4.Tentang Adhena.

702 34 0
                                    

Dhena menatap pintu rumahnya yang dihadang dua lelaki tengil yang selalu mengusik hidupnya. Walau dia sayang, dan mereka juga sayang, tapi Dhena kadang ilfeel melihat tingkah mereka.

"Dari mana?!" Tanya Josua SOK tegas.

"Dari mana mana hati ku senang." Jawab Dhena asal.

"Lo taukan kak, ini jam berapa?" Gatama menimpali sambil mengarahkan telunjuknya kearah jam tangannya.

"Jam 9 lewat 10." Jawab Dhena santai.

"Yaudah, kalau Lo tau ini udah malam, kenapa baru pulang? Kalau lo diapa apain diluar sana gimana?" Joshua berkacak pinggang sambil menatap adiknya marah.

Sedari tadi dia memang benar benar cemas dimana keberadaan adik perempuannya itu sampai larut malam. Dia takut terjadi sesuatu pada adiknya itu. Apalagi handphone Dhena dimatikan.

"Gue dianterin pulang, kok. Sama teman," papar Dhena. Dia tahu bagaimana sikap posesif Abang dan adiknya itu.

"Cowok apa cewek?" Tanya Gatama. Dhena melongos kesal, sampai kapan dia akan diintrogasi? Malah diinterogasinya diluar lagi.

"Waria," ceplos Dhena.

"Serius?" Josua memandang Dhena tajam.

"Cewek,"

"Nih kan, kalian sama sama cewek, terus boncengan larut malam, kalian gak takut ada apa apa?" Gini nih, kalau Joshua kambuh posesifnya, mengalahkan Mak Betti.

"Kan buktinya nggak ada apa apakan, lagian gue juga udah dewasa." Ucap Dhena malas sambil bersedekap dada.

"Kalau lo udah dewasa, tinggi Lo gak bakal segini gini ajah," ucap Joshua berkacak dengan semburat nada mengejek.

"Ntah, kalau udah tinggi, baru Lo boleh ngaku dewasa." Kan kan, mereka selalu menyudutkan Dhena.

"Kenapa, sih sama tinggi gue? yang penting gak bodoh ajah udah syukur," tukas Dhena kesal.

"Lo ngaku pintar? Jelas jelas lo gak dapat pembagian otak, ngaku pintar." Ini mulut cabe Gatama. Yang minta disumpal cabe dari Dhena, mungkin.

"Kalau gue gak pintar, gak bakal bisa masuk UI bego. Lo ajah belum tentu masuk," komentar Dhena sambil tersenyum mengejek Gatama.

"Jangan pemer, deh. Jelas jelas lo masuk UI cuman karena kebetulan." Joshua mengakhiri, sembari masuk kembali kedalam rumahnya dengan tatapan dingin.

Kalau Joshua udah memasang tampang dingin seperti itu, berarti itu pertanda  abangnya itu lagi marah padanya.

"Mampus lo! Bang Jos marah, kan," Gatama menggerutu, yang kemudian, mengikuti langkah Joshua.

Dhena mendengus kasar dari ambang pintu, lalu mengangkat tangannya untuk memijat pelipisnya pelan. Hari ini dia benar benar lelah. Belum lagi dia harus masuk kampus besok.

Deru suara motor dari arah depan rumahnya, membuat Dhena makin melongos. Dia tahu betul suara motor siapa yang ada disana. Dia menoleh menatap rumah itu malas. Dan benar saja, ada Arka disana yang sedang berusaha membuka jaket kulit dan sarung tangannya.

Dari arah yang dia tatap, Arka balik memandangnya sambil tersenyum. Tunggu, Dhena heran dengan senyuman pria itu. Baru tadi dia menyakiti hati Dhena didepan semua orang, dan seenak jidat lelaki itu dia malah memasang senyuman tengil seakan tak ada apa apa yang terjadi antara mereka.

Dhena tak membalas senyuman itu. Sebaliknya, dia menatap dingin Arka sambil  berkalih masuk kedalam rumahnya. Kemudian, menutup pintu ruang utama kasar seolah melampiaskan amarahnya pada gagang pintu itu.
.
.
.
"Sumpah! Gue malas banget buat belajar make benda semacam spektrofotometer(1) kayak gini! Rada susah, gimana kalo masuk biosains (2)." Kara, gadis bertubuh semampai itu menggerutu dengan benda didepannya.

1. Alat yang fungsinya untuk menguji kadar urine, dan uji glukosa.

2. Nama pembelajaran bagi anak fakultas kedokteran semester 1.

"Ikutin ajah Kar,  lo mau pre-test lo tentang praktikum jelek?" Ucap Dhena sembari melipat ujung jas laboratoriumnya yang sedikit kebesaran.

"Iyah, deh!" Ujar Kara pasrah.

Mereka mulai beralih mengikuti instruksi dosen didepan lab, yang menjelaskan fungsi dari tiap detail benda itu. Disamping sang dosen yang juga merupakan seorang dokter spesialis luka dalam. Sang dosen ditemani  sepansang kakak tingkat yang merupakan asisten dari dosen tsb.

Dhena sibuk memutar mutar benda prakteknya, sambil mendengar penjelasan dosen. Fokusnya tak menyadari sang senior berjalan ke depan meja Dhena. Seniornya itu tersenyum miring sambil memperhatikan gadis didepannya yang tengah bingung menggunakan benda praktikum.

"Mau gue ajari?" Ujarnya buka suara. Dhena sedikit berjengit kaget sambil mendongak kearah seniornya.

Selanjutnya, Dhena hanya mendengus kasar, sembari beringsut menggeser tubuhnya kesamping menjauh dari hadapan kakak tingkatnya itu, dia Arka.

Namun, lelaki jangkung itu tak segera menyerah. Dia kembali menghadap Dhena yang terus fokus pada alat prakteknya.

"Yakin gak mau gue ajari?" Tanya Arka sarkas.

Dia mencondongkan wajahnya kearah Dhena masih dengan senyum miring andalannya. Tangannya menopang diantara alat praktek Dhena hingga jarak mereka hanya terpaut 1 jengkal.

Dhena sempat terkesiap melihat wajah sempurna Arka. Apalagi tahi lalat yang berada tepat dibawah mata pria itu, yang menambah kesan manisnya. Rahangnya yang tegas, mata hitam legam yang menghunus, hingga bibir ranum yang seksi.

Namun, seperkian detik Dhena langsung tersadar dari pikirannya yang mengarah pada titik terendah. Dan diwaktu itu juga, tangan Dhena refleks melayang, menampar keras wajah putih Arka yang langsung memerah.

"Ah, maaf kak, gue gak sengaja." Ucap Dhena menyadari apa yang diperbuat tangannya.

"Lo Semarah itu sampai nampar gue?" Nada bicara Arka berubah sedikit tajam. Tangannya bergerak mengusap pipinya yang sedikit panas.

Bukan, Dhena bukannya Semarah itu pada Arka.  Dia hanya berniat menjauhkan wajah Arka saja, agar pikirannya tak mengambang kemana mana.

"Bukan gitu kak," kilah Dhena jujur, sambil mengibaskan tangannya diudara.

"Terus?"

Tidak mungkinkan Dhena berkata hal yang sebenarnya, jika dia tidak ingin dianggap wanita gatal. Namun, tidak mungkin juga dia mengiyakan ucapan Arka, jika dia ingin dianggap junior yang buruk.

"Bicara sama gue setelah lo siap siaran," titah Arka menyelesaikan kalimatnya, sebelum dia menjauh dari meja Dhena.
.
.
.
Dhena melongos malas sambil menutup pintu studio siarannya. Wajahnya kusut setelah membacakan tiap berita yang panjangnya sepanjang perjalanan hidup Dhena.

Dan yang lebih membuat Dhena lebih kesal, kakak tingkat yang beberapa hari ini selalu dia lihat, berada tepat dibangku koridor sambil memainkan rubik segitanya.

Dhena tak berniat membuyarkan kegiatan lelaki itu, dia hanya ingin secepatnya pergi dari sana. Namun, belum sempat gadis itu melangkah, pria itu mendongak tak kalah kakinya ikut berdiri.

"Temani gue ke supermarket." Pria itu berucap penuh titah. Dhena yang mendengarnya hanya dapat melongos sambil berdecak.

"Gue masih punya banyak kerjaan kak," papar Dhena setengah berbohong.

"Cuman butuh 1 jam,"

"Kak Arka emang mau ngapain?" Tanya Dhena mulai terlihat ramah.

"Kesupermarket yah pastilah buat belanja," kan cowok itu balik ngeselein lagi. Kurang alasan apa lagi Dhena untuk menendang laki laki itu dari muka bumi?

"Gue malas," ketus Dhena.

"Lo belum tau satu fakta tentang gue kan?" Arka tersenyum miring. Entahlah, Dhena tak mengerti dengan lelaki rubik itu.

"Gue gak suka penolakkan."

Selanjutnya Arka menarik tangan Dhena paksa. Menyeret gadis bertubuh mungil itu mengikuti langkah besarnya.
.
.
.
Demi siempunya nama Dhena akhirnya sipenulis memutuskan untuk mempublish bagian 4 cerita.

Semoga kalian suka dan jangan lupa tinggalkan jejak dung karena cerita ini juga butuh asupan vote😍😍

Tentang Adhena (Complete√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang