Dia Marah Tanpa Alasan

12.5K 926 28
                                    

Mengapa justru ia yang menyukai kejelasan selalu menitipkan hal abstrak pada setiap akhir cerita

-Assalamualaikum Ketua Rohis-
La_Tahzan27

-----

Disore hari, angin sepoi-sepoi meski pelan setidaknya mampu menuntaskan dahaga untuk sementara. Sudah sepuluh menit mungkin, kegiatan yang aku lakukan hanya ini saja.

Aku duduk pada salah satu kursi halte, memperhatikan pergelangan kaki yang terus saja aku gerak kan. Sekedar kegiatan kecil tapi mampu membuat aku melupakan waktu.

Deringan ponsel terdengar, aku melirik sekilas ponsel yang ku letakkan dengan posisi tengkurap tepat di samping kanan ku. Hanya sekilas, lalu memusatkan fokus pada pergelangan kaki kembali aku tekuni. Deringan ponsel hilang, namun beberapa detik selanjutnya ia kembali memecah kesunyian ku pada halte ini.

"Assalamualaikum. Siapa?" Sanking malasnya aku menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa sang penelfon.

"Wassalamualaikum. Dengan penguntit" jawaban dari seberang sana membuat aku sedikit tertarik. Penguntit katanya? Bukan nya takut justru terkesan lucu bagi ku.

"Wah beneran anda penguntit? Yang kayak di film-film itu kan yah?"

"Terus?" Jawaban singkat sang penelfon.

"Saya senang loh, artinya anda fans saya dong" aku semakin semangat saja membalas ucapan yang menelfon ku ini.

Aku sedikit tertawa padahal dengan susah payah mempertahankan wajah serius sudah aku lakukan. Aku tau, pria ini adalah Raka. Suara nya sudah aku hafal sanking sering nya mendengar seperti rumus phytagoras.

Tapi bagaimana lagi kalau hobby ku semenjak menikah dengan pria itu tumbuh dengan alami bahwa mengajak Raka bercanda ternyata seru. Jika ikut gaya bicara nya, itu akan memuat pusing, hanya berputar pada poros serius dan ambigu.

"Kamu semakin aneh habis terbentur tanah. Besok-besok ulangi biar waras nya kembali"

Sarkatisme nya keluar. Tapi mungkin hanya aku yang menganggap ucapan Raka sebagai majas, aslinya memang seperti ini lah Raka jika telah serius.

"Kenapa belum pulang?" Tanya nya setelah aku hanya diam.

Menggerakkan kaki kembali aku lakukan. "Tunggu angkot" jawab ku.

"Aina kemana?"

"Ada keperluan keluarga. Ngak enak kalau harus ngantar aku dulu. Dia kan lagi buru-buru" penjelasan ku kepada Raka.

Satu hal yang aku pelajari, Raka adalah penggemar kejelasan. Apa-apa harus membutuhkan kejelasan, harus terperinci, mungkin ini sebab nya ia sering bertanya. Tapi yang aku kesal, mengapa justru ia yang menyukai kejelasan selalu menitipkan hal abstrak pada setiap akhir cerita. Ini tidak adil.

"Yasudah. Wassalamualaikum" lalu setelah salam ia ucapkan telfon pun terputus secara sepihak. Bahkan di saat aku belum membalas salam pria ambigu itu.

Aku mengangkat bahu acuh, memperhatikan sekitar menunggu angkot datang lebih penting dari pada tingkah ajaib Raka.

Sudah pukul lima sore, jam sekolah bubar setelah shalat Azar. Artinya sekitar satu jam sudah aku habiskan di sekolah selepas waktu normal sekolah.

Halaman sekolah pun mulai sepi, hanya suara anak Pramuka yang samar-samar terdengar. Mereka tengah latihan, aku tidak mengerti apa nama latihan mereka.

Pantas angkot tidak ada yang lewat. Jam sekolah telah selesai, buat apa lagi melewati jalur ini. Ah, ini salah ku terlalu lama menghabiskan waktu hanya sekedar memakai sepatu sehabis shalat Azar.

Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang