Sejak kejadian di mall kemarin, Elbi terus mengurung diri di kamar. Bian yang merasa ada yang tidak beres dengan putrinya juga tidak mampu berbuat apa-apa. Elis—sang istri—melarang Bian bertanya pada Elbi. Alasannya, Elis ingin Elbi diberi waktu sendiri terlebih dulu. Elbi membutuhkannya sekarang ini.
Elbi pikir kesedihannya akan berkurang ketika pagi tiba. Nyatanya tidak. Wajahnya masih terlihat mengenaskan dengan mata sembab karena kebanyakan menangisi Erlang. Elbi ingin sekali memarahi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa menangisi bajingan seperti Erlang?
Elbi menarik napas dalam-dalam saat melihat pantulan dirinya di cermin. Diingatnya kata-kata Elis kemarin ketika mereka berada dalam perjalanan pulang ke rumah. "Putus cinta itu biasa, Elbi. Fase itu perlu kamu hadapi sesekali agar menjadi lebih kuat," kata sang Mama kemarin.
Elbi mendesah pelan. Ingin menyetujui ucapan sang Mama, tetapi dia tidak yakin Mamanya itu mengetahui apa yang Elbi rasakan. "Mama juga pernah dikhianati," informasi yang disampaikan Elis membuat Elbi akhirnya menoleh ke arah sang Mama yang tersenyum.
"Sama seperti kamu, Mama juga memergokinya berselingkuh," lanjut Elis menceritakan pengalamannya. "Mama sedih sih. Tapi, Mama punya Pakdhe Rey, Eyang Putri, Eyang Kakung yang selalu mendukung Mama. Mama juga punya teman-teman yang selalu berada di saat terpuruk Mama. Jadi, Mama segera melupakan mantan Mama itu. Toh, bukankah kita harusnya bersyukur karena diberitahu lebih cepat bagaimana brengseknya pacar kita itu?"
Elbi mengangguk. Mamanya benar. Lebih baik tahu sekarang daripada nanti. "Thanks, Mama."
Elis mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Take your time, sayang. Kamu boleh menangisi dia semalaman nanti. Tapi, setelah itu segera lupakan dia dan move on. Oke?"
Dan Elbi melakukan saran Mamanya. Elbi sudah menangisi Erlang sebanyak yang dia bisa sampai Elbi merasa kelenjar air matanya mengering. Elbi tidak yakin ini cukup, tetapi setidaknya perasaan Elbi jauh lebih baik. "Ayo, Bi. Semangat!" ucap Elbi pada dirinya sendiri. "Jangan loyo kalau ketemu Erlang di sekolah! Jangan mau kalah sama buaya itu!" lanjutnya menyemangati diri sendiri.
Setelah memastikan dirinya sudah siap, Elbi pun segera keluar dari kamarnya. Di ruang makan, Elbi disambut dengan senyuman sang Mama, tatapan khawatir sang Papa, dan ... pelukan Binno.
Tunggu.
Elbi mengerjap ketika menyadari Binno memeluknya. Ia menatap Mama dan Papanya kebingungan, tetapi mereka hanya mengangkat bahu. Pandangan Elbi beralih pada Anza yang sudah berada di sana. Anza hanya tersenyum seolah meminta Elbi untuk membiarkan saja Binno memeluknya.
"Mbak harus tahu kalau Binno sayang Mbak," ucap Binno membuat Elbi meringis. Kenapa adiknya ini harus membuat kedua matanya memanas di pagi hari sih?
"Oke," Elbi mengatur suaranya agar tidak terdengar serak. "Mbak juga sayang Binno."
"Mbak jangan sedih lagi."
Elbi menahan napasnya. Oh, jangan sampai dia menangis lagi hanya karena kata-kata manis yang tidak pernah Binno ucapkan.
"Binno ikut sedih kalau Mbak sedih. Jangan nangis lagi, ya Mbak?" kata Binno terakhir kali sambil melepas pelukannya.
Elbi mengangguk. Ia mengipasi wajahnya dengan telapak tangan sambil menengadahkan kepalanya ke atas. "Mama, Elbi sarapan di sekolah aja," kata Elbi sambil memalingkan muka. Enggan terlihat rapuh setelah dipeluk Binno seperti tadi.
"Oke," Elis menyerahkan kotak makan milik Elbi yang ternyata sudah disiapkannya. "Harus dimakan!"
Elbi mengangguk. Sebelum berangkat, Elbi menyempatkan diri memeluk Mama dan Papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?