day 3

104 27 2
                                    

"Keren banget. Kayak pahlawan di shoujo manga."

Jun berkomentar dengan antusias setelah aku bercerita mengenai kejadian kemarin. Matanya masih berbinar menatapku. Ryouchin entah mendengarkan entah tidak, karena dia tengah pusing dengan persiapan festival sekolah dua bulan lagi. Tapi, seperti biasa, aku tahu Ryouchin selalu diam-diam menyimak. Diam-diam peduli.

Ah, ngomong-ngomong soal festival sekolah, sayang sekali aku tidak bisa mengikutinya. Kenapa harus masih dua bulan lagi, sih. Walaupun tahun lalu kerjaanku hanya duduk-duduk di stand jus buah yang dibuat kelasku, tapi festival sekolah merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk kenangan masa SMA.

Yah, walaupun aku tidak akan berumur sepanjang itu untuk menceritakan masa SMA-ku pada cucu-cucuku, sih. Tapi setidaknya aku juga ingin ada di cerita-cerita Jun atau Ryouchin di masa depan nanti.

"Ya nggak shoujo manga juga dong," protesku. Jun terbahak,"Hahaha, habisnya biasanya di shoujo manga juga ada adegan kayak gitu. Awal dari munculnya benih-benih cinta. Tapi kamu mah udah punya istri, ya."

"Siapa?" Ryouchin menyahut dengan sinis duluan. Karena reaksi Ryouchin, aku dan Jun malah semakin terpingkal-pingkal. Ryouchin selalu menolak kalau aku menyebutnya istriku. Tapi, tadi tidak ada yang menyebut-nyebut namanya, 'kan? Nyatanya dia malah merasa dibicarakan. Dia sadar tidak sih kalau tingkahnya yang seperti itu malah membuatnya semakin menggemaskan? Di surga nanti ada spesies seperti Ryouchin tidak, ya?

"Ya udah, katanya kamu mau jemput orangnya, 'kan?" Ryouchin mengalihkan topik. Aku mengangguk dengan bersemangat. "Iya. Kalian tunggu di sini, ya." Kemudian aku meninggalkan ruang OSIS. Di dunia di mana pikiran semua orang telah dimanipulasi ini, aku dan Jun memiliki hak istimewa untuk bersantai di ruang OSIS yang sejuk berkat akses ketua OSIS. Padahal, dalam kenyataan yang asli, biasanya kami menggunakan UKS sebagai tempat hangout. Jun apa lagi. Alasannya 'menemani Yamato', padahal dia yang tidur. Begitulah salah satu keuntungan punya teman penyakitan.

Aku segera berjalan menuju ruang kelas 2-C. Baru saja aku bersiap memasang wajah ceria untuk menyapa Kousaku, mataku malah menangkap sebuah adegan tak menyenangkan di pojok kelas itu. Tampak lelaki tinggi yang menahan paksa lengan seorang murid berkacamata, sementara yang lain menarik kerah bajunya.

Astaga, Kousaku.

Ada Naoya juga di sana, meski ia hanya memandang dengan tatapan yang entah bermakna apa sambil duduk di meja. Tiba-tiba, Naoya turun begitu saja, mendorong temannya yang mengangkat kerah baju, lalu melepas kacamata Kousaku dengan kasar.

Nyaris di detik yang sama, kakiku melangkah dengan refleks memasuki kelas.

Aku melakukan semuanya seperti tanpa berpikir. Mendorong satu per satu murid yang berkerumun, menarik tangan Kousaku, membawanya berlari secepat mungkin keluar. Bahkan rasanya itu semua terjadi dalam satu kedipan mata, karena tiba-tiba saja kami sudah berada di lorong sekolah, melewati siswa lain yang seakan tak terlihat.

Begitu sampai di koridor yang agak sepi, aku melambatkan langkahku dan merangkul bahu Kousaku. "Aku menepati janjiku buat jemput kamu di kelas, 'kan? Maaf kalau agak telat."

".... Gapapa, tapi aku kira kamu nggak dateng," jawab Kousaku pelan. Baru kusadari Kousaku berjalan dengan sedikit terpincang. Aku jadi merasa bersalah mengajaknya berlari tadi. "Kaki kamu sakit?"

"Sedikit ... tadi didorong terus aku jatuh." Nada menjawabnya polos sekali, seolah itu bukan masalah besar. Aku langsung meminta maaf,"Kalau begitu maaf aku malah ngajak kamu lari-lari."

"Gapapa, kok ... lagian udah sering digituin."

Aku terdiam sejenak. Kenapa Naoya dan yang lain tega pada anak sepolos ini? Apa mereka hanya sekadar jahat saja, atau ada alasan lain?

Spring to Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang