3.Grashh!

33 6 0
                                    

Jika Tuhan mengambil nyawaku seutuhnya saat ini juga. Sungguh, tak apa. Setidaknya lukaku akan turut ikut bersamanya....

Luka kala aku masih merindukan dirinya.


Seoul|20;31 pm

Malam ini berbeda saat kurasa hujan turun begitu derasnya menemani kekosongan dibalik rumah mewah milik kedua orang tuaku ini.

Ada dua burung merpati yang mengisi sangkar putih disisi pijakan teras.
Jangan tanya siapa yang merawatnya, Siapa lagi jika bukan si Park Jimin itu.

Siapapun juga akan mengira menjadi diriku yang dikatakan memiliki segalanya akan hidup dengan berkecukupan dan bahagia.

Tapi tidak, benar-benar tidak. Menjadi seorang Shin Yerin akan selalu bahagia itu omong kosong.

Nyatanya saat kedua orang tuaku mempercayai Jimin untuk menjagaku pun, tidak begitu memberi pengaruh besar.

Malam kelewat dingin dan juga menakutkan ini tetap saja ku lewati seorang diri.

Sebenarnya aku bisa saja mengisi kekosongan di hidupku dengan apapun jika mau.

Umumnya gadis malang dan kesepian sepertiku ini pantas menjadi jalang atau gadis malam untuk sekedar melampiaskan kekosongan hidupnya.

Tapi tidak bagiku, bukan karena aku tidak punya nyali. Tapi masih ada setitik harapan bahwa aku pasti akan temu dengan sebuah bahagia.

Walaupun entah berapa juta tahun lagi kemungkinan hal itu akan tercipta. Setidaknya masih ada seseorang yang masih mau menuntunku mengorek bahagia mana yang semestinya harus kudapat.

Pria yang usianya 2 tahun lebih tua dariku.

Seorang Park Jimin yang rela memilih untuk ikut kuliah agar bisa mengawasi dan menjagaku kemanapun aku pergi.

Padahal dirinya sendiri tidak membutuhkan itu. Dia dari keluarga kaya dan sudah jelas telah diwarisi perusahaan dengan cuma-cuma oleh ayahnya itu.

Tapi bodohnya si bantet itu lebih memilih menuruti orang tuaku untuk menjagaku yang sebenarnya dibiarkan mati juga tidak masalah.

Dia juga masih melajang di usianya yang terbilang sudah matang .

Dia bilang, mengurus bayi sepertiku lebih penting daripada mencari pasangan hidupnya. Aku tanggung jawabnya katanya.

Aku sempat berfikir kalau dia berbohong, bagaimana bisa seorang Jimin masih begitu setia atas kelakiannya, sedangkan hari-harinya selalu diselimuti kelap-kelip lampu tengah malam dan alkohol yang pasti sudah menjadi sahabat setianya itu?

Tidak ketinggalan rayuan wanita jalang yang kelewat gila mana bisa membuat seorang Jimin tidak tetarik barang hanya sekali coba?

Tapi sudahlah, membayangkan sahabatku terlalu jauh seperti ini hanya akan membuat kepalaku seakan mau pecah.

Setidaknya didepanku Jimin adalah Jimin. Sikapnya yang biasa saja dan membuatku nyaman bahkan tidak pernah memperlihatkan bagaimana brengseknya dia diluaran sana.

Karena aku hanya menebak-nebak saja.

Meskipun ada satu fakta yang Jimin tidak bisa menyembunyikannya dariku, ialah kecanduan terhadap batang rokoknya.

Tapi, beberapa frase dimana sebuah rokok disandingkan dengan Jimin rasanya sangat tabu. Dia pria yang baik, tapi menjadikan rokok sebagai asupan favorite nya begitu sulit dipercaya.

Aku tidak tau persis kapan Jimin memulainya, Aku juga tidak tau sama sekali alasan Jimin bisa akrab dengan benda itu.

Aku tau semuanya berawal saat aku memergokinya tepat dua tahun yang lalu saat dia bersembuyi dibalik balkon untuk merokok.

PARDON'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang