"Ketika Hati Tak Mampu Mendustai"

304 3 4
                                    

           By: Nafiisah FB (@nafiisahfb)

  Damar memandangi sawah menghijau di hadapannya tanpa jeda.  Hampa.  Hijau di depan matanya tidak mampu membuat resahnya memudar.  Kelebat memori menghiasi alam pikirnya.

            ”Aku enggak bisa, Mas.  Hari ini aku harus hadir di rapat pimpinan. Sori,ya, Mas. Lain kali, deh.”

            Damar mendesah.  Hijau di hadapannya tidak mampu membuatnya terlupa.

            ”Mas !  Aku buru-buru, nih!  Kopinya biar Mbok Yem aja, ya, yang siapin.  Assalamu’alaikum!

            Ingatan itu menerpa. Damar menghela nafas.  Semilir angin tidak menyejukkan panas di hatinya.

            ”Mas Damar ngerti,dong !  Aku, kan, melakukan ini semua bukan cuma untuk aku, tapi untuk kita ! Hadapi kenyataan, Mas.  Mas Damar diberhentikan dari kerjaan, tapi hidup kita enggak lantas ikut berhenti, kan ?!  Siapa yang akan bayar kontrakan ?!  Yang bayar listrik ?!  Buat makan?! Minum?!”

”Aku sanggup!” Teriak Damar menggelegar. Gemanya membuat beberapa petani terjaga dari keasyikan mereka memangkas gulma.

Mereka menatap Damar terpana.  Damar pun menatapi mereka beberapa lama sebelum kakinya diayunkan cepat meninggalkan dangau.

oooOooo

            ”Al, sampai kapan kamu akan pertahankan ego kamu?  Pernikahan bukan hanya untuk satu orang, dan bukan hanya tentang persoalan perut!”

            Mbak Zahra sedang merapikan jemuran. Dia memberikan nasihatnya yang ke seribu satu. Alya pun untuk kali yang ke seribu satu hanya diam.

            ”Damar ke rumah Kang Hadi.  Dia baru tiba tadi malam.”

            ”Kok, Mbak Zahra tahu?” Alya bangkit sambil tangannya ikut melipat pakaian.

            ”Kang Hadi telpon aku,” jawab Mbak Zahra mengangkat tumpukan pakaian ke meja dalam.

            ”Aku heran! Kenapa Kang Hadi enggak telpon kamu aja?!” Teriak Mbak Zahra dari dalam.  Alya kembali hanya diam.  Kemarin malam .... dia sedang meeting dengan klien penting perusahaan.  Ponsel dia sengaja matikan. Alya hanya mendesah panjang.

oooOooo

            Kamar itu masih dengan warna yang sama.  Biru, warna kesukaan Damar masih mendominasi nuansa.  Dulu dirasakannya biru itu membuatnya ceria, kini hampa.

Alya menghampiri tempat tidur dan duduk lunglai.  Matanya menatap ruang hampa di depannya.  Alya menghela nafas panjang.

”Mas, kalau aku memang salah ... apa lantas kamu berhak melakukan ini?” Batin Alya.

”Kalau ..., ”lanjut batinnya.     

            Alya merebahkan dirinya. Tangis diuraikannya.

            ”Mbak Zahra benar. Aku egois.  Sudah terlalu banyak alasan yang aku buat untuk memenangkan diri. Dan Mas Damar ... .” Isak menjedakan kata. Alya membiarkan suara isaknya memenuhi ruang.

oooOooo

            ”Mar, mbok ya kamu pulang. Kasihan Alya sendirian.  Dua minggu itu cukup untuk buat dia sendirian merenung.”

            Damar mendorong asbak lebih dekat ke hadapan Kang Hadi, kakak tertua Alya. Kang Hadi memandangi Damar menanti komentar.

            “Mudah-mudahan begitu, Kang. Mudah-mudahan dua minggu ini memang dia pakai untuk merenung.”

Isi Relung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang