Kantor Faeza Group bergerak dibidang produk minuman. Merupakan salah satu perusahaan besar dan sangat maju yang terletak di pusat kota Semarang.
Di lantai 5, beberapa karyawati berlalu lalang membawa berkas-berkas di tangan. Kemeja warna-warni, rok mini, high heels dan tatanan rambut nyentrik begitu mendominasi. Namun ada satu yang berbeda. Dia lah perempuan satu-satunya yang mengenakan rok panjang menutup mata kaki, kemeja panjang, dan kerudung lebar menutup dada. Perempuan satu-satunya yang memiliki selera berpakaian yang berbeda.
"Assalamualaykum, Nis." Sapa salah seorang perempuan kepada gadis berkerudung yang tengah sibuk mengemasi tasnya.
"Waalaykumussalam warohmatullah." Senyumnya mengembang seperti biasa.
"Ayok, mau pulang bareng ndak? Hari ini aku bawa mobil sendiri."
Nisa berdiri, menjinjing tas, berjalan beriringan dengan teman perempuan yang mengajaknya pulang bersama, "Duluan aja, aku mau sholat maghrib dulu."
"Hm, kamu ini, ya udah lah. Hati-hati ya nanti pulangnya!"
Nisa mengacungkan jempol.
Tiba di lantai dasar, Nisa langsung menuju masjid besar nan indah yang terletak di seberang kantor Faeza Group.
Masjid Agung At Taubah, masjid besar dengan cat putih, lantai marmer dan kubah besar berwarna emas. Air mancur di depan halaman, juga taman bunga yang mengelilinginya menambah sejuk hati dan suasana.Adzan maghrib berkumandang, jamaah berdatangan. Jamaah masjid ini selalu ramai, karena terletak di tepi jalan raya, dikelilingi pusat perkantoran, sebagian besar jamaah pun merupakan orang-orang jauh yang kebetulan melintas lalu singgah, karyawan karyawati perusahaan, dan juga penduduk sekitar.
Nisa sangat mencintai masjid indah ini. Bukan hanya bangunannya, ia jatuh cinta pada petuah-petuah Kiai Ma'sum, laki-laki tua yang adem perawakannya, lembut, berwibawa, dan penuh kasih sayang. Pendiri Masjid Agung At Taubah, atau sering disebut oleh warga sekitar Masjid Agung Kiai Ma'sum.
Satu lagi, Nisa jatuh cinta pada bacaan imam sholat maghrib di masjid ini. Merdu, indah, begitu merasuk ke dalam hati.
Seusai sholat, Nisa memastikan jamaah laki-laki agar terlebih dulu meninggalkan masjid setidaknya sebagian besarnya, baru kemudian ia membuka mukena lalu menuju teras masjid memakai kembali sepatunya.
Dari teras, ia melihat pemuda mengenakan baju koko warna maroon dan sarung biru tua dengan ransel hitam di punggung tengah menuntun sepeda onthel menuju gerbang masjid, seperti biasa. Nisa memang sering melihatnya.
Dari beberpa manusia, selalu saja mataku menangkap sosoknya. Siapa dia? Nisa membatin sambil terus memperhatikan pemuda bersepeda sampai hilang di belokan.
"Assalamualaykum Nduk Nisa." Sapaan lembut yang akrab di telinga Nisa.
Bergegas ia berdiri lalu menelengkupkan tangan di dada sambil membungkuk, "Waalaykumussalam warohmatullah, Pak Kiai- Pak Rayhan." Nisa membungkuk sekali lagi sedikit gugup menyadari ada orang lain di samping Pak Kiai Ma'sum. Rayhan, putra tunggal pemilik Faeza group.
Rayhan balas dengan menelungkupkan tangan dan tersenyum tipis.
"Nduk Nisa sebaiknya cepat pulang, langit udah mulai gelap bentar lagi masuk isya lho."
"Nggih, Pak Kiai, Nisa pamit. Assalamaulaykum warohmatullah."
"Waalaykumussalam." Pak Kiai dan Rayhan menjawab bersamaan.
***Rumah sederhana bercat biru, beberapa bunga mawar putih tertata rapih di halaman depan, air mancur yang menambah syahdu pemandangan kolam ikan kecil di sudut halaman. Beberapa tumbuhan hijau menghiasi tepian rumah. Dan juga warung kelontong cukup besar terletak di sisi sebelah kiri dekat pintu masuk. Itulah kediaman Annisah dan ibunya.
"Assalamualaykum bu!" sapa Nisa lembut sembari mengulurkan tangan, membuat perempuan paruh baya yang terlihat berjalan keluar dari warung miliknya sambil memasang senyum, menyambut gadis semata wayang yang memang sedari tadi ia tunggu-tunggu.
"Waalaykumussalam warohmatulloh, Nduk. Kok pulang sendiri lagi, calon mantu ibuk mana?" Gurau Bu Marni.
"Ibuuuk, mboten lucu sama sekali."
Bu Marni tersenyum, "Bercanda, udah ayo masuk, mandi, makan. Bentar lagi adzan isya."
Nisa bergelayut manja di lengan Bu Marni sambil berjalan masuk rumah.
***"Lho belum tidur Nduk?" Melihat pintu kamar Nisa masih terbuka, Bu Marni masuk, duduk di tepi ranjang sambil mengusap kepala Nisa.
"Belum ngantuk, Bu." Nisa meletakkan buku yang sedari tadi ia baca.
"Pernikahan dalam Islam. Nduk baca-baca buku tentang nikah apa udah ada calonnya? Hayo kok ndak dibawa ke Ibuk tho Nduk?"
"Ibuu, kan Nisa cuma baca."
"Ya Ndak popo tho Nduk siapa tau jodoh Nisa udah deket kan sekalian belajar jadi istri yang baik."
Nisa tersenyum, "Bu, kalo almarhum Bapak dulu bisanya nikah sama Ibu gimana?"
Bu Marni menghela napas sejenak, tersenyum, mengusap kepala Nisa sekali lagi, "mmm dulu kan almarhum bapak sama ibu satu pondok nduk."
"Terus?" Nisa antusias.
"Ya, dulu ibu jadi perantara surat-suratan almarhum bapakmu sama Sri."
"Sri?"
"Temen sekamar ibu. Tapi almarhum bapakmu kurang beruntung. Sri udah dikhitbah duluan sama cucu pak kiai."
"Lho, jadi ibu bukan cinta pertama bapak?"
"Bapak cinta pertama ibu, tapi ibu bukan cinta pertama bapak." Bu Marni tersenyum, matanya menerawang teringat kejadian masa lalu.
"Terus kok bisa ibu nikah sama bapak?" Nisa semakin antusias sampai bangun dari baringnya, bersandar di dipan.
"Qodarulloh Nduk, namanya juga jodoh. Pas almarhum bapakmu masih sakit hati dia banyak curhat ke ibu lewat surat. Lha kok tiba-tiba bapakmu bilang nyaman sama ibu, terus besok paginya langsung ngelamar ibu." Bu Marni tersenyun lagi.
"Masyaa Allah. Tapi, ibu ndak takut jadi pelariannya bapak." Nisa menggoda.
"Alhamdulillah, pernikahan ibu sama bapak penuh kebahagiaan. Apalagi pas bidadari kecil itu lahir, menambah warna di hidup ibu sama bapak."
Nisa memeluk ibunya, meneteskan air mata.
"Kamu tau Nduk, ketika kita menghadirkan Allah dalam setiap nafas kita, ketika kita percaya bahwa Allah tidak akan menyusahkan apalagi menyakiti hambanya, ketika itulah kita mendapat cintaNya. Dan ketika kita sudah mendapat cintaNya, kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiNya. Nduk semoga bapak bahagia ya di sisiNya." Masih memeluk Nisa.
"Aa-miin." Nisa sesenggukan. Terbayang sosok bapak yang dicintainya. Masih dalam pelukan Bu Marni.
Ya Allah, apa ada laki-laki di dunia ini yang bisa tangguh seperti bapak? Adakah laki-laki di dunia ini yang sesabar bapak mendidik Nisa tentang akhlak? Ada lagikah laki-laki di dunia ini yang segigih bapak mencari nafkah. Ya Allah, Nisa kangen bapak.
Tiba-tiba pemuda pengendara sepeda onthel terlintas jelas di kepala Nisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"