─c,

596 138 33
                                    

Awal Oktober.



Dua belas hari sebelum ulang tahun Park Jimin. 

Semuanya berjalan lancar. Lancar sekali. Meskipun masih saja telihat luka goresan pun sayatan di lengan Jimin, setidaknya semua lukanya bisa Taehyung obati dengan benar. Selama dua tahun belakangan, Taehyung belajar dari sang ayah untuk membersihkan luka, mengobati luka. Semua ia lakukan untuk sahabatnya, untuk Park Jimin seorang. 

Katanya, ia tak mau membiarkan Jimin melukai tubuhnya tanpa diobati. Nanti tangannya diamputasi, pikirnya. Meski awalnya Jimin menolak, pada akhirnya ia pasrah saja. 

Dan sebenarnya Taehyung sedikit bersyukur. Luka di tangan Jimin kian menipis. Sayatannya kian memudar, hanya tersisa goresan-goresan panjang yang tidak terlalu dalam. Jimin juga terlihat sedikit lebih tenang. 

Taehyung sempat berpikir dengan kepercayaan diri yang tinggi, mungkin Jimin tenang karena ada ia di sampingnya. Tapi rupanya, kalau diperhatikan, kepanikan Jimin memudar saat ia meremat pahanya. Awalnya Taehyung tidak curiga. Awalnya, Jimin menyembunyikannya dengan sangat baik.





Tapi, siapa Taehyung kalau ia tak mampu memahami gelagat temannya sendiri?







Taehyung memperhatikan, terus memperhatikan sampai ia menarik kesimpulannya. 









Jimin mulai menyayat kakinya. 





Itu dia, ucapnya dalam hati.





Saat ia meremat pahanya, Jimin terkadang meringis. Atau ekspresinya sedikit berubah, ia terlihat kesakitan. Tapi setelah itu, ia akan terlihat baik-baik saja, seolah tak terjadi apa-apa.



Taehyung merutuki Jimin di dalam hati. Untuk apa, untuk apa Jimin melakukan hal itu lagi? Tak cukupkah luka-luka yang berada di lengannya? Tak cukupkah kehadiran Taehyung untuk membuatnya sedikit lebih tenang? Atau selama ini, hanya Taehyung yang terlalu percaya diri, memandang dirinya sendiri sebagai penenang Jimin, padahal tidak sama sekali?









Satu minggu setelahnya, akhirnya Taehyung bercerita pada sang ayah. Di dalam hatinya tercampur-aduk berbagai perasaan. Entah sedih, sesak, pun marah. Ia sedih karena Jimin menambah tempatnya melukai diri lagi. Dadanya sesak saat membayangkan Jimin menyayat kakinya diam-diam. Dan Ia marah, karena Jimin bahkan tidak memberitahunya tentang hal ini.



"Itu haknya untuk memberitahumu atau tidak, Taehyung.."

"Tapi, ayah, aku ini temannya! Apa Jimin tidak menganggapku teman? Apa aku ini orang asing?"

Sang Ayah tersenyum. "Nak, Jimin pasti menganggapmu seorang teman. Ayah yakin, dia pasti bahagia memiliki orang baik sepertimu di sisinya. Tapi terkadang, ia hanya perlu ruang yang ia sediakan untuk dirinya sendiri, Taehyung. Yang tak ia bagikan pada siapapun. Dan ayah pun yakin, kau punya ruang seperti itu juga, bukan?"

Taehyung diam. Antara enggan menjawab, atau memang tak tahu harus menjawab apa.

"Dengar, kau masih menyayangi temanmu, bukan?"

"Ayah, aku sudah besar─" ucapannya tergantung. "─ya, aku menyayanginya.."

"Kalau begitu temani dia, Taehyung. Kau tak perlu menuntutnya untuk melakukan yang kau mau. Ingat yang ayah ajarkan, kan?"

Kali ini ia hanya mengangguk.

"Percayalah, Jimin pasti akan memberi tahumu soal ini. Tapi bukan sekarang. Sekarang, kau cukup temani dia. Cukup tenangkan dia. Berjanjilah pada ayah, Taehyung. Jangan gegabah, kendalikan emosimu jika Jimin tak bisa mengendalikan miliknya. Kau mengerti?"

"Aku mengerti, Yah. Terima kasih."















Tapi dengan bodohnya, tepat di hari ulang tahun sahabatnya─Taehyung melanggar janjinya. Dan bodohnya lagi, ia lupa cara mengendalikan emosinya berhari-hari.



Sampai ia harus mendengar kabar itu.





Sampai ia harus melihat Jimin terbaring kaku di atas ranjang dengan jahitan di lengan kirinya. 







Sampai ia harus kembali menghukum dirinya sendiri karena telah melakukan kesalahan besar untuk yang kedua kalinya.







to be continued.



alurnya maju mundur nih,
gapapa kan gapapa kan?

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang