.....

19 3 0
                                    

     Berawal dari akhir, ada awal pasti ada, jeda, kenapa jeda? Kenapa bukan akhir?
Karena pada dasarnya akhir adalah sebuah awal dari sesuatu yang baru, semisal kisah klise pria tampan dan wanita cantik (selalu begitu), saling mencintai, memiliki, dan bahagia, tamat.
Lalu disimpulkan kisah tersebut berakhir bahagia, atau yang lebih tepat dipaksa berakhir bahagia, kenapa "dipaksa berakhir" bahagia?
Karena seharusnya kisah tersebut belum bisa dikatakan berakhir selama tokoh-tokoh dalam kisah tersebut masih hidup, akan ada imajinasi yang hadir dari pertanyaan atas perkiraan setelah ini dan itu oleh para pembaca.
Lalu dengan mematikan tokoh-tokoh dalam kisah tersebut  apakah kisah tersebut bisa dikatakan berakhir?
Jika imajinasi dari pertanyaan atas perkiraan setelah ini dan itu masih ada maka kisah tersebut belum bisa dikatakan berakhir, karena pada dasarnya akhir adalah sebuah awal dari sesuatu yang baru, semisal kematian, apakah kematian adalah tahap akhir dari kehidupan manusia? Mungkin iya tapi, setelah kematian masih ada tahap-tahap lain yang akan dilalui, lantas apakah kematian pantas disebut tahap akhir dari kehidupan manusia atau, jeda?
Tahap-tahap yang akan dilalui manusia menjadi penentu sebuah ketetapan untuk insan-insan atas jerih payah mereka mengejar yang fana atau berusaha meraih yang kekal dengan segala konsekuensinya masing-masing, tentunya para insan sudah membuat pilihan.
Lantas apakah surga dan neraka bisa disebut akhir?
Jika setelah siksaan di neraka tidak ada hal lain lagi, atau setelah kemuliaan di surga tidak ada hal lain lagi mungkin kata "akhir" bisa digunakan.

Entahlah pemikiranku terlalu sederhana untuk memikirkan hal serumit itu. mungkin, patah hati lebih sederhana untuk dipahami, sangat sederhana jika dihitung dari banyaknya kata, namun jangan tanya berapa banyak campuran rasa yang tercipta dari dua kata sederhana tersebut.
Patah hati, teguran paling sopan dan tamparan paling bijak atas ketidak sempurnaan hati dan kebelum pantasan rasa untuk memiliki, menyadarkan kesalahan mendewasakan keegoisan.
Beragam upaya dilakukan untuk menyikapi patah hati, mulai dari yang positif sampai yang sangat positif, lupakan yang negatif.
Introspeksi, memperbaiki, memantaskan, terangkum dalam satu upaya yaitu belajar, memperdalam pemahaman tentang sebuah tindakan tanpa ucapan.
Sejatinya ikhlas itu merelakan tanpa ada kata ikhlas, terlalu munafik memang jika berkata "aku baik-baik saja" sementara upaya melupakan masih menjadi agenda yang belum bisa ditinggalkan, percayalah jangan berusaha untuk melupakan, karena melakukan hal yang sia-sia adalah suatu kebodohan.
Jika memilih menjadi si bodoh jadilah si bodoh yang menerima dengan kelapangan hati.

Mbah Semar berwejangan "urip iku sakdermo, yen ora biso yo ojo dipekso, dioyak sansoyo adoh, digelani ora bali, dipikir dadi kentir, kabeh iku wis ono sing ngatur, narimo ing pandum."
Intinya terimalah apa yang sudah digariskan dengan penuh kelapangan hati, melupakan adalah cara paling salah untuk berdamai dengan patah hati, waktu tidak akan menguraikan sebuah rasa yang pernah terjadi, sedangkan merelakan adalah upaya yang patut digaris bawahi, meski dengan embel-embel kata susah dan tidak mudah.

Pernah merasa kecewa, hampa, bingung, gusar, dan berbagai rasa yang entah hingga tertiba pada menghela senyum tanpa makna, menunggu senja menyambut petang yang datang mengganti cahaya surya dengan rembulan redup kala penanggalan jawa menunjuk angka 25, menatap gelap langit malam mencari siapa untuk kemudian bertanya mengapa?
Mengapa aku patah hati?
Jika yang menjawab Yang Maha Kuasa mungkin,
"Apa yang membuatmu patah hati, dia atau Aku? Bukan, tapi dirimu sendiri, cintailah ciptaan-Ku dan jangan melebihi kecintaanmu terhadap-Ku."

Dan inilah kehilangan, memaksa otak untuk berpikir dan bertanya apakah aku masih bisa menulis puisi setelah kehilangan alasan menulis puisi? Apakah kehilangan pijakan berarti berhenti melangkah?
Kurasa iya, aku harus berhenti melangkah dan terbang mencari pijakan baru dan mulai berlari.

- - - - - -

Hujan?

Merah apa ini hujan?
Gelegar
Apa itu petir?
Bukan
Bukan?
Bukan, ini Gaza!

- - - -

Hitam dan putih berseberangan namun, di sela gelap dan terang ada remang-remang, di antara konflik sebenarnya ada titik damai, lantas kenapa konflik harus diperpanjang dengan argumen-argumen payah, alasan ini, sebab itu, karena ini, oleh itu, HAH MEMUAKKAN!

Apa susahnya berjabat tangan menghargai nyawa? Atas dasar apa rasa tidak terima itu ada?
Perbedaan agama?
Ras?
Golongan?
Suku bangsa?
Memang apa salahnya jika berbeda?
Atau pemicu konflik sebenarnya adalah sifat manusia?
Egois, tamak, dendam, benci, serakah, dan beragam sifat kejam lainnya yang HAH SAMPAH!
Apakah manusia diciptakan dengan sifat kejam? TIDAK.
Percayalah Yang Maha Kuasa itu Maha Baik, lalu apakah pantas manusia yang diciptakan dengan penuh kebaikan saling berselisih, saling membenci, hanya karena perbedaan, bukankah manusia adalah manusia, bagaimanapun seorang manusia adalah manusia, manusia ya manusia, lalu kenapa harus berselisih? Pernahkah terpikir darimana sifat buruk manusia itu muncul? ya, itulah si biang kerok yang sesungguhnya, dialah yang patut dibenci,  diperangi, dilawan, dimusuhi, siapakah dia?
Pertanyaan yang mudah.

Perihal kiamat?
Ya, kiamat itu pasti, lalu apakah perdamaian bisa terwujud sementara kita ketahui salah satu penyebab kiamat adalah manusia itu sendiri, perang dunia misalnya.
Kiamat memang tidak bisa dicegah namun dengan perdamaian yang diupayakan meski dengan kemustahilan yang entah setidaknya kiamat bisa sedikit tertunda, itu menurut pemikiran bodohku dan menurut tulisan yang pernah aku baca kata "bodoh" adalah kata sifat yang menggambarkan keadaan di saat seseorang tidak menyadari sesuatu hal tetapi masih memiliki kempuan untuk memahaminya.
Sebenarnya apakah bodoh itu ada?
Albert einstein pernah mengatakan "gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya, cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak, kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberpa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna, tapi gelap tidak bisa diukur, seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut, kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Albert einstein juga pernah mengatakan "semua orang itu jenius, tetapi jika anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh."
Berdasarkan pernyataan tersebut apakah sebenarnya bodoh adalah pendeskripsian atas ketidaktahuan atau ketidakmpuan memahami sesuatu hal, karena pada dasarnya semua orang itu jenius, atau bodoh bisa diartikan sebagai kesalahan pemikiran?
Lantas apakah cerita "Ayam Jantan Hitam" berikut adalah suatu kesalahan pemikiran?

     Disuatu tempat ada seekor ayam betina berbulu cokelat yang sedang kelaparan, mengetahui hal tersebut seekor ayam jantan berbulu hitam berniat mencari makanan ke tempat seberang untuk si ayam betina yang diam-diam ia suka sejak lama.
Di sebuah jembatan yang menghubungkan tempat si ayam jantan berbulu hitam dengan tempat seberang ia berpapasan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, ayam tersebut berjalan berlawanan arah dengan si ayam jantan berbulu hitam sambil membawa jagung dengan jumlah yang sangat banyak, sepertinya jagung tersebut akan diberikan untuk si ayam betina berbulu cokelat yang sedang kelaparan, menyadari hal itu si ayam jantan berbulu hitam pun berbalik arah guna memberi jalan pada ayam jantan berbulu merah karena jembatan yang dilalui hanya muat untuk satu ayam saja, singkat cerita akhirnya si ayam jantan berbulu hitam pergi menjauh membawa pemikiran, bahwa ternyata ayam jantan berbulu merah lebih pantas.
Ayam jantan berbulu hitam tahu perasaannya tak akan mungkin terbalas.

Nah, apakah menjauh dari seseorang karena rasa sayang adalah suatu kebodohan?
Apakah mempersilahkan rasa lain yang lebih pantas adalah suatu kebodohan juga?
Meskipun kita belum tahu apakah pemilik rasa yang lebih pantas itu sudah hadir atau belum.
Bagaimana dengan ungkapan "menghalalkan atau merelakan" menghalalkan bisa diartikan berjuang, dan merelakan bisa diartikan menyerah.
Apakah menyerah artinya berhenti berjuang?
Tidak juga, terkadang menyerah bisa menjadi salah satu bentuk perjuangan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang menjadi prioritas, ada kalanya pencapaian lebih berharga dari kemenangan, terkadang bahagia seseorang jauh lebih penting ketimbang sebuah ambisi untuk memiliki.
Meskipun belum mengerti definisi dari arti kata bahagia yang sesungguhnya, yang jelas bahagia itu ada saat hati merasakan kelegaan.


Pengimajian Rasa : Buku GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang