31. NANDO : [ KEINGINAN MEMILIKI ]

1.5K 126 11
                                    

Author Note : Vote sebelum membaca ya ❤

Ini sudut pandangnya Nando. *Pakai kata "saya" biar mudah ngebedain antara Tari sama Nando.





//Saya mungkin bisa menghilangkan jejak perasaan suka di hati saya sama kamu tapi saya tidak bisa menghilangkan jejak persahabatan yang pernah terjalin di antara kita//



Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Kalau ada orang yang paling bodoh di dunia ini, orang itu pasti saya.

Harusnya saya tidak meninggalkan Tari saat dia masih membutuhkan saya. Harusnya saya bisa meredam ego. Dia pasti masih trauma karena kejadian itu dan saya menambah pikirannya dengan bersikap dingin seolah saya menjauhinya. Ah ralat, saya memang menjauhinya. Saya menjauh karena saya tidak bisa menerima kenyataan kalau saya mencintainya.

Saya cinta dia tapi saya membuatnya lelah dengan sikap saya. Itu membuat saya merasa miris dengan diri saya sendiri. Orang-orang menilai saya sempurna sebagai Ketua OSIS, tanpa mereka tahu kalau saya bodoh dalam mengungkapkan perasaan.

"Nando Pratama!"

Saya terperanjat. Seisi kelas memperhatikan saya. Saya mendadak canggung ditatap seperti itu.

"Iya? Kenapa Pak?"

Konyol. Pertanyaan macam apa yang saya lontarkan. Seisi kelas langsung mentertawakan saya. Sedangkan Pak Bejo—guru berambut tipis menjelas erosi itu mempelototi saya tajam. Shit! Alamat saya akan terkena masalah.

"Melamun? Tidak memperhatikan pelajaran? Sudah merasa pintar, begitu?" Dengan aksen Jawanya yang kental, dia berjalan ke arah meja saya. Menggebrak meja sampai rasanya jantung saya mau lepas. "Jawab!"

"Maaf, Pak. Saya nggak akan ulangi."

"Saya tidak terima maaf. Kerjakan soal di depan!"

Ah, tahu begitu saya tidak usah basa-basi minta maaf kalau ujung-ujungnya disuruh mengerjakan soal.

"Cepat!"

Saya berdehem singkat, maju ke depan. Mengambil spidol biru dari tangan Pak Bejo. Jangan panggil saya Nando Pratama kalau mengerjakan soal sepele ini saja tidak bisa. Dengan lincah saya menulis angka demi angka dengan perhitungan. Memukau teman sekelas seperti biasanya, mereka akan menganga lebar melihat saya mengerjakan soal dadakan dari Pak Bejo.

"Jawaban kamu salah."

Apa? Salah? Saya mengecek lagi jawaban saya di papan tulis. Oh, damn! Ternyata saya keliru. Bagian akhir harusnya dibagi dua. Satu kelas langsung mentertawakan saya. Ah, dasar! Saat saya benar mereka mengikuti saya, pas saya salah mereka malah mentertawakan. Benar-benar labil.

"Lima menit lagi istirahat. Kamu boleh keluar, hormat bendera sampai jam istirahat tiba."

Saya mengangguk patuh, meski mencibir dalam hati. Tidak berguna juga memprotes. "Eh tunggu!" saya menengok ke belakang.

"Kenapa Pak?"

"Lain kali jangan sok pintar." Saya pikir ingin membatalkan hukuman, tahunya cuma mau bilang itu. Saya juga tahu. Lagi pula saya memang pintar. Lebih pintar dari anaknya yang gemar membuat masalah itu. Lupakan, saya memang punya kecenderungan arogan. Jangan ditiru, cukup saya saja.

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang