Keping Sebuah Kenangan

274 8 2
                                    

Setelah pertemuan, pasti akan datang perpisahan. Begitu yang selalu kudengar sebagai kata-kata bijak penghibur orang yang patah hati akibat ditinggalkan, atau meninggalkan, mungkin juga saling melepaskan. Awalnya aku pikir, kalimat seperti itu tak ada gunanya. Faktanya begitu, perpisahan selalu ada setelah pertemuan. Tergantung pada berapa lama detik yang dibutuhkan. Bukan masalah untuk satu-dua hari. Satu atau dua bulan juga bukan perkara besar. Kalaupun satu atau dua tahun, asalkan kembali, juga bukan hal yang menyakitkan.

Namun sekarang, aku berpikir kalimat tersebut mampu membesarkan hatiku. Ketika yang kuhadapi satu hari yang lalu merupakan sebuah perpisahan berjangka panjang, tanpa ada kepastian akan kembali, atau mungkin pasti untuk benar-benar pergi. Ketika mentari pagi yang menyapa terus mengulurkan kenangan. Atau ketika cuitan nyinyir burung yang hinggap di balkon kamar terdengar nyaring. Kalimat itu bagai penyelamat. Kalimat itu membuatku menerima sebuah kenyataan. Bahwa fakta sebuah perpisahan, sudah kualami kemarin.

Mataku pasti membengkak. Aku sudah tahu begitu kumerasa kesulitan untuk membuka mata. Kering. Ternyata air mata mengalah padaku di waktu menjelang pagi tadi. Setelah diketahuinya mataku merasa lelah. Setelah diketahuinya hatiku mulai kebas. Dia tak lagi melawan, kemudian secara perlahan beringsut mematikan keran dan menjadikan dirinya kemarau. Aku mungkin tak bisa menangis lagi.

Aku menarik nafas pelan. Selimut berwarna abu-abu itu kusingkirkan, kemudian aku melangkah bangun untuk bersiap kembali ke kehidupanku. Kehidupan lamaku. Kehidupan payahku. Aku akan berjuang kembali. Biarlah, tak apa jika bahagia itu pergi lebih cepat dari duka. Karena sekarang akupun percaya, mereka hanya bergantian dalam bekerja. Mungkin bahagia lebih cepat bosan. Tapi, dia tidak akan mangkir pada jadwal kedatangannya. Maka biar aku menunggu saja.

***

Begitu bunyi klik pintu apartemenku terdengar, kenangan sudah ada di sana. Melambai dan menyapa tanpa merasa berdosa. Cengiran yang khas itu layaknya sebuah ejekkan. Kemudian secara ajaib, udara yang kuhirup seakan penuh racun. Membuat hatiku berdenyut, dadaku kembali sesak, dan kepalaku dipenuhi siksaan akan rindu.

Ini baru satu hari, bathinku. Pantas jika semuanya masih tergambar jelas. Apalagi hadirnya bukan hanya sehari dua hari. Pantas bayangnya enggan segera pergi.

Dengan mengeratkan genggamanku pada tali tasku, aku menghela napas. Mengusir sesak yang kini riang tertawa, menertawakan sakit yang belum juga mengalah seperti air mata. Ah, sebenarnya, menertawakanku yang masih saja galau akan kepergiannya.

Aku lantas melangkah, menyusuri lorong gedung apartemen dan menuruni anak tangga satu demi satu. Aku tidak begitu suka menggunakan lift. Terlalu cepat. Seakan tidak memberiku kesempatan untuk banyak berpikir. Lift terlalu berkuasa pada waktu. Aku kurang menyukainya. Bagiku, tangga apartemen yang sepi adalah jalan dramatis yang paling mengertiku. Kuasa akan waktu biar aku yang mengatur. Dia hanyalah sebuah pijakan, yang secara bijak memberiku ruang waktu untuk segala beban pikiranku.

Aneh. Anak tangga pertama yang menyapaku terasa lain. Amat murung, amat diam, dan amat sunyi. Begitu pula anak tangga berikutnya, hingga di akhir anak tangga, semuanya terasa begitu sunyi. Ah, benarkan pijakan itu turut merasakan pundungnya hatiku? Mungkin, iya.

Berulang kali aku menoleh ke belakang. Kali ini bukan hanya kenangan, melainkan wajahnya yang seakan-akan tersenyum menyapaku seperti hari-hari yang lalu. Merentangkan tangan dan melempar tatapan lembut, menungguku datang kemudian mendekapnya. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa perpisahan begitu menyiksa hati?

"Berangkat, Neng?"

Aku terkesiap ketika satpam apartemen yang biasa ku panggil Pak Mamat itu menyapa. Dengan sedikit memaksa, aku tersenyum. "Iya, Pak."

"Tumben sendirian? Mas Calvin juga tadi tumben berangkat duluan?"

Aku terdiam, mencipta jeda yang aku sendiri tak tahu harus mengisinya seperti apa. Menjelaskan pun sepertinya tidak perlu, beliau hanya basa-basi, bukan benar-benar ingin tahu alasan di balik kesendirianku. Hingga detik berikutnya, aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. "Saya permisi, Pak."

Keping Sebuah KenanganWhere stories live. Discover now