Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.
Carissa berlari kecil memasuki Gedung auditorium sambil menggunakan tangannya untuk memayungi wajah, terik matahari Jakarta terasa lebih membakar hari ini daripada hari-hari biasanya. Ini pukul sebelas siang, padahal sebentar lagi adalah waktunya untuk makan siang namun dr.Andre dengan tidak baiknya membuat seluruh mahasiswanya berkumpul di sini. Ada hal penting yang harus diberitakan, katanya.
"Duh, apaan lagi, sih," gerutu gadis berambut cokelat-sepertinya hasil cat rambut di sebelah Carissa. "feeling gue gak enak, deh."
"Gue mencium bau-bau tempat terpencil," celetuk Odette.
"Heh!"
"Liat aja, gak mungkin itu dr.Andre senyum-senyum gitu kecuali mau bikin mahasiswanya sengsara," sambungnya lagi. Carissa hanya menggeleng menahan tawanya, sebenarnya tidak masalah jikapun mereka ditugaskan menjadi relawan di tempat tertentu karena ia notabene adalah seorang relawan yang seringkali pergi ke luar kota demi menjalankan misinya.
"Hush, udah, dengerin dulu," ujar Rissa diselingi tawa. Ia mendorong pelan pundak Odette agar gadis itu kembali menghadap ke depan.
"Sebelum memasuki masa tugas akhir. sebagai syarat-kalian kami tugaskan mengadakan penyuluhan di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para dosen. Tempat akan ditentukan secara acak dan tersebar di seluruh provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Dalam misi ini kalian tidak akan sendirian, satu tim akan terdiri dari tiga sampai empat orang dari berbagai fakultas," terang dr.Andre panjang lebar.
Sorakan senang, kesal, maupun gerutuan para mahasiswa seketika memenuhi auditorium tanpa sela. Odette menghela napas panjang, "Tuh, kan, gue bilang juga apa, gak mungkin tipikal dosen killer macem dr.Andre bawa kabar baik buat kita."
"Masing-masing dari kalian akan mengambil nomor dan dihubungkan dengan mahasiswa atau mahasiswi lain yang mendapatkan nomor sama dengan milik kalian paling lambat malam ini. Sekarang, semuanya boleh bergiliran maju untuk mengambil nomor."
Satu persatu mahasiswa fakultas kedokteran telah maju dan sekarang giliran Carissa untuk mengambil nomornya. Gadis itu merogoh akuarium tempat nomornya berada sembari berharap cemas agar nomor yang ia ambil bukan merupakan angka sial.
"Gotcha! Lucky seven." Carissa tersenyum puas dengan hasil pengambilan nomornya. Ia mendapatkan nomor yang bisa dibilang merupakan nomor keberuntungan, tujuh.
"Bagi yang sudah mendapatkan nomor, boleh langsung mendata dirinya di tempat yang telah disediakan, pengundian penempatan akan diadakan besok pagi," ujar dr.Andre mengakhiri pertemuan terpaksa hari itu.
oOo
"Woylah, ngapain, sih, udah mau tugas akhir masih aja," gerutu Dimas membuka sesi curhat di kantin fakultas.
"Dim, Dim, jadi dokter ya itu risikonya, niat lo jadi dokter sebenernya apa, sih?" timpal Adelia tidak setuju diikuti anggukan beberapa orang lainnya. "Jadi dokter itu, niat lo harus lurus, mau ngapain? Selama ini lo belajar juga buat mengabdi di masyarakat, kan?"
"Udah, berdoa aja, Dim, semoga kamu gak dapet tempat yang terpencil dan gak ada internet. Aku tau betapa menderitanya kamu tanpa internet, hahaha." Tawa Rissa pecah seketika, ia tahu betul alasan Dimas menolak keras penempatan ini adalah karena ia tidak bisa jauh dari internet dan para followers instagramnya yang berjumlah lebih dari tiga ratus ribu itu.
"Dasar selebgram," ujar Diandra seraya menjitak kepala Dimas, pria itu hanya bisa meringis nyeri sambil mengusap-usap dahinya yang memerah.
"Bukannya itu justru jadi nilai plus buat lo, Dim? Ya, ciwi-ciwi sekarang, kan, Sukanya yang berwibawa dan berkarisma gitu, siapa tau followers lo nambah gara-gara lo update sama anak kecil atau nenek-nenek jompo di panti, atau mungkin kalo lo update lagi jaga di bangsal RSJ," tutur Rico diiringi tawa yang diikuti oleh delikan mata dari Dimas.
YOU ARE READING
Perhatikan langkahmu...
УжасыBerada di sebuah desa terpencil di kota antah berantah bersama tiga orang tidak dikenal sudah cukup buruk, yang lebih buruknya lagi adalah apa yang harus mereka hadapi di sana ....