"Kulihat sih kayak semacam ruang khusus praktek dokter."

Gerakan Dian menyisir rambut seketika terhenti. Perkataan Talia berhasil menarik perhatiannya. "Ruangan dokter?"

Mereka pun akhirnya menghampiri tempat itu. Benar kata Talia, ada sebuah ruangan yang terletak di timur rumah utama. Depan ruangan itu ada taman kecil berair mancur dan ada gazebo. Di terasnya beberapa kursi panjang yang berlapis busa tertata rapi. Dian mendekati satu-persatu kursi itu. Pikirannya sudah tak tentu arah, lebih tepatnya ia sangat penasaran.

"Kayak ruang tunggu klinik gitu nggak sih? Makanya tadi kupikir suamimu dokter." Talia bergumam di belakangnya.

Sekarang langkah Dian mendekati pintu masuk, di dinding sebelah kiri ada plakat yang masih kosong. Orang bodoh pun paham apa tujuannya memasang plakat itu, sudah pasti untuk diisi nama.

Tiba-tiba, satu prasangka menyabet keras isi kepala Dian, membuatnya tertegun sebelum bergegas memutar kenop pintu dan masuk ke dalam. Tubuh Dian menegang. Di dalam terdapat ranjang pasien yang kasurnya masih terbungkus plastik. Satu meja kerja dan tiga kursi. Furnitur dan elemen interiornya bernuansa merah muda. Wall covering bergambar binatang, dan tokoh kartun. Benar dugaannya, ini ruangan khusus praktek dokter, lebih tepatnya dokter spesialis anak.

Detak jantung Dian kian berpacu. Dian memang belum pernah melihat Setya membawa seorang wanita untuk diperkenalkan sebagai kekasih. Tapi ada satu wanita yang sangat dekat dengan Setya melebihi apapun sejak masa mereka kanak-kanak. Namanya Hayu. Wanita itu seumuran dengan Setya. Keduanya tumbuh kecil bersama di panti, sebelum akhirnya Setya diadopsi keluarga Bramantya.

Dian tahu, peran Setya di Panti sangat berpengaruh. Setelah karirnya sukses, selain membiayai sekolah adik-adiknya di panti, Setya juga membiayai pendidikan Hayu sampai menjadi dokter spesialis anak. Luar biasa bukan? Kabarnya Hayu hanya mendapat beasiswa sampai lulus S1 sedangkan cita-citanya ingin menjadi ahli pediatri.

Mungkinkah suaminya menyiapkan semua ini untuk wanita itu? Atau bahkan mungkin, bangunan mewah ini beserta isinya seharusnya menjadi milik Hayu?

Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang