Harun terus mengendalikan kudanya sampai ke tengah hutan. Sedangkan jantungku dari tadi terus saja berdetak dan seakan-akan mau loncat keluar. Selain takut dengan Harun, aku juga takut saat menaiki kuda.
"Mas, ini di mana? kenapa tempatnya sangat gelap? Laila takut," ucapku sambil meremas salah satu tangannya yang ada di perutku karna tangan yang satunya sibuk memegang tali kekang kuda.
"Ini di tengah hutan siput, aku akan membawamu ke rumah kecil milikku, rumah di mana aku selalu menggunakannya buat beristirahat saat lelah bekerja," jawab Harun membuatku cemas.
"I_iya, aku tahu ini tengah hutan, lalu buat apa kita kemari?" tanyaku gemetar.
"Bukankah kau tidak suka keramaian siput, kau takut warga desa melihat kemesraan kita, itulah sebabnya aku membawamu kemari gadis pemalu," jawab Harun sambil mengeratkan pelukan tangannya di perutku.
"Astaga! semoga saja, dia tidak berbuat macam-macam," bathinku gelisah.
"Laila!" panggil Harun membuyarkan lamunanku.
"Eh, i_iya mas," jawabku salah tingkah.
"Apa kau takut?" tanya Harun sambil bibirnya menelusuri leherku dari belakang. Posisi kami masih berada di atas kuda, Harun menyingkirkan rambut panjangku kesamping dan setelah selesai, bibir tebalnya mulai mengecupi bahu telanjangku pelan-pelan. Baju yang tadinya menutupi bahuku dia geser kebawah.
"Ah... Mas Harun, kita masih belum sah, jangan memperlakukan aku seperti ini, Laila takut," desahku antara geli dan nikmat dengan perlakuannya.
Ada rasa ketakutan juga di dalam hatiku karna baru kali ini aku bersentuhan dengan seorang lelaki, apalagi lelaki itu adalah Harun, orang terpandang dan sangat di hormati di kampung ini.
Usianya yang sudah menginjak tiga puluh tahun, semakin menambah kedewasaan serta kematangannya dalam berumah tangga. Sedangkan usiaku yang baru dua puluh tahun, masih saja merasa cemas karna sejatinya aku memang selalu menghindar dari lelaki.
"Laila," desah Harun di telingaku semakin menambah rasa gugupku.
"Eh, i_iya mas, ada apa?" tanyaku salah tingkah. Ingin rasanya aku kabur dan berlari senjauh mungkin darinya seperti kejadian yang sudah-sudah. Tapi karna posisi kami berdua masih berada di atas kuda, aku hanya bisa pasrah menghadapi sikap liarnya.
"Apa kau takut padaku?" tanyanya sambil tangannya meremas tanganku dan bibir seksinya menempel erat di telingaku.
"Em... Ti_tidak, buat apa aku takut? a_aku hanya takut pada kegelapan, sebaiknya mas Harun bawa aku pulang, kasihan nenek, pasti sudah menungguku sejak tadi," jawabku pura-pura santai padahal dalam hati ketakutan setengah mati. Bukan pada kegelapan, melainkan pada kelakuan mesumnya.
"Hem, jadi tidak takut ya? baiklah," ucap Harun sambil menggerakkan tali kekang kuda dan kuda hitam itupun kembali berjalan dengan perlahan.
"Eh, Mas Harun mau bawa Laila kemana?" tanyaku cemas.
"Ke rumah kecilku anak manis, bukankah sudah aku katakan sejak tadi?" tanyanya sambil mengecup pipiku singkat. Aku sontak menghindar sambil mengusap bekas ciumannya dengan kesal.
"Jangan menciumku, ingat! aku mau menikah karna nenek, bukan karnamu," sunggutku pura-pura emosi agar tidak terlihat lemah.
"Oh ya, karna nenek ya? jadi bukan karna aku? hem... Baiklah, kita lihat saja nanti gadis pemalu," ucap Harun sambil terus memacu kudanya agar berlari semakin cepat.
Aku hanya mampu memejamkan mataku karna takut, seperti tahu akan kegelisahanku, Harun mengeratkan pegangannya pada perutku dan merapatkan kedua pahanya untuk menghimpit tubuhku agar tidak jatuh.
"Tenanglah sayang, jangan tegang," ucap Harun sedikit mengurangi rasa cemasku.
Setelah sekian lama berlari, akhirnya kuda hitam itu berhenti di sebuah bangunan rumah kecil tapi sangat indah. Tanaman-tanaman sayur tampak mulai tumbuh di kanan kiri rumah yang sangat nyaman itu. Aliran sungai yang jernih, mengalir dengan indahnya, tepat di belakang rumah mungilnya.
"Wah... Indah sekali!" seruku kagum.
"Apa kau suka siput?" tanya Harun lagi-lagi membuat hatiku dongkol.
"Aku bukan siput mas Harun, jangan panggil aku dengan siput," protesku tidak suka.
Harun hanya tertawa, dia turun dari kuda dan setelah itu menurunkan badanku.
"Kau sangat kecil sayang, kau juga sangat lembut, pemalu, mana mungkin aku tidak memanggilmu dengan sebutan siput? itu nama panggilan sayangku untukmu calon istriku," jelas Harun membuat pipiku bersemu merah karna malu. Kata calon istri terdengar sangat aneh di telingaku. Ada rasa bahagia, nyaman, dan bangga bercampur menjadi satu.
"Astaga! kenapa ini?! mengapa hatiku merasa aneh?! apakah aku sudah mulai menyukai mas Harun?! Ya ALLAH..." bathinku malu-malu.
Pergerakan badanku yang serasa melayang, lagi-lagi membuyarkan lamunanku dan membuatku terkejut.
"Eh, mas Harun kau mau membawaku kemana?!" seruku salah tingkah.
"Ke rumah kecil kita berdua siput, kau dari tadi terus melamun, makanya aku langsung menggendongmu anak manis," jawab Harun sambil terkekeh geli.
"Tapi aku kan bukan anak kecil," protesku gemetar.
"Siapa bilang kau anak kecil? kau calon istriku, jadi kau sudah dewasa sayang," jawab Harun dengan suara lembut.
Kami memasuki rumah dengan perlahan, Harun membaringkan badanku di ranjangnya. Rumahnya ternyata sangat indah di bagian dalamnya. Dengan empat ruangan, kamar, dapur, ruang tamu dan juga ruang santai.
Sebuah benda kenyal dan basah tengah masuk dan berusaha untuk membuka mulutku. Ketika aku tersadar, tahu-tahu Harun sudah membungkam mulutku dengan ciumannya. Aku yang di lumat secara tiba-tiba, hanya bisa melotot dan terpaku. Hatiku merasa aneh.
"Eh, apa yang sedang kau lakukan mas Harun?" tanyaku di sela-sela ciumannya.
"Melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan sejak tadi sayang," jawabnya santai.
"Tapi..."
"Ssstttt...."
"Ugh..."
Ada rasa lain yang belum pernah aku rasakan pada pria lain. Apakah aku telah jatuh cinta kepadanya?! Entahlah...
Yang pasti aku sangat menikmati semua sentuhannya.
Mungkin ya, aku mulai menyukainya.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....