17. Sulap hidupku, Rose!

290 26 0
                                    

Pagi ini gue sekolah ke sekolahan. Iyalah, sekolahan, gak mungkin juga ke ladang.

Gue ditemani oleh Rose dan para teman-temannya. Gue enggak tau kenapa Rose sepopuler itu, mungkin hantu di belakang gue jumlahnya hampir dua ratus.

"Rose, lo kesini, deh. Ke samping gue." Gue melambaikan tangan kepada Rose yang dibelakang gue.

"Kenapa, Venus?" balasnya.

"Mereka siapa, sih? Kenapa lo bawa mereka semua kesini? Lo pas masih hidup jadi siapa, sih?"

"Ah... kamu sangat kepo!"

"Bukan kepo. Hanya ingin tahu."

"Maaf, saya hanya punya tempe," tiba-tiba Rose mengeluarkan tempe dari tangannya.

"Rose? Lo bisa main sulap, ya?" tanya gue antusias.

"Oh, seperti ini?" Rose memunculkan beberapa barang.

"Wow, lo keren sekali!"

"Tentu!"

"Kalau gue minta sulap di depan gue ada perempuan cantik, lo bisa tidak?"

Rose menjentikkan tangan. "Dikabulkan!" Kemudian Rose menunjuk ke arah depan gue sambil tersenyum.

"Wah... siapa ini, Rose?" mata gue berbinar-binar, sampai rasanya ingin menangis.

Perempuan cantik mana ini? Apa gue belum tahu isi seluruh sekolahan? Apa ada perempuan secantik dia? Tapi... sepertinya gue pernah papasan. Tapi dimana ya? Ah, mungkin perasaan gue aja.

"Rose? Siapa itu Rose? Nama gue bukan Rose," kata perempuan itu sambil memandang gue bingung.

"Dia primadona sekolah ini. Lihat belakangnya. Ada laki-laki tampan, itu penjaganya. Kamu harus bisa melewati penjaga perempuan itu," bisik Rose kepada gue. Gue balas dengan anggukan.

"Kenapa lo menganggukkan kepala?" Perempuan itu menatap gue horor.

"Oh, maaf. Perkenalkan, nama gue Bhumi Marsson Matari. Panggil saja Venus."

Perempuan itu lagi-lagi menatap gue. "Oh, nama gue Alia. Alia saja. Salam kenal, Venus."

"Salam kenal, Alia saja!" Gue tersenyum riang.

"Sajanya tidak perlu lo sebut. Nama gue cuma Alia."

"Oke, Alia."

"Gue buru-buru mau ke kelas. Permisi," pamit Alia.

Gue hanya bisa memandang cantiknya bidadari yang turun dari surga itu pergi menjauh. Setidaknya tahu namanya saja sudah cukup.

Alia saja namanya. Alia.

Tiba-tiba perut gue ditonjok oleh penjaga Alia. "Lo mau dia? Lewatin gue dulu!"

"Lo siapa? Lo sama gue derajatnya tinggi gue!"

"Gue? Haha," dia tertawa. "Gue Aero. Kakak Alia. Jangan ganggu adik gue wahai buaya!"

"Buaya mbahmu! Gue ini manusia yang setengah suci seperempat kotor dan sisanya normal. Gue bukan buaya!"

"Oh, ya?"

Selalu ada ujian memang kalau ingin mendapatkan sesuatu.

Tanpa sadar, Alia dari tadi memperhatikan gue yang ngomong sama Aero. Oh, iya! Aero kan bukan manusia. Aduh, gue masih anget-anget kayak tahi gini udah di cap orang gila mungkin sama Alia.

Gue hanya tertawa hambar. "Hehehe, ngomong sama temen gue yang disana, Ai," jelas gue.

Alia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menganggap seperti masa bodoh. Kemudian kembali berjalan menjauh.

"Lo, sih!" Gue marah ke Aero.

"Kenapa? Kenapa gue? Lo yang salah! Kenapa lo harus lihat gue? Kenapa lo harus ketemu adik gue?"

"Takdir!" Gue beranjak pergi meninggalkan Aero.

"Gue belum selesai ngomong!"

"Rose, penjaga Alia tadi pengen kenalan sama lo!" teriak gue ke Rose yang dari tadi menonton drama gue.

"Ahsiapp!" Rose menunjukkan jempolnya.

Kemudian Rose mendekati Aero, teman-teman Rose juga mengikuti.

"Halo, saya Rose!"

"Halo, saya Kaila!"

"Halo, saya Lani!"

"Halo, saya  Jena!"

"Halo, saya Caca!"

"Halo, saya Putri!"

"Halo, saya Rani!"

"Halo, saya Nadin!"

Sampai perkenalan ke dua ratus. Gue mendengar Aero menyumpah serapahi gue dari jauh.

Dasar, arwah jomlo.

Dicariin malah nolak.

Tjinta & Tinja - Cinta & Tai ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang