day 4

112 27 12
                                    

Pagi ini, aku memutuskan untuk berangkat bersama Kousaku. Meski rumahnya tidak berada di jalan yang kulewati menuju sekolah, aku sudah berjanji akan menjemputnya dengan sepeda, lalu berjalan menuju kelas bersama-sama agar tidak ada yang sempat menjegal kakinya di koridor.

Saat aku sampai di rumah Kousaku yang berada di ujung jalan, sepertinya ibunya tidak tahu apa-apa soal pem-bully-an yang dialami Kousaku. Ibu Kousaku melepas anaknya berangkat sekolah dengan senyuman. Aku juga tidak menemukan kekhawatiran dalam raut wajahnya. Yah, masalah seperti ini memang bukan masalah yang bisa dengan mudahnya diceritakan ke orang tua, sih. Tapi aku jadi berpikir betapa sendiriannya Kousaku selama ini.

Kousaku menaiki sadel belakang sepedaku dengan pelan, lalu berpegangan padaku seperti anak kecil. Kalau kupikir-pikir, pertanyaan Jun yang kamu ngajak orang temenan apa mungut anak itu ada benarnya juga.

"Kamu biasanya sekolah jalan kaki?" tanyaku di tengah jalan.

"Iya." Kousaku mengeraskan suaranya. Padahal jalanan cukup sepi. Tapi biarlah, terserah dia.

"Ya udah, mulai sekarang aku jemput aja ya."

"Iya. Asyik. Makasih, ya."

Lalu, aku terdiam. Menyesali perkataanku sendiri.

Untuk beberapa saat, sewaktu mengatakan itu pada Kousaku, aku sempat lupa kalau hidupku tinggal tiga hari lagi. Ah, aku terlalu terlena dengan kehidupan yang normal dan bahagia ini. Maaf ya, Kousaku, kalau aku PHP. Semoga nanti Jun atau Ryouchin mau mengajakmu berangkat bersama.

Oh iya, benar juga. Selain menjadikan Kousaku temanku, aku harus memastikan Kousaku berteman baik juga dengan Jun dan Ryouchin. Jadi, kalau kutinggal nanti, Kousaku masih punya teman ....

Sesampainya di sekolah, aku sedikit was-was saat melihat Kousaku berjalan menuju kelasnya. Aku hampir menawarkan diri untuk mengantar, tapi aku takut nanti Kousaku malah semakin diejek lemah oleh Naoya. Jadi, aku hanya mengawasi dari depan kelasku sampai sosok Kousaku menghilang di balik pintu kelas 2-C.

"Ngasuh anak lagi?" ujar Jun saat aku duduk di kursiku. Ia memang tidak bertanya dengan nada sarkasme atau sejenisnya, tapi aku takut ia tidak menyukai pertemananku dengan Kousaku. Maka aku menjawab,"Ya habis gimana ya, kasian juga ...."

"Nggak pa-pa, kok. Aku setuju. Lagian muka Naoya itu songong banget, ngeselin. Jadi aku dukung-dukung aja kalau kamu ngebelain Kousaku."

"Asal kamu nggak ngelupain kita, sih," Ryouchin menimpali tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran-lembaran dokumen di tangan. Aku tersenyum menggodanya,"Cie, kamu cemburu, ya. Tenang aja, aku nggak bakal poligami."

"Kenapa sih temenku nggak waras?" Ryouchin bersungut-sungut.

"Atau Kousaku kalian adopsi jadi anak kalian berdua aja," usul Jun. Aku menepuk pundak Ryouchin. "Usul bagus, tuh. Gimana, Sayang udah siap punya anak?"

"Najis, Yam. Apaan sih. Pergi sana." Ryouchin menepis tanganku di bahunya. Aku tertawa kecil. "Nanti kalau aku pergi beneran, kamu sedih, lho."

"Nggak, lah. Pergi aja sana." Ryouchin memalingkan wajah. Dasar tsundere.

"Padahal kamu pas itu nangis-nangis," ucapku. Ryouchin mengerutkan dahi, tidak mengerti. "Nangis-nangis kapan?"

"Nggak mau kehilangan aku sampai nangis-nangis, 'kan?" Yah, walaupun pasti bagi mereka ucapanku ini tidak masuk akal, tapi sebenarnya ini cerita dari Jun. Tentu saja Jun sekarang juga tidak ingat. Jadi, dulu Jun pernah bercerita, sewaktu aku sakit dulu tiba-tiba Ryouchin mendatanginya. Dengan mata berkaca-kaca, Ryouchin bertanya pada Jun 'Gimana kalau kita kehilangan Yamato?' tapi baik Ryouchin yang tidak dimanipulasi maupun Ryouchin yang sekarang tidak akan mengakuinya.

Spring to Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang