KETIGA PULUH SATU

13 5 3
                                    

"Jangan nangis lagi, lo makin jelek tau!" Cibir Chika melepaskan pelukan nya begitu juga dengan Aurel.

"Kita akan selalu ada buat lo kok, jangan merasa sendiri gitu," Ucap Aurel menenangkan ku.

"Gue sayang sama kalian,"

"Gue tahu," Balas Chika menyombongkan diri.

"Ah dasar lu," Ku cubit lengan nya dengan terkikik geli melihat tingkah Chika yang sok cantik.

"Nah gitu dong senyum, jadi gak keliatan kayak kera lagi."

"Ih Chikaaa ... " Teriak ku melempar guling ke arah nya.

"Gue rela di timpukin gini asal lo ketawa."

"Dan apa lo akan nyia-nyia-in pengorbanan Chika?" Tanya Aurel.

"Maaf, gue gak akan kayak gini lagi," Jawab ku lesu dengan menundukan kepala merasa semua beban begitu berat di pundak ku.

"Lo gak usah minta maaf, wajar aja kalau lo sakit hati. Ini resiko nya kalau lo udah ngelibatin hati dalam hidup lo, apalagi tentang cinta. Lo harus nyiapin mental buat nerima semua kejadian di luar dugaan, karena cinta gak selama nya manis," Tutur Aurel menggenggam tangan ku lagi.

"Aduh mantan nya jodoh gue bijak juga ternyata, lo pernah ngalamin ya dulu waktu pacaran sama aa nya gue?" Sunggut Chika sebal dan sinis.

"Apaan sih Chik, orang lagi serius juga. Dan asal lo tau, hubungan gue sama dia lancar-lancar aja bahkan sangat manis ... " Jawab Aurel menggoda Chika.

"Kalau emang manis terus kenapa kalian bisa putus?" Tanya Chika menantang.

"Gue gak merasa putus tuh, ya kalau emang putus tinggal balikan aja Diaz pasti mau," Tukas Aurel santai tanpa ada minat melirik pada orang yang menanyainya, seolah dia ingin meremehkan Chika dengan tidak menatap nya.

"Sok cantik banget sih lo jadi cewek."

"Ya kalau jadi cewek sok cantik lah, kalau sok ganteng itu cowok."

"Emang dasar kutu lo!" Umpat Chika murka.

"Kalian kesini mau bikin gue tambah pusing?"

"Tau nih, bilangin sama dia jangan sok cantik jadi cewek. Udah jadi mantan aja songong," Celetuk Chika sinis.

"Dan tolong bilangin juga Ran, jangan ngarep bisa dapetin Diaz semudah itu. Karena dia masih belum bisa move on dari masalalu nya!"

Sontak saja perkataan Aurel melukai perasaan ku lagi, masalalu? Kenapa harus aku sangkut pautkan dengan kejadian kemarin bersama Kak Rendy? Ia juga sedang terjebak akan masalalu nya hingga membuat orang yang tak mengerti apa-apa harus merasakan sakit yang luar biasa.

"Ran?" Panggil mereka menyentuh pundak ku.

"Hah? Apa?"

"Lo kenapa?"

Tapi aku hanya bungkam, rasanya kembali menangis hanya membuat mata ini sakit saja. Lagipula air mata ku sudah habis, bahkan lelah sekali hingga rasanya ingin terlelap saja.

"Ngantuk," Lirih ku.

"Oh yaudah gue sama Chika mau balik ke sekolah aja, jangan lupa di makan makanan nya Ran."

Hingga pintu tertutup, mata ku terpejam. Kini pikiran ku dikuasai alam bawah sadar, lama rasanya tidak tertidur sepulas ini. Apa karena aku sangat lelah hingga mimpi buruk sekalipun tak menghampiri tidur ku?

"Neng, Neng Rani ... "

Sayup-sayup ku dengar orang yang memanggil dari luar, hingga ku membuka mata dan melihat jam berapa ini ternyata sudah pukul 1 siang. Ku teriakan perintah agar bibi memasuki kamar.

"Rani, lo kenapa?"

Kak Radit langsung menghampiri tepi ranjang. Dia meneliti wajah dan berakhir pada mata ku.

"Gak enak badan aja Kak," Jawab ku lemah.

"Mata lo?" Tangan nya mulai terasa di wajah, mengusap mata ku yang tertutup karena sapuan tangan nya. Ku rasakan tangan nya beralih pada pipi lalu dielus dengan lembut.

"Maaf," Empat huruf itu yang membuat ku membuka mata. Maaf? Untuk apa?

"Harusnya gue kemarin anterin lo pulang kalau tau kayak gini." Kini tangan nya turun menggenggam ku.

"Maaf, akhir-akhir ini gue sibuk latihan basket sampai gak perhatiin lo lagi."

"Gak apa-apa kok Kak, gak usah minta maaf."

"Tapi gue harus minta maaf karena kehadiran gue yang udah gak bisa kayak dulu lagi, gue sering ilang-ilangan karena kesibukan gue di basket. Sampai-sampai gue gak ngabarin bahkan ketemu sama lo," Tutur Kak Radit penuh sesal.

Kulihat ke dalam mata Kak Radit, dan hanya terlihat ketulusan disana. Sungguh beda dengan Kak Rendy, dia tak pernah bisa bersikap manis layaknya Kak Radit memperlakukan ku.

"Udah Kak gak apa-apa kok, aku ngerti Kakak kan harus latihan buat event nanti. Semangat latihan nya, buat tim sekolah kita juara ya Kak," Ucap ku menepuk bahu Kak Radit menyalurkan dukungan ku untuk menyemangati nya.

"Makasih Ran," Tangan nya meraih tangan ku, lalu digengam dan diarahkan pada wajah nya. Dengan arahan tangan Kak Radit, tangan ku mengusap pipi lembut nya. Ku tatap kedua bola mata yang teduh itu, terpancar ketulusan di dalam sana.

Tanpa sadar kedua sudut bibir ku terangkat saat terlihat wajah orang di depan ku ini melukiskan senyum manis yang menghangatkan. Hingga aku teringat akan manusia es yang membuat air mata habis, karena wajah yang aku lihat adalah wajah Kak Rendy bukan Kak Radit. Segera ku mengerjapkan mata berulang-ulang mencoba memulihkan penglihatan.

"Ran, lo gak apa-apa?"

Kini wajah ku ditangkup oleh tangan kekar yang baru saja menggenggam tangan mungil ini. Dia mengira ada sesuatu yang masuk ke dalam mata hingga aku harus mengerjapkan mata seperti ini. Dengan tiupan ringan dari bibir nya, ku lihat wajah tampan Kak Radit dengan sangat jelas dari jarak yang sedekat ini.

Oh Tuhan, ada apa dengan ku. Rasa ini mulai kurasa lagi, rasa tak beraturan yang selalu ku alami bila dekat dengan Kak Radit. Ku mohon, hilang lah rasa ini dengan segera aku tak ingin menyakiti nya dengan cara diriku sudah di miliki orang lain. Walaupun orang yang memiliki ku masih menyimpan rasa pada masalalu nya.

"Cepet sembuh ya, gue janji akan temenin lo lagi setelah ini. Gue akan atur jadwal gue biar bisa ketemu lo."

"Eh gak usah Kak, lagian minggu depan udah ujian. Mending Kakak ngafalin buat ujian aja," Sergah ku kikuk.

"Apa yang harus gue hafalin, kalau kesehatan lo aja gue kecolongan."

Deg! Apa maksud nya? Bibir nya masih sama seperti dulu sebelum aku menjadi pacar Kak Rendy, selalu melontarkan perkataan di luar dugaan. Walau kadang kali aku tak mengerti apa maksud ucapannya, tapi dari tindakan nya saja semua sudah jelas. Sudah jelas atau hanya aku saja yang terlalu menyikapi nya dengan berlebihan? 

"Lo udah makan?" Tanya nya di sela-sela pikiran ku yang masih mencari makna dari perkataan Kak Radit.

"Apa perlu gue yang kasih lo makan," Jawab nya setelah mendapat gelengan kepala ku untuk menjawab pertanyaan nya.

"Tunggu, gue bawa makanan nya dulu," Lalu Kak Radit bangkit dari duduk nya berlalu menjauhi kamar ku ini.

Apa keputusan yang benar waktu itu aku menuruti kemauan Kak Rendy untuk menjadi pacarnya? Seharusnya aku cari tahu terlebih dahulu, jangan asal mengambil keputusan dengan cepat. Lalu setelah ini, apa yang akan terjadi pada ku? Hanya satu, penyesalan.






Aku gak beraturan banget ya UP nya, mwhhe maaf. Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan nya. Maaf part kali ini sangat pendek dan gak ngefeel:( see you in the next chapter😚

The Trouble Of Sunset (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang