Di Pondok Yatim Ar Rayyan

170 19 0
                                    

Halaman Masjid Agung masih seperti biasa di kala Maghrib. Parkiran motor yang padat, berbagai jenis sendal dan sepatu berjajar rapih, juga tas-tas terlihat memenuhi loker. Yang membedakan hanyalah, mendung dan gerimis mewarnai suasana khidmat dan merdunya lantunan kalam-kalam Allah oleh imam sholat maghrib Masjid Agung.

Seusai sholat, jamaah tak langsung pulang karena gerimis mulai berubah menjadi hujan yang cukup deras. Wira memilih meraih tasbih kemudian berdzikir. Beberapa memilih berbincang-bincang pelan bertukar cerita dan pengalaman.

"Gimana perkembangan perusahaanmu Nak Rayhan?" Pak Kiai menghampiri Rayhan yang tengah duduk bersandar di salah satu dinding masjid.

"Alhamdulillah, saya belum ketemu kesulitan yang berarti Pak Kiai." Sambil sedikit bergeser dari duduknya, memberi ruang untuk Pak Kiai.

"Alhamdulillah. Bagaimana karyawatimu? Masih istiqomah sama peraturan baru perusahaan?"

"Alhamdulillah Pak Kiai, sejauh ini saya belum menerima keluhan. Lagipula itu bukan peraturan perusahaan Pak, tapi memang perintah dari Allah."

"Masyaa Allah, semoga Nak Rayhan dan keluarga senantiasa dilimpahkan keberkahan, kesehatan, juga kebahagiaan."

"Aamiin."

Tiba-tiba Rayhan merasa handphone di saku celananya bergetar. Ia meminta izin kepada Pak Kiai untuk mengangkat telpon.

"Hallo, assalamualaykum."

"Waalaykumussalam, Mas Rayhan dimana?" suara diseberang telpon terdengar panik.

"Masih di Masjid, lagi hujan. Ada apa Ret?"

"Najwa Mas-

"Najwa, Najwa kenapa Ret? Coba jangan panik dulu biar enak bicaranya." Ekspresi Rayhan berubah serius.

"Najwa tadi main sepeda sampai abis maghrib belum balik juga Mas, Retno khawatir mana diluar hujan. Gimana Mas?"

"Udah, udah tenang dulu. Sekarang juga Mas kesitu. Assalamualaykum."

"Waalaykumussalam, Mas."
***

Di sepanjang trotoar menuju rumah, Nisa memegang payung erat-erat. Hujan kian lama kian deras. Dan inilah suasana yang paling disukai Nisa. Dimana pintu langit terbuka dan dia bisa meminta apa saja. Sudah menjadi tradisi setiap hujan turun, Nisa mencurahkan segala keinginannya, meskipun dalam batin.

Rabbi, Yang Maha Tinggi Maha Merajai, di atas bumiMu, hamba hanyalah setitik noda bernyawa yang penuh dosa. Maka hamba mohon ampunanMu Ya Rabbi, untuk setiap langkah yang keliru, untuk setiap pikiran yang salah, untuk setiap amarah, untuk setiap kelalaian, dan semua dosa-dosa lain yang tak bisa hamba ingat dan hitung jumlahnya.

Rabbi, Yang Maha Melihat dan Mendengar, ketika tiba nanti saat hamba lemahMu ini menggenapkan separuh agama, pilihkanlah untukku lelaki yang bisa menggantikan sosok Bapak di kehidupanku. Lelaki yang mencintaiku dengan sabar, lelaki yang mencintaiMu sepenuh hati. Lelaki yang mampu juga mencintai ibuku dengan tulus.

Ibu sudah berjuang selama ini membesarkan dan mendidik hamba tanpa sosok Ayah, maka sandingkanlah hamba dengan lelaki yang memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab sebagai hadiah untuk ibu.

Dan, Ya Rabbi, sampaikan salam hamba untuk-

Nisa berhenti mencurahkan harapan dalam hati ketika melihat seorang anak perempuan tengah duduk sendiri di emperan toko tak jauh dari tempat ia berpijak. Memakai baju muslim berwarna pink lengkap dengan kerudung, di sampingnya tergeletak sepeda berukuran sedang berwarna biru. Bergegas Nisa menghampiri.

"Assalamualaykum, Dek! Adek ngapain disini?" Sambil meletakkan payung lalu jongkok di hadapan anak perempuan yang terlihat berkali-kali mengusap air mata.

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang