jtvj-15

1.7K 278 3
                                    

Mark menarik napas panjang-panjang saat kakinya menginjak lantai rumah, Jeno mendorong punggungnya, membuat yang lebih tua nyaris terjungkal.

"Kau kenapa sih?" tanyanya sedikit emosi.

"Hyung menghalangi jalan tahu! Tasmu ini berat, kenapa malah memeragakan adegan Titanic di depan pintu!"

Dia merengut sembari menyeret tas kakaknya ke dalam, Mark terkekeh adiknya sensitif sekali padahal dia hanya merentangkan tangannya sebentar.

Jeno melabuhkan tubuhnya di ranjang Mark, tangannya mengecek ponsel dengan senyum tersungging membuat kakaknya melempar bantal.

"Jangan main ponsel sambil tidur—"

"—nanti matamu bisa sakit. Iya iya, ibu sudah mengatakannya jutaan kali," anak itu bangkit dan bersandar di tembok, mengambil salah satu komik yang dimiliki kakaknya.

"Renjun sudah membalas pesanmu?"

Anak itu tersenyum jemawa, "Jelas saja, Renjun itu tergila-gila padaku."

Mark mendengus, "Bukannya terbalik? Kau yang jelas-jelas tergila-gila pada Renjun."

"Sama seperti hyung pada Jaemin, kan?" dia mengerling jahil saat telinga Mark memerah.

"Nah, baru mendengar namanya saja sudah begitu. Tapi, hyung, kau benar-benar menyukainya?"

Mark mendesah, "Hm, tidak diragukan lagi."

"Wah, jadi akhirnya dia yang membuatmu melanggar janji tidak akan pacaran sebelum lulus kuliah?"

Dia menatap adiknya, "Aku menyukainya bukan berarti aku mau berpacaran dengannya, Jeno."

"Hah! Bagaimana bisa begitu?"

Bahunya mengedik, "Bisa, aku hanya akan mencintainya diam-diam, dunia tidak perlu tahu sebelum waktunya."

"Cih," adiknya tersenyum remeh, "Jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti kau akan menangis saat Jaemin memilih orang lain. Dia menggemaskan sekaliiii, lucu dan imut, wajar kalau banyak yang suka."

Dia menatap adiknya tajam, "Kenapa kau begitu cerewet sepulang dari Jerman, sih? Rindu mengomeliku atau bagaimana?"

"Kenapa pikiranmu jelek sekali, hyung? Aku hanya tidak ingin hyung-ku yang paling tampan walau lebih tampan aku, paling pintar tapi lebih pintar aku, paling baik tapi—" dia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Mark sudah menerjang tubuhnya, menggebuknya dengan bantal yang membuat anak itu tertawa keras.

Doyoung hanya tersenyum saat mengintip kamar putranya dan menemukan mereka sedang tergelak, ah akhirnya pemandangan seperti ini kembali bisa dia saksikan.

***

"Jaemin demam," Taeyong mengapit ponselnya dengan bahu, kedua tangannya sibuk memotong daging ayam untuk membuat sup.

"Iya Yuta, kerjakan dulu dengan Winwin, aku harus memastikan anak nakalku itu baik-baik saja,"

Dia meletakkan ponselnya di atas kulkas, kembali berkecimpung di dapurnya yang nyaman. Menjelang subuh tadi, suhu tubuh Jaemin mendadak naik bahkan nyaris menyentuh angka tiga puluh derajat. Anak itu menggigil, tidak ingin melepas pelukannya barang sebentar yang membuat Taeyong kesulitan mengambil selimut tambahan.

Haechan yang datang untuk menjemputnya hanya menggeleng, anak itu menemani Jaemin sampai Taeyong selesai mandi dia pun pamit untuk segera berangkat.

Tubuhnya masih bergelung di dalam selimut saat Taeyong masuk membawa nampan berisi bubur dan sup ayam yang masih hangat, dia meletakkannya di meja dan membangunkan Jaemin yang pucat.

"Makan dulu, ya?"

Anak itu menggeleng, "Pahit," katanya.

"Sedikit saja, lalu minum obat. Ingin cepat sembuh, kan?"

Jaemin mengangguk, Taeyong membantu tubuhnya saat bangun dan bersandar di headboard ranjang.

"Ayah suapi?"

"Hmm."

Taeyong tersenyum kecil, "Sini, buka mulutmu."

Matanya terpejam saat kuah hangat itu melewati tenggorokannya, "Sedikit saja, leherku sakit," ucapnya, dengan mata berkaca.

"Iya sedikit saja, jangan menangis, ayah tidak memaksa," dia mengelus rambut putranya dengan lembut, tetap menyuapkan bubur dan sup bergantian agar lebih mudah ditelan.

Tangannya didorong pada suapan kesepuluh, "Mual," ujarnya, Taeyong mengalah dan memberinya teh hangat.

"Ayah ambil obat dulu, kalau nanti sore panasmu belum turun, kita ke rumah sakit."

Dia hanya menurut.

Taeyong merapikan selimut yang membalut tubuh Jaemin, memastikan AC di kamarnya tidak menyala kemudian menuduk, mengecup keningnya sekilas.

Wajah tidur putranya begitu damai, suara napasnya terdengar, membuat Taeyong bersyukur karena Tuhan telah memberinya kesempatan untuk merasakan bagaimana hebatnya menjadi ayah meski bukan darah dagingnya sendiri.

"Jaemin, kau tahu kan kalau ayah sangat mencintaimu? Bagaimana kalau ibumu bersikeras mengambilmu dari ayah? Apa ayah bisa melepasmu?" bisiknya sebelum menutup pintu dengan halus.

Dia bersandar di sofa, laptopnya diabaikan padahal pekerjaannya menumpuk, tangannya mengacak rambut yang kusut, tidak bisa membayangkan bagaimana suram dan sunyinya rumah ini ketika Jaemin akhirnya memilih untuk ikut bersama Ten dan suaminya.

***

je te veux justeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang