"Mas, bangun!"
Panji merasakan tepukan dan guncangan pelan di pundaknya. Ia tak kuasa membuka mata saat pusing tiba-tiba menyerang.
"Kamu ngapain tidur di sini?"
Dipijatnya kening itu kuat-kuat sembari mengerjap. Dan betapa terkejut ia mendapati wajah ibunya membayang di atasnya. "Mama! Mama ngapain ke sini?" pekiknya.
"Kenapa? Mama nggak boleh ke rumah anak sendiri?" Perempuan paruh baya itu melengos dan berjalan ke arah dapur. Panji tersadar sempurna. Ibunya tengah menenteng tas plastik ukuran lumayan besar, mungkin berisi sarapan atau semacamnya.
"Buruan cuci muka sana, Mas! Mama siapin sarapannya. Ini Mama masakin semur daging kesukaan kamu."
Panji masih terpaku di tempat. Sibuk mengatur detak jantungnya yang berlarian akibat kedatangan Ibunya yang tiba-tiba. Sampai suara nyaring kembali ia dengar dan membuatnya terlonjak.
"Heh! Cepetan cuci muka, malah ngelamun."
Panji mengangguk kaku. Bangkit dari sofa menuju kamar mandi yang berada di dapur.
"Udah jam segini Dian juga belum bangun? Astagfirullah al azim."
Ibunya sudah bersiap menaiki anak tangga, sebelum Panji buru-buru menghadang langkahnya. Gawat! Panji tak ingin bekas peristiwa semalam sampai terendus. Ia harus memastikan Dian baik-baik saja sebelum bertemu Ibunya. Meskipun ia yakin Dian tak mungkin mengadu, tapi Panji cukup was-was.
"Biar aku yang manggil Dian, Ma," katanya sembari memegang lengan ibunya, khawatir tetap keukeuh naik ke atas. "Dian pasti udah bangun. Mungkin masih mandi."
Ibunya sempat menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Yaudah cepat bangunin adekmu. Eh, maksud Mama, istrimu!"
Semalam, setelah Dian memutuskan untuk mengakhiri perdebatannya, dan berlari ke kamarnya, Panji memilih menghabiskan waktu untuk merenung, menyalakan televisi sebagai pengalihan sampai rasa kantuk di dini hari membuatnya tertidur di sofa. Baru kali ini Panji bagai orang dungu, tak tahu harus bersikap sebagai siapa di hadapan Dian. Panji serba salah. Bila perempuan lain yang berada di posisi Dian, pasti ia takkan sekalut ini.
Kejujurannya semalam memang terdengar kejam, dan tentu menyakiti gadis itu. Panji sadar kesalahannya, dan Panji tak ingin bertambah salah dengan berkata bohong. Sebab, jauh di sudut hatinya rasa bersalah seperti mencekiknya. Demi Tuhan, Panji sangat menyayangi Dian. Ia tak sampai hati menyakiti Dian yang sudah dianggapnya adik sendiri.
Saat Panji memasuki kamar, saat itu pula gadis itu keluar dari kamar mandi. Mereka saling pandang untuk beberapa detik. Panji dapat melihat mata belok Dian yang sembab, seperti baru saja menangis semalam utuh. Rasanya Panji ingin menarik tubuh ramping itu ke dalam pelukannya dan meminta maaf. Tapi ada sesuatu yang menahan dirinya, sesuatu yang bernama ego. Panji tidak merasa memiliki salah, ia hanya berkata jujur. Bukankah jujur itu adalah suatu keharusan?
Gadis itu lebih dulu memutuskan kontak mata, dan melangkah masuk ke dalam ruang ganti.
"Ada Mama di bawah. Cepat turun. Mas tunggu," kata Panji memberitahu.
"Udah cuci muka belum?" Lagi-lagi Ibunya mengingatkan. Panji mendapat timpukan keras di lengannya saat sedang menikmati perkedel jagung.
"Makanya jangan jorok-jorok. Cuci muka dulu. Gosok gigi, baru makan."
Sembari mendengus, Panji segera masuk ke kamar mandi, melakukan kegiatan sesuai yang diperintahkan Ibunya. Keluar dari kamar mandi, Panji melihat Dian sudah duduk manis di meja makan, tengah menyantap sarapan. Panji menarik kursi dan duduk di samping Dian. Diliriknya gadis itu tengah mengambilkan piring untuknya, menuangkan nasi dan lauk.
"Nah, gitu! Ini baru namanya istri salihah. Punya suami itu dilayani, dirumat seng apik. Ojok dijarno wae."
Panji tersentak. Mencerna maksud omongan Ibunya. Saat ia lihat tatapan matanya mengarah kepada Dian, Panji baru sadar, ternyata Ibunya sedang menegur Dian. Tapi, kenapa justru Dian?
"Dan kamu!" Kali ini tatapan Ibunya beralih pada Panji. "Sebagai suami itu harus bisa nasihatin istri. Jangan suka ngebebasin istri nonton film sampe nggak tahu waktu."
Nonton film?
Panji reflek menoleh ke samping, menanyakan maksud omongan Ibunya melalui tatapan mata, dan ....
"Maaf mas, lain kali nggak akan ku ulangi lagi. Semalem keasyikan nonton sampai lupa waktu."
Oh! Panji paham sekarang. Tadinya ia sempat sangsi dengan mata Dian yang sembap. Ia takut Ibunya akan langsung mencecarnya. Tapi si cerdas Dian, membual dengan alasan yang masuk akal. Baguslah! Lega rasanya.
"Nonton film kok sampe nangis-nangis. Kurang penggawean!" lanjut Ibunya mengomel. "Daripada buang-buang waktu, kan mending kalian pake buat bikinin Mama cucu."
UHUK!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)
RomanceDian sangat mencintai suaminya. Meskipun suami sekaligus pria yang dulu pernah menjadi kakak angkatnya itu telah menjatuhkan hatinya pada wanita lain. Jika bisa memilih, lebih baik Setya memilih kekasihnya, daripada terikat dengan gadis yang sudah...