Menurut lo definisi teman itu apa? Orang yang selalu siap buat diajak main? Orang yang bisa dengerin lo setiap saat? Atau orang yang memberikan seluruh perhatiannya buat lo?“Orang yang bisa buat gue nyaman.” Itu jawaban dari seseorang ketika gue iseng bertanya hal tersebut padanya beberapa waktu lalu.
“Gue hanya berteman dengan orang yang bisa buat gue nyaman. Dan itu kenapa kita bisa berteman. Karena gue nyaman sama lo.” Lanjutnya ketika itu dengan begitu santainya.
Seseorang itu adalah sosok yang sekarang duduk di depan gue. Menikmati gado-gadonya dengan pandangan tak beralih dari ponselnya. Namanya Davina, dan gue lebih suka memanggilnya Davi. Gue kenal sama dia dari semester satu. Kita satu jurusan, tapi beda kelas.
Makan, main, nugas bahkan sampai curhat udah biasa buat kita berdua. Ya, karena kita sama-sama nyaman satu sama lain. Mau ngeluh bisa, mau marah-marah gak jelas udah biasa, sampai ketawa receh bukan hal aneh lagi bagi kita. Gue sama Davi memang seterbuka itu. Bahkan ngelebihin terbukanya gue sama pacar gue sendiri. Dan itu yang membuat hubungan gue dan Davi banyak dibicarakan.
“Ray, lo sama Neta putus gara-gara gue ya?” Pertanyaan Davi memecah keheningan di antara kita.
“Hah! Gimana?” Dengan pandangan masih ke ponsel dan dia tiba-tiba tanya seperti itu, siapa juga yang gak kaget. Ya, Neta itu pacar gue sampai kemarin. Sekarang sudah mantan.
“Hhh..kebiasaan deh lo gak dengerin.” Gerutunya.
“Lha lo juga tiba-tiba tanya tanpa ada awalan.” Jawab gue gak terima. “Lo tanya apa tadi?” Pinta gue. Denger sih gue sebenernya, tapi perlu memastikan aja.
“Ya itu, lo sama Neta putus apa gara-gara gue?” Ulangnya dengan fokus sudah beralih dari ponselnya ke gue. Dia menunggu bagaimana jawaban gue.
“Haha..” Gue gak sanggup nahan tawa ngelihat gimana ekspresinya sekarang, antara takut dan penasaran. “Ngapain juga gara-gara lo? Emangnya lo siapa gitu?” Imbuh gue masih tertawa.
“Ya mungkin gara-gara kita kayak gini, dia cemburu gitu? Atau ternyata secara nggak sadar gue udah ngerusak hubungan lo sama Neta?” Tanya dia bertubi-tubi.
“Ya ampun, Dav, lo punya pikiran kayak gitu darimana coba?”
“Ya ada lah pokoknya.” Jawabnya sambil menusuk-nusuk sisa-sisa gado-gadonya. “Jawab aja sih, Ray, iya apa nggak gitu aja.” Ucapnya dengan ekspresi yang menurut gue lucu.
“Omongannya orang aja lo dengerin. Gue sama Neta putus gak ada hubungannya sama lo kok. Ya, karena kita udah gak bisa jalan bareng aja. Putusnya juga baik-baik aja.” Jelas gue. Padahal kemarin dia orang pertama yang gue ceritain putusnya gue sama Neta setelah hampir satu setengah tahun pacaran.
“Serius?” Tanyanya dengan pandangan menyelidik. Penasaran sih gue, dia dapet omongan kayak gitu dari siapa.
“Gak percayaan banget sih, Dav.” Ucap gue sebelum meminum jus jeruk gue yang tinggal setengah. “Daripada ngomongin yang udah selesai, lo sendiri gimana? Arya udah ngasih kabar ke lo hari ini?” Gue mencoba mengalihkan topik ke hubungan dia sama Arya yang termasuk kelompok LDR.
“Ya gitulah, Ray.” Jawabnya. Selalu jadi tempat curhat Davi, ngebuat gue langsung paham arti ‘ya gitulah’nya itu.
“Tunggu aja, palingan lagi sibuk dia.” Ucap gue sedikit menghibur dia. Davi hanya mengangguk.
Kantin siang itu tak begitu ramai, makanya kita berdua bisa duduk di sini dengan santai. Sambil menunggu Davi menyelesaikan makannya, gue membuka ponsel, mengecek ada pesan atau tidak. Dan melihat angka 13:37 yang tertera dilockscreen, mengingatkan gue pada janji gue sama Arwino, teman sekelas gue untuk mengerjakan tugas kelompok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Mereka
FanficTentang hidup, persahabatan dan bagaimana mereka bertahan. Semua akan mereka ceritakan. Note: Cerita ini tidak berkesinambungan perbagiannya, karena tiap bagian tokohnya berbeda jadi ceritanya juga berbeda. Tapi tokohnya yang berkesinambungan. Pokok...