KEDUA PULUH SEMBILAN

14 7 11
                                    

Pikiran ku masih terbagi antara senyum dan wajah Kak Rendy. Bagaimana bisa ada manusia yang sedang tersenyum bahagia tapi wajah nya nampak biasa-biasa saja? Wajah dingin yang menakutkan dan senyum manis yang menggiurkan, ah Rendy Alfiano memang lelaki hampir sempurna. Memang, di dunia ini tidak ada yang sempurna selain Sang Pencipta. Tapi, jika satu saja yang dapat diubah dari wajah dingin Kak Rendy menjadi terlihat hangat dan ceria dapat ku pastikan dia lelaki sempurna yang pernah ada. LEBAY!

Eit, aku hampir melupakan Raditya Putra. Dia juga merupakan lelaki hampir sempurna. Tapi, apa ya yang kurang dari Kak Radit? Dia humble dan humoris, selalu bisa mencairkan suasana. Keadaan nya selalu menjadi penenang bagi siapa saja terkecuali untuk ku, karena apa? Mau tenang bagaimana, dia punya seribu hal tak terduga yang kapan saja mampu membuat ku mati di tempat. ALAY!

Akan tetapi ini nyata. Hanya saja kini hati ku tak bertuan pada Kak Radit lagi. Seiring berjalan nya waktu, aku mulai luluh akan pesona dari manusia es yang sekarang sedang membawa ku pulang dengan motor ninja hitam nya.

"Kak Rendy?" Lirih ku memanggil nya, saat kendaraan yang kami tumpangi sudah sampai di tempat biasa.

"Hmm?" Jawab nya berdeham selagi membuka helm.

"Bawa aku ke rumah Kakak, ya?"

"Mau ngapain?" Susul nya dengan cepat.

"Mau main," Jawab ku simple.

"Gak mau," Tolak nya mentah-mentah.

"Lho, kenapa?"

"Ya gak mau aja!"

"Tapi aku pengen main ke rumah Kakak."

"Mau ngapain sih?" Tanya nya ketus.

"Mau main sama mamah nya Kak Rendy, mau kenalan terus mau masak bareng terus nanti hasil nya di cicipi deh sama Kakak. Pasti seru," Tutur ku dengan semangat.

"Mamah gue gak ada!"

"Maaf Kak aku gak tau. Maaf aku gak maksud bikin Kakak keinget lagi," Balas ku penuh sesal.

"Mamah gue belum mati, kali."

"Ih kok, Kak Rendy kasar banget sih ngomong nya! Mati, emang mamah Kak Rendy apaan," Dengan kesal aku memutar bola mata jengah kepada nya. Sekasar itukah ucapan nya pada perempuan bahkan pada ibu nya sendiri?

"Udah lah sana pulang!" Usir nya kemudian.

"Bawa dulu aku ke rumah Kakak," Tukas ku kukuh.

"Gue gak mau."

"Harus mau!"

"Jangan maksa!"

"Kakak aja sering maksa aku."

Aku berkacak pinggang. Bisa-bisanya dia menyuruh ku agar tak memaksanya, tapi dia sendiri sering kali memaksa ku untuk menuruti perintah nya.

"Lo tadi mau pulang kan? Udah sana, ngapain harus ke rumah gue sih."

"Ya aku mau pulang nya ke rumah Kakak."

"Mau ngapain, bawel?" Tanya nya pasrah.

"Mau main aja ih, daripada keluyuran gak jelas mending main di rumah Kakak," Bujuk ku dengan mengandalkan puppy eyes.

"Emang gue ngajak lo main?"

"Aku yang ngajak Kakak, sekarang juga!"

"Ogah!" Tolak nya lagi.

"Ihh ... harus mau!" Kini aku mulai mengguncang lengan Kak Rendy layaknya anak kecil yang sedang meminta jajan pada ayah nya.

"Jangan maksa kenapa sih!" Pegangan ku di tepis oleh nya, membuat tubuh ku oleng dan hampir saja akan terjengkang.

The Trouble Of Sunset (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang