Malam ini, di tempatku ribuan rindu menjelma menjadi hujan yang membasahi angan. Aku jadi teringat tentang kita. Iya, kisah kita dulu. Kamu masih ingat nggak jalanan menuju villa yang sering kita kunjungi berdua. Kita satu selera. Memilih duduk di pojok kursi kayu tua pada lahan terbuka tanpa beratap. Bersama memandang sekeliling lampu kota yang jelas terlihat dari tempat kita.
Aku masih sangat mengingat malam itu. Bahkan setiap ucapan yang terlontar dari mulutmu aku pun masih mengingatnya. Asal kamu tau, malam itu aku menjadi wanita yang sangat bahagia. Merasa istimewa, seperti mimpi, dan entahlah intinya atmaku sedang kau bawa terbang pada cakrawala.Tatapmu yang kian menenangkan selalu berhasil membuat aku nyaman. Hatiku pun teranyam. Membentuk sebuah degup tak karuan, memunculkan keringat dingin pada tiap tatapan, dan tak jarang aku memilih untuk menghindar. Semakin aku menghindar yang ada semakin banyak kegiatan yang menyatukan. Sebuah kebetulan atau bukan aku belum paham. Yang jelas ini awal mula munculnya perasaan.
Lagi-lagi aku tak mampu mendakwahkan hati untuk tidak jatuh cinta lagi. Kamu berhasil, membuat aku terperangkap oleh kenyaman. Aku ingin membunuh perasaan ini tetapi, saat aku coba untuk melakukannya yang terjadi kau malah mengungkapkan. Malam itu aku masih tak percaya. Butuh menampar pipiku berkali-kali untuk meyakinkan ini bukan mimpi.
Dingin tak lagi kurasakan. Mendengar pengungkapan membuat hatiku lebih hangat. Kalaupun ini bukan nyata aku tak mengapa. Paling tidak, aku pernah merasakan bagaimana bahagianya cinta terbalaskan. Melihat tatapan dan senyum manismu sedekat ini membuat aku paham ini bukanlah mimpi. Kau nyata ada di hadapanku. Menyuguhkan ruang untuk kita jaga. Aku tak ingin menelantarkannya. Aku sanggupi untuk memulai cerita.
Sabtu malam itu, ada cuap yang sangat aku ingat selain sebuah pengungkapan. “Jangan mudah percaya terhadap seseorang ya, meskipun itu aku. Karena kamu tak akan pernah tau apa yang tersembunyi di bilik hatinya.” Sekiranya begitu ujarmu. Aku heran, mengapa di awal sebuah perjalanan kita, kamu sudah mengatakan itu? Bukankah sebuah hubungan itu berfondasi kepercayaan? Lalu mengapa aku tak boleh percaya akan dirimu? Seseorang yang aku pilih untuk menjaga hatiku.Tololnya pertanyaan itu tak tersampaian padamu. Tertumpuk oleh bahagia yang tiada terkira. Yang terlontar dari mulutku hanya seuntai kata bahwa aku percaya. Apapun yang kau lakukan aku percaya kemudian kau menatapku. Pelukanpun mendarat pada tubuhku.
Waktu terus berlayar. Kita juga demikian. Di persimpangan jalan mendadak aku mendapatimu. Niatku ingin memberi sebuah senyum tetapi senyumku memudar seketika melihatmu bergandeng mesra dengan wanita lain. Dan itu bukan aku. Sehari setelah kejadian itu kamu menghilang tanpa kabar. Bahkan angin tak pernah menyampaikan alibi apa yang akan kau haturkan.
Aku diam, kamu juga. Aku sudah berpura-pura untuk tak mengetahui semuanya. Mencoba menerima bahwa bukan hanya aku yang tengah kau bangunkan rumah. Dan ya, wanita bukanlah insan yang pandai menutupi kecewa. Saat itu aku benar-benar ingin mengasingkan diri. Ingin lari sejauh mungkin, berteriak semampu pita suara melengking, dan tenggelam menghilangkan semua yang telah teranyam. Sebelum itu, aku butuh penjelasan.
Dua hari setelahnya, panggilan suara darimu kuterima. Begitu juga dengan permintaan maaf bahwa dengan wanita itu kau telah bersetubuh. Hatiku bukan lagi serpihan kaca. Hatiku telah menjadi debu yang diterbangkan oleh angin-angin lara. Membencimu aku tak bisa. Sebejad apapun kamu aku pernah menanamkan rasa. Sekarang aku tau, alasan mengapa aku tak boleh mempercayaimu. Aku melepaskanmu, Sayang. Cukup aku yang kau ajak terbang kemudian dijatuhkan pada bebatuan. Cukup aku.
Tak terasa ya, waktu bergulir begitu cepat. Sudah setahun setelah pertengkaran batin di antara kita terselesaikan. Terima kasih akan satu hal. Karenamu, aku menjadi wanita pemilih. Kepercayaan tak lagi segampang dulu aku berikan. Terima kasih, disakiti olehmu menjadi sebuah ;Perbaikan.Pergi saja,
Bersama dia yang kau pilih
Belati ini akan kucabut sendiri
Tak ingin menenggelami lautan luka lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
PREFELENSI LAKON
Fiksi RemajaSelamat datang pada sebuah cerita luka, sakit hati, dan penyesalan yang tiada berujung. Menyisakan tawa dan air mata. Menggenangkan kenangan yang tiada ujungnya. Ini ceritaku. Tentang hidup dan kisah cintaku. Tentang luka yang tiada bertepi kala men...