Pohon beringin yang berada di seberang jalan raya yang sangat indah jika dilihat pada pagi hari. Namun dari keindahan pohon beringin tersebut sangat banyak isu-isu yang mengatakan pohon tersebut adalah pohon pencabut nyawa bagi yang berani melepaskan batang dari pohonya. Pohon beringin yang sudah ada sejak lama sekali mungkin seumuran dengan nenek saya, pohon yang memiliki batang seukuran badan raksasa dan memiliki daun yang kecil-kecil tapi sangat lebat sehingga mampu menutupi sinar dari matahari. Di sekeliling pohon beringin yang besar itu berjejer rumah penduduk, pura bahkan dagang pun berteduh di bawah pohon tersebut, jika dilihat pohon beringin itu sangat indah dan berteduh di bawahnya seakan mendapatkan kesejukan yang tiada tara tapi tidak semua orang berani berteduh di bawah pohon tersebut setelah beberapa kejadian yang terjadi pada orang yang berdiam di bawah pohon beringin tersebut. Seperti ada beberapa rumah warga dan pedagang yang pernah terimpa ranting dari pohon sehingga menyebabkan kematian.
Kala itu angin baret sekali, angin baret maksudnya angin yang sangat kencang melanda desa sehingga banyak pohon-pohon yang tumbang karena adanya angin baret tersebut. Tidak terhindarkan lagi pohon beringin yang besar itu pun ikut menjadi korban dari keganasan angin saat itu, sehingga salah satu ranting tersebut tumbang dan menimpa salah satu dagang yang berada di bawahnya dan sayangnya lagi pemilik dagang tersebut menjadi korban karena tertimpa ranting pohon yang jatuh. Setelah kejadian yang tidak pernah di duga itu terjadi desa pun berduka, kejadian tertimpa ranting pohon beringin itu bukan yang pertama kalinya tapi sudah ke sekian kalinya terjadi. Tapi, pada saat itu warga tidak pernah berpikir negatif tentang pohon beringin yang katanya angker tersebut, karena warga masih beranggapan bahwa itu adalah kecelakaan yang sudah biasa terjadi kala angin baret melanda. Konon katanya pohon beringin tersebut tidak menyukai orang yang berkata kasar di sekitaran pohon. Pernah ada seorang warga yang memiliki masalah dalam hubungan rumah tangga sehingga emosi yang di pendam keluar yang diwakili dengan kata-kata yang tidak patut di ucapkan, saat itu dia tepat berjalan di bawah pohon beringin dengan melontarkan kata-kata kasar. Tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba ranting dari pohon tersebut jatuh menimpa warga tersebut tepat jatuh di kepalanya sehingga dia meninggal di tempat, sontak warga yang berada di sekitaran pohon beringin tersebut langsung menuju ke warga yang tertimpa ranting pohon dan berusaha untuk menolong tapi apadaya warga tersebut tidak bisa tertolong karena sudah meninggal di tempat tanpa sempat di bawa ke rumah sakit.
Setelah kejadian yang tragis itu, dilakukanlah upacara yadnya untuk membersihkan hawa-hawa negatif yang masih tertinggal di sekitaran pohon beringin dan mohon perlindungan kepada tuhan yang maha esa supaya kejadian yang serupa tidak terjadi lagi. Pohon beringin itu bisa di katakan pohon yang paling besar di daerah tersebut, sangat banyak memiliki teka-teki yang belum bisa di pecahkan secara logika karena paratetuah di sana melarang untuk menebang pohon beringin itu karena siapa yang berani menebang pohon beringin itu tidak akan selamat alias akan meninggal setelah menebangnya, walaupun begitu manusia yang hidup di zaman sekarang belum seratus persen mempercayai omongan atau larangan yang sudah di beritahu oleh petuah di sana.
Desa yang sebentar lagi akan melakukan upacara yadnya yaitu ”ngaben” upacara ngaben menggunakan perantara yang banyak, salah satunya adalah Bade dari sekian banyak perantara yang di gunakan saat upacara ngaben, Bade lah perantara paling besar di antara semuanya karena itu ruang yang luas sangat di butuhkan untuk membawa bade ke kuburan. Sangat banyak pohon-pohon di pinggir jalan raya yang rantingnya sangat mencolok kedalam sehingga menghalangi bade untuk melintas. Buruknya, pohon yang paling menghalangi jalannya bade adalah pohon beringin itu, tidak ada pilihan lain lagi pohon beringin itu juga harus di tebang supaya tidak menghalangi bade saat melintas nantinya. Karena itu, perlu di lakukan perundingan dengan petuah desa tentang hal-hal yang harus dilakukan saat ingin menebang pohon beringin itu, apalagi pohon beringin itu terkenal sangat angker. Warga bernamaMade seorang kepala rumah tangga yang akan mewakili seluruh warga lainnya untuk menanyakan hal itu ke petuah desa sebelum melaksanakan upacara ngaben.
“Om Swastyastu” salam dari Made yang datang ke puri petuah desa pada malam hari yang kebetulan petuah desa itu adalah seorang Jero Mangku Dalem.
“Swastyastu ada apa malam malam pak Made???” sahut Jero Mangku Dalem dengan senyum yg lebar dari mulutnya sehingga membuat suasana tampak riang.
“Begini Jero, saya perwakilan dari warga desa mau menanyakan soal pohon beringin yang rencana akan kami tebang karena upacara ngaben sudah dekat, pohon beringin itu menghalangi jalan yang akan di lintasi bade nantinya.
“ Oh masalah pohon itu, apakah tidak ada cara lain selain menebang pohon beringin itu??” dengan alis yg mengkerut Jero Mangku Dalem menyahut.
Jero Mangku Dalem sangat mengharapkan supaya ada cara lain yang bisa dilakukan selain menebang pohon beringin itu karena dia takut tentang larangan tentang siapa yang menebang pohon itu akan meninggal benar-benar terjadi.
“sepertinya tidak ada Jro, kalaupun mengambil jalan lain tidak akan bisa karena semua jalan sempit selain jalan yang melintasi pohon beringin itu”
“Nggih, jika memang tidak bisa, tebang saja ranting pohon itu. Tapi, sebelum menebang alangkah baiknya melakukan upacara yadnya di bawah pohon beringin tersebut supaya pada saat menebang pohon tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi” Sahut Jero Mangku Dalem sambil memegang dahinya.
“Nggih Jero Mangku” sahut Made dan bergegas pulang untuk memberitahu warga yang lainnya dan mempersiapkan pra sarana yang di perlukan untuk upacara penebangan pohon beringin.
Keesokan harinya upacara yadnya untuk penebangan pohon pun dilakukan, upacara itu berjalan sangat lancar tanpa ada halangan maupun hambatan yang ada semuanya tampak biasa-biasa saja dan seluruh warga yang mengikuti upacara itu terlihat senang di lihat dari raut wajah yang penuh dengan senyuman diiringi dengan suara gambelan yang semakin memecahkan suasana menjadi sangat senang gembira, seolah-olah pohon beringin itu tidak memiliki nilai kemistisan malahan pohon tersebut menjadi tempat berkumpulnya para sanak sodara yang jarang berkumpul. Setelah beberapa lama Jero Mangku yang memimpin upacara yadnya mengucapkan mantra, tibalah di puncak acara yaitu penebangan ranting pohon beringin yang di lakukan oleh orang suruhan dari Made yang sudah di upah yang berasal dari luar desa bernama Sarna. Made pun menyuruh Sarna untuk bersiap-siap untuk memanjat pohon beringin itu, tapi sebelum itu Jero Mangku yang memimpin jalanya upacara memberikan sedikit mantra supaya tidak terjadi apa-apa terhadap Sarna saat melakukan penebangan.
“Sarna apakah kamu sudah siap untuk memanjat pohon beringin itu??” tanya Made.
“sudah pasti siap lah.Pohon ini masih pendek dari pohon-pohon yang sudah pernah saya panjat sebelumnya” jawab Sarna sambil tersenyum ke arah Made.
“ awas pohon ini terkenal angker lo” jawab Made sambil membalas senyuman Sarna.
Sarna pun tertawa “hahaha… tenang aja Made tadi kan Jero Mangku sudah memberikan saya mantra sudah pasti saya akan baik-baik saja.
Sarna pun berbegas memanjat pohon beringin tersebut dengan membawa sebuah kapak yang sangat tajam yang mampu memotong apapun di hadapannya, tanpa pikir panjang lagi Sarna pun memotong ranting demi ranting yang menonjol ke arah jalan raya, banyak warga yang menyaksikan Sarna memotong ranting pohon dengan sangat mudah seperti sudah terbiasa melakukan pekerjaan motong-memotong, tidak perlu banyak waktu yang dibutuhkan Sarna menyelesaikan pekerjaannya tersebut setelah Sarna selesai memotong, Sarna pun langsung turun dari pohon dengan keadaan yang sangat lega di tambah senyuman yang terpancar dari wajah si penebang pohon tersebut. Warga pun menyambut Sarna yang telah turun dari pohon beringin dengan selamat, Made adalah orang yang paling semangat menyambut Sarna dan langsung menuju ke tempat Sarna turun dan berkata.
“Bagaimana, apakah kamu lelah sarna???” Tanya Made.
“Lelah? Tentu saja tidak lah de.. Cuma sedikit yang aku potong jadi tidak memerlukan banyak tenaga” jawab Sarna sambil tertawa.
“Iya kalau begitu kamu istirahat dulu sana, terima kasih ya Sarna” kata Made sambil menjabat tangan Sarna.
“Siap de.. sama-sama”
Hal yang di takutkan Jero Mangku Dalem ternyata tidak terjadi pada saat itu dan warga pun beranggapan bahwa sesungguhnya pohon beringin itu tidak angker mungkin kejadian sebelumnya hanya sebuah kecelakaan saja, tidak semua kejadian dapat dikaitkan dengan hal-hal yang mistis kata salah satu warga yang ada di upacara itu. Sehari setelah upacara tersebut berlalu Made mendapatkan kabar bahwa setelah Sarna pulang dari menebang pohon beringin itu Sarna menjadi sakit-sakitan dan setiap malam Sarna mengigau bahwa dia sedang di datangi makhluk-makhluk yang mengaku penjaga dari pohon beringin tersebut, setelah mendengar kabar itu Made langsung menuju rumah Sarna yang tidak jauh dari desa, sesampainya di rumah Sarna, Made langsung menuju kamar Sarna dengan raut muka yang sangat tegang.
“Sarna kamu kenapa kok bisa sampai sakit seperti ini??” Tanya Made dengan raut wajah yang bercampur rasa takut dan tegang.
“Setelah pulang dari menebang pohon itu saya merasa tidak nyaman dan saya tidur.Setelah bangun tubuh saya langsung seperti ini, tadi malam pas saya tidur, saya bermimpi ada makhluk yang mencari saya mengaku sebagai penjaga pohon yang saya tebang kemarin.” Jawab Sarna sambil merintih kesakitan.
“Trus apa yang mereka katakan??” Tanya Made dengan harapan pertanyaannya ada jawabannya.
Belum sempat menjawab pertanyaan dari Made, Sarna sangat merintih kesakitan dan akhirnya Sarna meninggal di tempat tidur yang sering ia tiduri hampir setiap malam, Made tidak bisa menahan kesedihan yang ia pendam Made dan keluarga Sarna menangis, kabar kematian Sarna begitu cepat menyebar di desa dan banyak warga yang datang ke rumah duka untuk mengucapkan belasungkawa, setelah kejadian tersebut pohon beringin itu kembali menjadi pohon yang sangat ditakuti bahkan sampai tidak ada yang berani untuk berdiam lagi di bawah pohon itu karena takut nanti akan menjadi korban selanjutnya. Tapi, ada beberapa warga yang sudah mulai tidak nyaman dengan pohon beringin itu dan warga itu membuat rencana untuk menebang pohon beringin supaya tidak ada korban lagi yang di sebabkan oleh kengerian pohon beringin yang angker tersebut.
Suatu malam yang gelap dan hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersautan datanglah segerombol warga yang kurang lebih berjumlah enam orang dengan rasa takut bercampur emosi membawa sebuah kapak yang sangat tajam berniat ingin menebang pohon beringin itu, segerombolan warga yang di pimpin oleh Nengah Janten langsung menuju ke pohon beringin yang angker tersebut, suasana sangat sepi pohon tersebut terlihat sangat seram jika dilihat pada malam hari apalagi kain poleng yang melingkar di sekililing batangnya menambah keseraman dari pohon beringin itu. Tapi, itu tidak membuat segerombolan warga yang di pimpin Nengah Janten merasa takut karena rasa kesal dari warga melebihi ketakutan yang mereka rasakan saat itu, tepat jam menunjukkan pukul dua pagi warga itu mulai bersiap-siap untuk melakukan penebangan. Tiba-tiba salah satu dari warga itu melihat monyet di atas pohon beringin seperti sedang mengintai dari atas dan sontak warga yang lainnya juga terkejut melihat monyet yang sedang melihat dari atas. Langsung salah satu dari warga menyarankan untuk mengurungkan niat menebang pohon beringin itu.
“Bli Nengah lebih baik kita urungkan niat untuk menebang pohon beringin itu, lihatlah itu baru satu monyet yang keluar bagaimana nanti semua monyet keluar dari pohon itu” saran dari salah satu warga.
“Urungkan niat?? Apakah kalian mau melihat korban yang disebabkan oleh pohon itu lagi? Itu hanya monyet apa yang harus di takutkan?? seharusnya monyet yang takut kepada kita” jawab dari Nengah Janten yang berusaha meyakinkan warga yang lainnya untuk tetap menebang pohon beringin itu.
“Tapi bagaimana jika setelah kita selesai menebang pohon dan keesokannya kita meninggal?? Seperti yang terjadi pada Sarna” Sahut warga dengan rasa takut.
“Meninggalnya Sarna tidak ada hubungannya dengan menebang pohon beringin itu. Sarna pasti mempunyai penyakit lain yang ia sembunyikan dan kebetulan pada waktu itu kumat lagi” Jawab Nengah Janten dengan raut wajah yang sangat tegas.
Warga masih memikirkan perintah dari Nengah Janten untuk menebang pohon beringin itu sambil melihat monyet yang sedang berdiam diri di ranting bagian atas pohon. Setalah lama berkumpul di sekitaran pohon beringin kemudian satu persatu warga pergi meninggalkan Nengah Janten sendirian yang sedang menebang ranting demi ranting pohon beringin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BINGIN TENGET
Short StoryDi sebuah desa yang masih memandang kepercayaan tentang hal-hal mistis dalam sebuah kehidupan lain di pohon beringin tua