Siang itu, aku dan Edin duduk berdampingan di tikar hijau bernama rumput. Di belakang truk semen yang semennya sudah diangkut. Kami baru pulang sekolah dan langsung datang ke proyek menemani bapak bekerja. Dan tentunya, dengan seragam merah-putih lusuh yang masih menempel di tubuh mungil kami. Juga dengan beberapa bagian bajunya yang tak dimasukkan ke dalam celana. Menambah kesan tengil semakin lengket dan terasa.
Debu dan panas tidak menyurutkan niatku dan Edin untuk tetap berada di sini. Belajar bersama mengerjakan PR Matematika dari Pak Iron. Aku duduk menyilang, dan Edin tiduran kayak putri duyung. Beberapa pekerja proyek yang mengenakan semacam helm warna kuning menyapa kami sesekali. Yang tentunya kami balas dengan sapaan ramah pula. Agak heran juga, ternyata masih ada yang bisa melihat kami. Padahal tubuh kecil kami ketutupan sama truk ini. Kuduga, para pekerja itu tengah membereskan peralatan proyek mereka. Mengingat jam makan siang akan tiba beberapa menit lagi. Pastilah perut mereka mengadakan konser illegal alias minta diisi.
Sepuluh menit lagi, jam dua belas. Sementara kami-aku dan Edin-pulang sekolah jam sebelas. Habis itu, langsung ngacir kesini, deh. Berarti, sekitar lima puluh menit sudah waktu yang kami habiskan untuk mengerjakan PR. Eh? Jangan salah sangka dulu. Kalau kami mengerjakan PR sejak tiba disini, pastinya PR itu sudah kelar dari tadi. Iya. Sayangnya, Edin malah ngomongin anak baru di kelas. Sebagai teman yang baik, aku harus jadi pendengar yang baik pula. PR kami pun jadi terlantar.
"Abi, suratku sudah kamu kasih belum, sama eneng Theresa?" tanya Edin dengan mata berbinar
Aku mengangguk malas dan berkata, "Sudah."
"Waa!!! Serius kamu, Bi!? Terus si eneng Theresa ngomong apa sama kamu? Dibalas tidak, suratnya?!"
Dasar Edin. Giliran PR malah ditelantarin. Giliran ada cewek geulis-Theresa-malah dinomer satukan. Kebiasaan...
"Dia bilang makasih atas suratnya. Dan secepatnya, Theresa berjanji untuk membalas suratmu..."
"HOREEE!!~"
"Tapi..."
"Tapi apa?"
"Tapi, Theresa kira, itu surat dariku. Begitu aku bilang surat itu sebenarnya dari kamu, Theresa langsung keluar kelas gitu aja."
"Terus?"
"Terus, suratnya dibuang ke tong sampah."
Seakan disambar tujuh petir tujuh malam, Edin membatu seketika. Entah apa yang membuatnya jadi berekspresi seperti itu. Apa, karena perkataanku menohok hatinya, ya? Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Kenyataannya kan, seperti itu. Cinta Edin telah ditolak Theresa-bahkan sebelum Theresa membuka amplop berisi surat pernyataan cinta dari Edin.
"Udahlah, Din. Jangan galau merana kayak gitu, dong. Masa karena ditolak kamu jadi loyo gitu? Semangat, dong! Kerjain PR-nya! Pak Iron lho, yang ngajar," Aku berusaha membujuk Edin keluar dari zona galaunya.
"Aku lagi patah hati. Jangan diganggu. Soal PR, aku lagi gak mood. Nanti aku salin punyamu saja." kata Edin dingin. Dilanjutkan dengan aksi guling-gulingan kesana kemari. Lalu diakhiri dengan Edin yang tiduran memunggungiku. Hah... Edin versi galau ternyata bisa se-menyebalkan ini, ya?
"Mungkin, eneng Theresa nolak aku, karena dia suka sama kamu, Bi." Edin membuka suaranya. "eneng Theresa kan, pindahan dari kota. Punya level tinggi. Maunya sama cowok ganteng, keren, pinter. Mana mau sama cowok urakkan kayak aku?"
Oke. Edin keliatannya, belum benar-benar keluar dari zona galaunya. Kalimatnya tadi, terkesan memuji lewat sindiran. "Haha... Kamu juga bisa kayak gitu, kok. Tentu dengan niat dan usaha. Kalau soal penampilan kan, bisa dipermak." kataku mencoba mencairkan suasana
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Truk Itu Kita Bermimpi
General FictionTerlanjur lahir dan berada disini tidak membuat kami menyerah atau menyesal dengan apa yang terjadi. Ya... Memang sih, pernah kami bandingkan dengan kehidupan orang lain yang lebih tinggi diatas kami. Namun, satu hal yang jadi prinsip kami. Terus be...