Syahirah sudah menghubungi hampir semua nomor yang ada dikontak handphone milik Aldo. Tapi satupun tidak ada yang tahu di mana keberadaan Aldo setelah mengajar di SMA dan ada yang bilang, kalau Aldo pun tidak datang ke kampus untuk mengajar di kelas malam. Lalu, di mana suaminya berada sekarang?
Semalam ia tidak bisa tidur. Meskipun Syahirah sudah memejamkan kedua mata mencoba untuk tidur, pada akhirnya kedua matanya akan terbuka lagi. Memikirkan suaminya yang tak kunjung pulang. Terlebih lagi ia dapat informasi yang tak mengenakan dari Alea. Syahirah semakin khawatir, takut sesuatu terjadi dengan suaminya. Sedangkan ia belum bisa melapor pada polisi karena belum dua puluh empat jam.
Syahirah mengambil tas selempang favoritnya sejak sekolah dibangku SMA. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Anak Pelangi. Selain untuk menemui anak-anak, ia bermaksud untuk minta bantuan Azki. Syahirah berharap laki-laki itu bersedia membantunya.
Sebenarnya Syahirah tidak ingin minta bantuan dari orang luar. Tapi, ia tidak punya pilihan lain. Reno harus bekerja mencari nafkah dan kakak iparnya sedang hamil tidak boleh kelelahan. Jika sampai Farah kelelahan, Syahirah pasti kena omelan kakaknya. Reno sangat menjaga dan memperhatikan Farah. Reno juga lebih proktetktif semenjak Farah mengandung anaknya.
"Assalamu'alaikum anak-anak," Syahirah memberi salam sambil menunjukan senyum ceria seperti biasanya. Anak-anak yang sudah mengenal Syahirah langsung menyambut perempuan itu dengan pelukan hangat. Baik Syahirah ataupun anak-anak, mereka saling rindu.
"Kak Syahirah, kami turut berduka cita ya kak," ujar salah satu anak laki-laki berusia 10 tahun yang bernama Dimas. Lalu, disusul anak-anak lainnya mengatakan turut berduka cita. Syahirah senang melihat anak-anak asuhnya memiliki rasa simpati dan empati terhadap seseorang, terhadap satu sama lain.
Syahirah tersenyum hangat. "Terimakasih ya, semuanya?" Anak-anak mengangguk. "Omong-omong, kak Azki di mana? Ada yang tau?"
"Kak Azki belum datang kak," jawab Dimas. Syahirah mengangguk. Ia melihat ada beberapa anak yang hanya memerhatikan dirinya. Menatap dirinya dengan bingung.
Syahirah mensejajarkan tingginya dengan Dimas dan anak-anak lainnya. "Mereka siapa? Teman baru kita kah?" Dimas dan anak-anak lainnya mengangguk. "Ya udah, kak Syahirah ke sana dulu ya? Mau kenalan sama mereka," kata Syahirah sambil berdiri. Ia menghampiri anak-anak yang baru ia lihat. Wajah-wajah baru. Mereka terlihat bukan seperti anak jalanan seperti yang lainnya.
Sekitar ada sepuluh anak duduk disofa yang ada di dalam rumah. Syahirah menghampiri mereka dan duduk dibangku yang berhadapan dengan kesepuluh anak tersebut.
"Hai, assalamu'alaikum semuanya," Syahirah menyapa sambil tersenyum hangat. Tiga orang anak menjawab salamnya dan sisanya tidak menjawab. Ketujuh dari anak tersebut merupakan non islam.
"Kalian baru ya, di sini? Soalnya kakak baru pertama kali melihat kalian di sini," kata Syahirah.
"Kami di sini sudah seminggu. Kami juga baru pertama kali melihat kakak," kata salah satu anak yang usianya 13 tahun.
"Kalau gitu, kita kenalan. Seperti pepatah. Tak kenal maka tak sayang. Nama kakak, Syahirah. Nama kamu?" tanya Syahirah pada anak perempuan yang duduk dari sebelah kanannya.
"Aku Audri, kak. Salam kenal kak Syahirah," kata anak yang berusia 13 tahun dan diketahui namanya adalah Audri. Satu per satu anak memperkenalkan namanya ke Syahirah.
Usai kesepuluh anak mengenalkan namanya. Syahirah bertanya lagi, "Kalian dari mana? Mohon maaf sebelumnya, apa kalian anak jalanan juga?" Syahirah bertanya dengan sangat hati-hati. Takut menyinggung perasaan kesepuluh anak tersebut.
"Kami bersepuluh dari rumah panti asuhan yang ada dikampung sebelah. Karena rumah itu sudah diambil alih oleh si pemilik aslinya, akhirnya kami diusir. Karena ibu panti tidak punya tempat untuk kami, akhirnya beliau melepaskan tanggung jawabnya. Dan akhirnya kami semua berpencar," jelas Audri. Syahirah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh mereka.
"Assalamu'alaikum," Azki masuk ke dalam rumah sambil memberi salam. Laki-laki itu terkejut melihat Syahirah yang sudah duduk dibangku sedang mengobrol dengan anak-anak. Syahirah berdiri melihat kedatangan laki-laki itu, begitu juga dengan kesepuluh anak tersebut. Mereka menjawab salam Azki. Kesepuluh anak itu menghampiri Azki, menyalimi punggung tangannya.
"Kirain saya kamu belum bisa datang ke sini, ternyata kamu datang. Sudah lama?" Azki bertanya. Ia duduk di sebelah Syahirah. Tentu saja dengan jarak. Syahirah mengangguk.
"Aku mau minta bantuan kamu. Apa kamu bisa bantu aku, Ki?"
***
Aldo masih terbaring lemah dirumah sakit. Aldo masih dirawat diruang ICU. Kondisinya semakin lama semakin membaik sejak semalam. Tapi, laki-laki itu belum membuka matanya hingga sekarang. Kedua matanya masih terpejam. Aldo masih betah tidur. Ia tertidur dengan begitu damainya.
Ustadz yang baru saja kembali dari pondok memerhatikan kondisi Aldo yang semakin membaik melalui jendela. Kali ini ia tidak datang sendiri. Ia juga tidak datang bersama istri dan anaknya, melainkan ketua yayasan pondok pesantren Al-Adlu. Kiyai Gufran datang setelah ustadz yang membawa Aldo ke rumah sakit bercerita tadi setelah shalat subuh.
"Sepertinya kondisi sudah mulai membaik, tapi pemuda itu masih betah memejamkan kedua matanya." ujar Ustadz.
"Semoga saja pemuda itu cepat sadar dan pulih. Apa tidak ada nomor keluarga yang bisa dihubungi?" tanya Kiyai Gufran. Ustadz itu menggeleng, "Tidak ada," jawabnya.
Entah sampai kapan Aldo akan terus tertidur pulas dibangsal. Dengan keadaan kepala yang diperban, nemakai masker oksigen, alat infus yang terpasang dan alat elektrokardiogram yang berbunyi nyaring di dalam ruangan memenuhi kesunyian yang ada di dalam sana.
Kecelakaan mobil yang dialami Aldo tidaklah begitu parah. Hanya saja kepalanya yang terbentur setir membuat kepalanya mengeluarkan darah. Darah yang keluar dari kepala laki-laki itu juga tidak sedikit, tapi banyak. Aldo mengalami pendarahan.
***
"Bagaimana bisa Aldo hilang?" Azki benar-benar terkejut. Ia tidak menyangka kalau seorang Aldo, orang yang sudah dewasa bisa hilang. Terlebih lagi Aldo tidak memiliki riwayat penyakit apapun.
Syahirah sudah selesai bercerita meskipun tidak secara detail. Syahirah menggeleng lemah. Seandainya Aldo tidak pergi, maka hal ini tidak akan terjadi. Dan seandainya suaminya itu membawa handphone-nya, Syahirah pasti sudah tahu di mana keberadaan dan keadaan suaminya. Nyatanya, Aldo tidak membawa handphone miliknya.
"Kata Alea, mas Aldo mengalami sakit kepala. Tapi bukan sakit kepala yang biasa. Alea tidak menjelaskan detailnya. Yang Alea katakan, kalau mas Aldo tidak boleh berkendara sendiri, harus ada sopir atau dibonceng. Karena sewaktu-waktu rasa sakit dikepala mas Aldo akan terasa dan bisa terjadi kecelekaan. Aku sangat khawatir, Ki. Aku takut terjadi apa-apa dengan mas Aldo. Terlebih lagi, dari kemarin ia belum pulang." Syahirah mengungkapkan rasa khawatirnya.
Azki tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa memeluk perempuan itu ataupun mengusap punggung perempuan itu untuk sekedar menenangkannya. Syahirah sudah bersuami, dan Azki hanya sekedar teman. Tidak ada hubungan apa-apa selain berteman. Itulah yang membuat Azki tidak berani menyentuh Syahirah karena bukan mahramnya.
"Jadi, kita mau cari Aldo dari mana?" Azki bertanya. Syahirah menggeleng. Ia sendiripun tidak tahu harus mencari Aldo ke mana. "SMA tempat Aldo mengajar di sekitar daerah mana Sya?" Azki bertanya lagi. Syahirah menggeleng lagi. Ia tidak tahu.
Bukan karena Aldo tidak memberitahu. Suaminya sudah memberitahu di mana sekolah tempat ia mengajar. Tapi, Syahirah tidak menghiraukannya. Saat Aldo memberitahunya, saat itu keadaan Syahirah sedang kacau. Apa yang dikatakan suaminya tidak begitu ia dengarkan, tidak fokus. Sehingga Syahirah tidak tahu-menahu mengenai tempat Aldo mengajar yang baru.
Syahirah menyesal belum bisa menjadi istri yang baik bagi Aldo. Tempat suaminya mengajar saja, dia tidak tahu. Apakah dia benar-benar seorang istri dan benarkah dia mencintai Aldo? Jika iya, setidaknya dia tahu segala hal yang penting tentang Aldo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahirah 2: Aldo ✔
RomanceJodoh itu rahasia Allah. Jika memang Allah sungguh menakdirkan kita untuk bersama. Percayalah, suatu saat nanti kita akan dipertemukan kembali dan akan hidup bahagia bersama. Seperti nabi Adam dengan Siti Hawa yang dipertemukan kembali setelah sekia...