"Lo kemarin nemuin teman gue ngapain, Feb? Lo suka sama dia?" Viko menghampiri meja kerja Febi saat istrihat. Ketika kantor sudah agak sepi karena beberapa sudah ada yang pergi ke kantin.
Febi tidak menjawabnya. Ia memilih untuk diam sambil merapihkan alat tulis yang berserakan di atas mejanya. Menumpuk kembali berkas-berkas yang berserakan di atas mejanya agar terlihat rapih kembali, meskipun nanti akan berantakan lagi usai istirahat.
"Feb," Viko memanggil nama Febi karena perempuan itu tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Febi melenggang pergi begitu saja, melewati Viko yang masih berdiri di depan meja kerjanya. "Febi Indira," Viko memanggil nama lengkap perempuan itu. Tapi, tidak digubris oleh perempuan itu. Viko jadi gemas sendiri. Ia pergi menyusul Febi yang sudah pergi berbelok menuju kantin.
Viko mempercepat langkahnya. Ia berhasil menyamakan langkah kakinya dengan perempuan itu. Febi yang sedari tadi sudah mencoba menahan emosinya untuk tidak marah kini sudah tidak bisa ditahan lagi. Febi menghentikan langkah kakinya, Viko pun ikut menghentikan langkah kakinya.
"Mau lo apa sih, Vik? Apa urusan lo? Hak lo apa buat ngurusin hidup gue?" tanya Febi kesal.
"Enggak gitu, Feb. Gue cuma nanya aja. Gue tau kalo gue bukan siapa-siapa lo. Tapi gue ini temen lo! Gue mau yang terbaik buat lo."
"Vik, gue udah gede. Gue tau apa yang baik buat gue dan mana yang nggak baik buat gue. Dan menurut gue, teman lo itu yang terbaik bagi gue. Gue suka sama dia!"
Viko mendangakan wajahnya sambil menggigit bibir bawahnya. Tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan kanannya memegang tengkuk lehernya.
Kini Viko menatap Febi dengan serius. "Lo yakin Azki yang terbaik buat lo? Emang lo pikir cowok di dunia ini cuma Azki yang terbaik? Gue juga cowok, Feb. Apa gue nggak baik buat lo?"
"Jadi cowok bersuara merdu itu namanya Azki?" kata Febi yang kini matanya terlihat antusias. Viko memejamkan kedua matanya sambil merapalkan istighfar. Perempuan dihadapannya sekarang masih saja tidak peka.
Selama satu tahun bekerja dikantor. Viko menyukai Febi. Viko jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Febi. Saat pertama kali bekerja dikantor dan menjadi pegawai magang, Febi terlihat berbeda. Dulu Febi juga pegawai magang sama kayak dirinya. Kerja ditahun yang sama.
Waktu itu, Febi meninggalkan kesan pertama yang bagus menurut Viko. Perempuan itu ramah. Saat itu bulan puasa, Viko lupa membawa makanan untuk berbuka. Lalu, Febi menawarkan makanan dengannya. Membagi dua bekal yang ia bawa. Walaupun sederhana dan tidak terlalu istimewa, tapi itu mampu membuat Viko berdebar hatinya.
Selama satu tahun itu pula Viko menahan perasaannya. Menutupi perasaannya dengan berbagai cara. Entah dengan mengusilinya, bersifat kekanak-kanakan, terkadang bersifat cuek, dan sebagainya. Viko lakukan agar tidak terlalu kentara.
Perasaan yang Viko punya terhadap Febi sangat berbeda jauh dengan perasaan yang ia miliki dulu saat dengan Syahirah. Rasa suka yang ia miliki sekarang lebih jauh besar terhadap Febi dibanding Syahirah dulu. Bahkan Viko sampai ikut kajian. Ia siap berubah untuk Febi. Biasanya Viko jarang shalat lima waktu, kini rajin. Bahkan sekarang Viko berusaha merajinkan shalat sunnahnya juga.
Ada bagusnya memang. Tapi, alangkah lebih bagusnya lagi kalau Viko berubah karena Allah. Karena mencintai Rabb-nya. Semua yang berawal karena Allah, pasti in sha allah akan dilancarkan jalannya. Semua yang terasa sulit akan terasa ringan.
"Gue suka sama lo, Feb. Gue berubah menjadi laki-laki yang baik buat lo. Apa lo masih memandang gue sebelah mata?" kata Viko setelah seperkian detik terdiam.
"Vik, gue tau lo berubah menjadi laki-laki yang baik dan shaleh. Tapi, jangan berubah karena gue, berubah karena Sang Pencipta. Niat lo berubah itu harus karena Allah. Kalo lo mau gue juga suka sama lo, perbaiki niat lo dulu." kata Febi. Kini mereka berdua menjadi pusat perhatian para karyawan kantor lainnya dan pegawai magang yang berlalu lalang dilorong. Febi meninggalkan lelaki itu. Berjalan dengan kepala tertunduk.
"Sampai kapan pun Azki nggak akan suka sama lo Feb. Terlebih lagi belum saling kenal. Gue cuma lo takut kecewa," kata Viko pelan. Viko sungguh-sungguh mencintai Febi, sangat tulus.
***
Hari ini adalah hari pertama Aldo mengajar di SMA. Menjadi guru honorer. Selesai mengajar, Aldo langsung pergi ke kampusnya untuk mengajar sebagai dosen, kadang Aldo bertugas sebagai asisten dosen. Menggantikan dosen senior yang berhalangan hadir ke kelas. Jarak antara sekolah tempatnya mengajar dengan kampus tidaklah dekat. Terbilang sangat jauh. Dan Aldo akan begitu setiap harinya.
Awalnya Syahirah masih tidak ingin Aldo pergi mengajar karena hari ini hari ketiga mamanya meninggal. Aldo juga tahu, seharusnya ia tidak pergi mengajar. Seharusnya berada dirumah menemani Syahirah.
"Sya, aku pamit berangkat mengajar dulu ya?" Selesai memakai pakaiannya, Aldo menghampiri Syahirah yang berada di dapur sedang membuat sarapan.
"Mas, Sya nggak marah atau melarang mas pergi. Enggak. Hanya saja, apakah tidak bisa ditunda untuk beberapa hari?" kata Syahirah sambil sibuk menyiapkan makanan.
Aldo tersenyum. Ia pergi untuk memeluk sang istri dari belakang. Dagunya ia letakan dipundak sebelah kanan istrinya. Syahirah yang sedang sibuk menyiapkan makanan ke atas meja tidak merasa keberatan dengan sikap Aldo yang sedang memeluknya sekarang. Meskipun berat, tapi Syahirah tidak protes.
"Enggak bisa, Sya. Kalau bisa, aku juga nggak akan pergi. Aku pasti di sini menemani kamu. Semalam aku udah coba, tapi katanya nggak bisa. Yang ada aku akan digantikan dengan calon guru lainnya."
"Ya udah, aku izinin. Tapi mas Aldo harus janji. Setelah pulang mengajar disekolah dan dikampus, harus segera pulang."
"Mas Aldo janji," kata Aldo sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Saat ini Aldo sedang menyetir mobil menuju kampus. Butuh waktu empat puluh lima menit untuk sampai ke kampus jika tidak macet. Jika jalanan macet, maka bisa sampai satu jam untuk sampai.
Tiba-tiba kepala Aldo terasa sakit. Rasa sakitnya sama dengan apa yang ia rasakan waktu sedang di kelas. Sangat sakit. Tercekam. Seperti ada ribuan bata yang dijatuhkan ke kepalanya. Aldo tidak bisa fokus dengan jalanan. Ia juga tidak bisa mengendalikan rasa sakit yang ia alami sekarang.
Di depannya, dari arah sebelah kanan. Mobil truk melintas. Aldo yang tengah kesakitan sambil mencoba fokus menyetir--terkejut melihat ada truk yang melintas di depannya. Aldo pun membanting setirnya ke sembarang arah. Bermaksud untuk menghindari truk dan beberapa mobil lainnya.
Mobil Aldo menabrak tembok pagar sebuah masjid. Banyak orang yang selesai dari masjid datang mengerumuni mobil Aldo. Melihat kondisi Aldo.
"Astaghfirullah," Seorang ustad datang. Memasuki kerumunan dari sebuah celah. "Ayo, tolong dibantu keluarkan pengemudinya." katanya lagi.
Kondisi Aldo cukup parah. Banyak darah keluar dari kepalanya. Aldo mengalami pendarahan dikepalanya. Salah satu warga menelepon ambulans. Untung saja ambulans datang dengan cepat. Tidak butuh lama, Aldo segera ditangani dan dibawa ke rumah sakit bersama ustad sebagai walinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahirah 2: Aldo ✔
RomanceJodoh itu rahasia Allah. Jika memang Allah sungguh menakdirkan kita untuk bersama. Percayalah, suatu saat nanti kita akan dipertemukan kembali dan akan hidup bahagia bersama. Seperti nabi Adam dengan Siti Hawa yang dipertemukan kembali setelah sekia...