08 - Luka dan amarah

954 109 6
                                    

Arka menyulut ujung rokoknya, asap dari benda itu melayang terbawa angin. Diisapnya gulungan tembakau di celah jarinya dalam-dalam. Tatapannya lurus ke depan, tampak kosong.

Arka menyandarkam punggungnya pada kursi panjang yang ia duduki. Tubuh tegapnya sedikit merosot seakan ada beban yang tak sanggup ia pikul sendirian lagi.

Angin berembus pelan, menyapu puntung rokoknya yang masih ada dalam celah jari. Arka menghela napas saat sesak di dadanya kembali terasa.

Lucu.

Ia pikir ia sudah tidak bisa merasakan sesak itu lagi. Arka pikir rasa itu sudah bersahabat dengannya dan mulai sedikit melunak. Namun, ia terlalu percaya diri, tak ada yang benar-benar ingin menajdi temannya, bahkan rasa sakit pun, mereka hanya datang untuk mengejek dan menyiksanya.

Ia sendiri dalam kategori apapun.

Ia hidup namun merasa mati.

Ia ada namun seolah tidak ada.

Ia dibuang.

Ia dicampakkan.

Semua fakta itu tak pernah Arka elak. Ia menyadari semuanya. Ia menyadari kesendiriannya. Ia menyadari lukanya. Ia menyadari beban yang ia pikul selama ini.

Namun, Arka terlalu malas mengatasi semuanya. Diam adalah senjatanya untuk bertahan. Jika ia berontak, Arka tak bisa membayangkan, bagaimana ia akan berakhir.

"Hai."

Arka tak terkejut dengan kemunculan tiba-tiba gadis itu, memang Arka sudah merasakan kalau ia dibuntuti. Arka harus akui keberanian gadis ini.

"Gue boleh duduk?"

Ditatapnya Arka yang terdiam dan malah terus mengisap ujung rokoknya. Retha menghela napas, percuma ia meminta izin terlebih dahulu.

Retha menjatuhkan duduknya secara perlahan, takut-takut jika ia ceroboh dapat mengganggu cowok itu. Namun, tanpa ia sadari, sebenarnya kehadirannya sudah mengusik ketentraman Arka.

"Mm, soal yang kemarin," Retha meremat kedua jarinya di atas pangkuan, "makasih ya, lo udah nolongin gue."

Retha memandang wajah tampan Arka dari samping. Rahangnya terlihat kokoh, hidung mancung dan bibir yang tipis adalah sebuah perpaduan yang sangat sempurna. Sepertinya, jika Arka dilihat dari sudut mana pun, cowok itu akan tetap tampan.

Retha menggeleng, ia seharusnya tak selancang ini menatap wajah Arka. Apalagi mengaguminya sedalam ini. Retha menarik napas, mencoba untuk memungut kembali fokusnya yang sempat berantakan karena paras tampan yang duduk di sampingnya.

"Gue juga minta maaf." Retha melanjutkan, namun kini ia tak menoleh menatap Arka, berjaga-jaga jika ia kebablasan lagi. "Pertemuan kita diawali dengan suasana yang kurang baik. Gue ngomel-ngomel nggak jelas sama lo, gue bener-bener minta maaf, gue nggak bermaksud bersikap kayak gitu sama lo."

Angin berembus, entah mengapa malah membuat Retha semakin gugup. Setiap kalimat yang ia ucapkan tak pernah mendapat jawaban, bahkan untuk deheman atau anggukan kecil pun tak ada. Retha merasa tengah berbicara sendiri, seolah sedang melatih dialog untuk pertunjukkan teater.

Arka itu ada, tapi seolah tidak ada.

"Mm." Retha semakin gugup, ia tak membayangkan berada di dekat Arka ternyata semencekam ini. "Dan thanks ya lo udah nganterin tas gue tanpa ada barang yang hilang."

Retha merunduk, namun dari ekor matanya dapat ia lihat Arka yang menoleh menatapnya. Retha ikut menoleh tanpa pikir panjang. Tampang tak mengerti Arka langsung menyambut tatapannya.

Say Hi, ArkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang