"Yaudah gue anterin kemana pun lo mau."
Vio menoleh, cukup kaget mendengarnya. Kenapa bisa si es batu peduli padanya.
"Lo gak mau? Yaudah terserah." Ujar Bintang sambil menyalakan motornya.
Vio kembali berpikir, jika tidak ikut dengan Bintang, harus kemana?
"E-eh.. i- iya gue mau."
Vio pun menaiki motor Bintang dan Bintang langsung melajukan motornya.
"Lo mau kemana?" Tanya Bintang di balik helmnya.
"Kemana aja terserah lo." Jawab Vio terdengar malas.
"Kok jadi terserah gue?" Tanya Bintang lagi.
Vio tidak menjawabnya. Kini terbalik, justru Vio lah yang sering tidak menjawab omongan Bintang.
Tanpa pikir panjang Bintang berniat membawa Vio ke danau yang dulu merupakan tempatnya berdiam ketika pikirannya kacau.
Jalan raya sangat ramai, namun keheningan dan kecanggungan tetap tercipta diatas motor Bintang, tak ada percakapan apapun selama mereka duduk diatas motor.
Vio tak menyangka, Bintang kini membawanya ke tempat yang sangat memanjakan mata. Pepohonan yang asri, air danau yang begitu jernih, membuat Vio tak bisa mengedipkan matanya.
"Cepetan turun." Suara Bintang kini membuyarkan lamunan Vio. Vio pun turun dari motor menuruti apa kata Bintang.
Bintang berjalan mendahului Vio hingga berhenti tepat di depan danau, Vio pun ikut berhenti dan duduk di samping Bintang.
Vio kembali terdiam, menikmati keindahan di depan matanya.
"Lo tadi kenapa nangis? Cengeng banget." Ujar Bintang.
"Lo ngomong gitu karena lo gak ngerti."
"Apa yang harus gue ngerti?" Tanya Bintang lagi.
"Lo nanya itu karena peduli atau sekedar pengen tau? Kalau lo sekedar pengen tau, sorry gue gak akan pernah cerita apapun sama orang kayak gitu." Ujar Vio yang terlihat malas untuk bercerita.
"Kalau sekedar pengen tau, gue gak bakal bawa lo jauh-jauh sampe kesini." Ujar Bintang, dingin.
"Artinya lo peduli?"
Bintang kembali tidak menjawab. Bintang rasa Vio pasti tahu jawabannya, tidak perlu bertanya kembali. Cewek seperti inilah yang Bintang tidak suka, yang suka bertanya padahal dia sendiri tahu jawabannya.
"Keluarga lo pasti sempurna, dan orangtua lo kayaknya sayang banget sama lo." Ucap Vio yang tiba-tiba membahas keluarga. Bintang tidak menimpalnya, ia memilih untuk mendengarkan dulu lanjutan pembicaraan Vio.
"Beda sama keluarga gue. Orangtua gue gak pernah sayang sama gue. Di mata mereka, gue cuma pembawa sial. Gue bingung, kenapa Tuhan nyiptain gue sementara kehadiran gue gak diharapkan sama siapapun." Lanjut Vio dengan mata berkaca-kaca.
"Di dunia ini pasti ada yang mengharapkan lo. Lo nya aja yang gak tau." Ujar Bintang.
"Gak ada. Gue tau itu. Gak ada yang mengharapkan kehadiran gue. Ada atau gak adanya gue, gak ada yang peduli." Ujar Vio dengan suara parau.
"Orangtua gue cerai, dari dulu mereka gak pernah ngerti perasaan gue. Gue cape, tiap detik ada aja masalah. Gue gak bisa nanggung semua masalah ini. Terkadang gue ngerasa buat apa hidup. Dari kecil gue dituntut buat dewasa, jadi gue gak tau dan gak ngerasain indahnya masa kecil."
"Dan lo tau apa yang paling gue benci?"
Bintang menoleh, mengangkat sebelah alisnya.
"Gue benci sama nyokap gue, dan hal itulah yang paling gue benci. Kenapa nyokap gue sendiri yang harus gue benci? Kenapa rasa benci ini harus tertuju buat dia?" Air mata Vio kini mulai jatuh, Vio tidak sanggup lagi menahan semuanya. Kini pecah sudah kesedihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA
Teen FictionMenjadi seorang dokter tidaklah mudah, apalagi ketika harus terjebak dengan masalalu. Itulah yang Vio alami. Berawal dari sebuah geng di masa SMA, Vio tidak menyangka bahwa dia mampu jatuh ke lain hati setelah masuk ke geng tersebut, padahal dia sen...