Happy Reading !!
"Anak pembawa sial, pembunuh kamu!"
Suara isak tangis tak terbendung milik Vierra sangat terdengar, tangannya berusaha untuk menggapai tangan milik Kania – mamanya, namun segera di tepis oleh wanita paruh baya itu,
"Jangan sentuh-sentuh saya, saya gak sudi di sentuh sama orang yang udah bunuh Suami saya. Kamu bukan anak saya, Vierra yang saya kenal sudah mati."
"Ver, kamu mau tinggalin aku? Aku kembaran kamu Ver, Vie gak akan pernah bisa jauh dari Vera karena kita ini terikat. Vie mohon, Ver." Dengan airmata yang sudah tak terbendung lagi, Vierra kecil berusaha memegang tangan kembarannya, namun segera di tepis kasar oleh Vera.
"Berhenti bilang bahwa kamu ini kembaran aku, aku gak sudi." ucap Vera kecil dengan sarkasnya.
"Kak Alvan, tolong tahan Mama sama Vera, jangan biarin mereka pergi ninggalin kita" kini Vierra beralih meraih tangan sang kakak laki-laki.
Dengan helaan nafas pasrah, Alvan memegang tangan Vierra, dan menghapus airmata yang berlinang di pelupuk mata gadis itu. "Vie. Maaf ya, tapi Kakak gak bisa tahan mereka, itu udah kemauan Mama kamu, lagipula itu ide bagus. Mama lebih baik mencari suasana baru di Swiss daripada disini tapi terus-terusan nangis karena kehilangan Papa. Vie tolong ngertiin kondisi saat ini ya?" jawab Alvan berusaha untuk menenangkan adiknya itu.
"Ayo Vera, kita harus berangkat sekarang." Kania memegang Pundak Alvan, anak laki-lakinya, "Van. Baik-baik disini ya, Mama janji akan telfon kamu selama mama disana, bukannya Mama gak sayang kamu lagi, Mama cuma muak kalau harus tinggal disini. Baik-baik sekolahnya, jangan kecewain Mama." Kania mengecup kening anaknya itu, lalu berpelukan sesaat, setelahnya masuk ke dalam mobil, membuat Vierra semakin terisak
Vera memeluk kakak laki-lakinya itu, lalu menatap mata Alvan. "Kak, jangan lupain Vera ya, Kakak harus hati-hati, Kakak jangan sampai sakit, jangan lupa telfon juga, Vera akan kangen Kakak, akan kangen dijahilin sama Kakak, akan kangen waktu harus adu mulut sama Kakak, kangen dimanja Kakak, Vera janji kalau nanti vera akan pulang lagi. Bye Kakak, Vera pergi dulu ya." Setelah mengatakan itu, Vera menyusul Mamanya masuk ke dalam mobil.
"Ver.." lirih Vierra saat melihat Vera melewatinya begitu saja. "Ma, apa mama gak mau ucapin salam perpisahan ke Vie juga?" mohon Vierra pada Kania, namun perempuan paruh baya itu tampak tak peduli.
"Bandara Soekarno Hatta ya pak, ayo jalan!" Kania memerintahkan supir taxi, lalu mobil berwarna biru itu melintas menuju tempat yang sudah menjadi tujuan mereka, Bandara.
Vierra berusaha mengejar mobil itu dengan langkah kecilnya, isakannya semakin kencang kala melihat Kania dengan teganya menutup jendela mobil, bahkan sebelum Vierra melambaikan tangannya.
Melihat kerapuhan sang adik, Alvan segera menghampiri Vierra dan memeluknya. "Ssstt.. jangan nangis lagi, ada Kakak. Kakak janji akan jaga kamu, janji akan jadi Kakak sekaligus orang tua buat kamu. Jangan sedih ya?"
Dalam dekapan hangat Kakak laki-lakinya, Vierra mengangguk pasrah. Sudah tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki keadaan. Namun Vierra bersyukur, setidaknya ia masih memiliki Alvan.
Setelah saat itu, Vierra yang berumur 8 tahun dan Alvan yang berumur 12 tahun berjanji untuk saling menjaga dan menguatkan satu sama lain. Alvan akan menjadi Kakak sekaligus orang tua untuk adiknya, dan Vierra akan menjadi adik yang berbakti dan berusaha untuk membanggakan Kakaknya. Keduanya ditinggal, dibiarkan tinggal di dunia yang kejam ini dan dewasa dengan sendirinya.
. . .
Hai, selamat datang di Love is a Dream versi setelah di revisi! Semoga betah sampai ending. Sorry kalau masih ada typo yaa.
Follow instagram @natalialuvita !! Don't forget to vote and comment ya readers! Don't be siders!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is a Dream [END]
Teen FictionSUDAH END, PROSES REVISI. --- Rasa bersalah, penyesalan dan kehilangan. Ketiga hal itu tidak pernah absen menghantui kehidupan seorang Vierra Jovanka "Pergi dari rumah ini, anak pembawa sial" Vierra takut sepi, Vierra takut gelap. Namun kenapa oran...