"Sungguh, Ki. Saya tidak tega Umbara kecewa mengetahui ini, saya biyungnya dan tahu betul sifat anak itu. Dia tidak dapat melupakan sesuatu yang sangat dicintainya."
"Aku juga tahu, Nyai ingat dengan iket pemberian Puspa Resmi waktu mereka masih kecil," sahut pria tua yang tak lain adalah Ki Saga.
"Iya, ingat. Kemudian ikat kepala itu hanyut saat Umbara berenang di sungai. Dia merasa sangat kehilangan kemudian jatuh sakit tak kunjung sembuh. Setelah Puspa datang dan menyuruhnya merelakan iket itu, barulah dia sembuh," tutur Nyai Kedasih.
"Takutnya yang ini akan lebih parah."
"Parah apanya, Bopo?" Suara itu menimpali dari belakang rumah. Kemudian pemilik suara muncul dan mendekati mereka.
"Aduh, suaraku terlalu nyaring," rutuk Ki Saga.
Pemuda yang tak lain adalah Umbara itu duduk di antara mereka.
"Umbara." Ki Saga menyapa. "Ayo, kita makan bersama, rasanya sudah lama sekali kita tidak pernah makan bertiga seperti ini!"
"Biyung cuma bisa masak cah kangkung dan sambel uleg, tidak ada yang lain untuk menyambut kedatanganmu."
Pemuda itu tersenyum tipis. "Apa Biyung lupa kalau cah kangkung buatan Biyung itu adalah makanan kesukaan saya?"
Umbara mulai menyantap hidangan malam. Meski suguhannya sederhana namun terasa sangat nikmat saat bersentuhan dengan indra pengecap. Bagi Umbara masakan ibunya ini sangat nikmat dan tidak bisa didapat di tempat lain.
"Setelah ini, mungkin saya tidak akan pernah makan masakan Biyung lagi."
"Iya, Biyung paham. Kan kamu sudah menjadi guru besar Jagadita. Pasti kamu akan semakin jarang kembali ke sini." Raut wajah Nyai Kedasih terlihat murung.
"Kalau begitu saya akan sering ke Sendang Tirta...."
"Tidak apa, Umbara. Jalankan tugasmu sebaik mungkin, kami baik-baik saja di sini. Lagipula perjalanan yang kau tempuh itu sangat jauh dan melelahkan," potong Ki Saga.
"Sebenarnya ada satu hal yang ingin utarakan bersama kepulangan saya kali ini." Umbara menarik napas panjang. Kedua orang tuanya sudah mengetahui tujuannya kembali ke Sendang Tirta. "Saya ingin menyunting Puspa Resmi, saya sangat mencintainya. Bopo dan biyung mau kan menemani saya?"
Ki Saga juga Nyai Kedasih hanya diam. Umbara tak mempedulikannya. Ia kembali melanjutkan cerita sambil sesekali memasukkan gumpalan nasi dan cah kangkung ke dalam mulutnya.
"Seharusnya saya kembali beberapa pekan lalu sesuai janji saya pada Puspa, tapi karena ada sedikit kendala jadi saya hanya bisa datang hari ini."
"Memang seharusnya kau datang pekan lalu, Le, mungkin semuanya belum terlambat," sahut Nyai Kedasih.
"Apa maksud, Biyung?" Umbara sama sekali tak mengerti maksud perkataan ibunya itu.
"Puspa sudah tidak tinggal lagi di Sendang Tirta. Dia sudah dipersunting oleh orang lain," tambah Ki Saga. Dahi Umbara mengeriput. Mencerna setiap kata demi kata yang dituturkan ayahnya.
"Bopo, semua ini tidak benar kan?"
"Beberapa pekan lalu, ada seorang pria sepuh mendatangi kediaman Puspa. Katanya dia ditugaskan untuk menyunting sekaligus menjemput Puspa ke kotaraja Anjukladang."
"Kotaraja?" gumam Umbara. Menurut kabar, orang yang tinggal di kotaraja biasanya adalah orang terpandang yang mempunyai banyak harta. Bahkan juga masih kerabat kedaton. Meski tak seluruhnya. Tapi melihat penyunting itu menyuruh orang lain melaksanakan niatnya, sudah pasti pria itu adalah sosok terpandang di kotaraja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historical Fiction...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...