سَبْعَةَ عَشَر َsab'ata 'asyara

1.6K 101 0
                                    


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

17. Memiliki Segalanya

"Iya, kamu tunggu di mobil. Aku mau bicara dulu sama Papah," kata David diangguki gadis itu. Setelah Veli benar-benar meninggalkan ruangan papahnya, David kembali bersuara. "Bukannya Veli masih butuh perawatan, Pah? Kenapa segitu gampangngnya izinin Veli kembali ke pesantren?"

"Kamu tahu sendiri Veli itu keras kepala, Papah kalah kata berdebat dengannya."

"Setidaknya Papah tahan dia, cari alasan apa pun biar Veli tetap di sini."

Tora menghela napas lelah, tangannya memijat kedua pelipis. "Udah Papah coba. Tapi Velinya mendesak Papah, Papah kalah telak dengan ungkapannya kenapa dia ingin kembali ke pesantren." Pria itu menumpukan kedua sikut ke meja. "Bukan kematin yang Veli takutkan, tapi bagaimana kehidupan Veli setelah kematian. Veli berkata seperti itu sampai menangis. Veli bersikeras mau kembali ke pesantren karena ingin lebih dekat dengan Tuhannya, ingin berhijrah untuk menggapai surga-Nya. Papah bisa apa jika itu kemauannya? Veli ingin mengejar keterlambatan untuk berlomba menjadi muslimah yang baik di pesantren sebelum ajal menghapirinya."

Tatapan David melunak setelah mendengar penjelasan itu. Dia tidak punya daya untuk mengeluarkan satu kata pun jika alasan gadis itu begitu mulia. Matanya sedikit berkaca. Ingatannya kembali ke waktu lampau, di mana melihat Veli salat walau sedang sakit, menindak tegas apa yang dilarang agama, berusaha keras menghafal Quran meski tidak hafal-hafal.

"Di sisa hidupnya, Veli ingin terlihat sebagai muslimah terbaik di hadapan-Nya."

Bibir David terasa ditutup oleh keinginan Veli. Hatinya bergetar karena tekad Veli yang begitu mengharukan. Gadis itu berjuang di ujung hidupnya untuk mencapai surga, sedangkan dia hanya berleha-leha karena dia tidak terlalu percaya adanya surga dan neraka di kehidupan abadinya..

Setetes air bening jatuh tanpa disadari, hatinya terasa dicabik-cabik ketika sadar bahwa hidup David selama ini tiada arti.

"Veli akan baik-baik saja," ucap Tora untuk menenangkan anaknya. "Sekarang, antarkan dia ke pesantren."

[[-_-]]

Ketika melihatnya, kedua sudut bibir mungil itu tidak bisa ditahan untuk tidak melengkung ke atas. Laki-laki di sampingnya selalu punya pesona yang bisa melambungkan angan. "Memiliki kamu adalah memiliki segalanya. Harus bagaimana lagi cara Veli bersyukur kepada Allah yang telah mengirimkan kamu ke hidupnya Veli?"

Laki-laki yang daritadi ditatap gadis di sampingnya  tertawa kecil. "Jujur, Kakak deg-degan ditatap bidadari kayak gitu. Kalau kita kecelakaan jangan nyalahin, ya?"

"Eh? Astagfirullah, naudzubillahi mindzalik. Kak David ... ishhh."

David tertawa puas sambil melirik Veli sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan. "Aku tahu aku ganteng, tapi nggak usah natap kayak gitu. Soalnya kalau ditatap sama bidadari, Kakak suka salah tingkah."

"Dih, kepedean! Kata siapa ganteng?"

"Banyak kok yang bilang gitu. Salah satunya kamu. Ingat nggak pas waktu MPLS kamu bilang Kak David yang ganteng, makasih, ya."

Veli tertegun, mengingat-ingat masa MPLS. Namun, otaknya kosong, seolah memori masa itu tidak ada. Kepalanya menggeleng, David paham bahwa ingatan gadis itu sudah melemah. Bahkan sebagian memorinya pasti sudah hilang.

"Jadi, dulu ada satu orang di kelompok kamu melakukan kesalahan, tapi dihukumnya satu kelompok. Kamu ketua kelompoknya.  Karena Kakak nggak tega lihat kamu di hukum, Kakak bawa aja ke kantin. Waktu itu Kakak bohong sama teman kelompok kamu, bilang sama mereka karena ketua kelompok hukumannya lebih berat. Padahal Kakak nggak hukum kamu apa-apa," jelas David. Veli terkekeh mendengarnya, meski dia benar-benar tidak ingat kejadian itu. "Sebagai tanggung jawab karena udah bikin gadis orang makan di kantin, Kakak traktir kamu. Terus kamu bilang  Kak David yang ganteng, makasih, ya."

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang