"Ini."
Guru mata pelajaran Biologi mereka baru saja keluar ketika Anjani menghampiri Anza. Gadis itu meletakkan satu bendel kertas berukuran A4 di meja Anza. "Apa ini, Anjani?"
"Angket ekstrakurikuler siswa," jawab Anjani singkat. "Bu Lia minta angketnya diserahkan kalau udah terkumpul semua. Pokoknya, nggak boleh ada yang pindah ekstra lagi," Anjani melanjutkan penjelasannya.
Anza membaca angket yang telah diisi teman-teman sekelasnya. "Saya belum isi."
Anjani menyerahkan selembar angket lagi. "Isi aja dan langsung serahkan ke Bu Lia."
Anza mengangguk sambil mengulas senyum. "Terima kasih, Anjani."
Anjani tidak membalas. Ia berbalik untuk meninggalkan meja Anza. Tapi baru dua, langkah Anjani sudah kembali ke hadapan Anza lagi. "Jangan buat masalah lagi. Aku nggak mau lagi menggantikan pekerjaanmu sebagai ketua kelas," kata Anjani tiba-tiba.
Anza mengerjap bingung. Ia hanya mengangguk sebagai respon. Percuma membalas perkataan Anjani. Kelihatannya gadis itu tidak mau dibantah.
"Aneh," Zuhdan yang sedang merebahkan kepala pada lipatan tangan berkomentar. "Bukannya dia ngebet jadi ketua kelas. Begitu disuruh ngegantiin selama tiga hari langsung protes."
Anza tidak menanggapi. Anza merasa tidak punya hak mengomentari Anjani. Gadis itu sudah berbaik hati menangani tugas Anza sebagai ketua kelas selama Anza tidak berangkat. Seharusnya Anza berterima kasih, bukan mengeluhkan sikap Anjani. Toh, selama ini Anjani memang selalu bersikap seperti itu, terutama pada Anza.
"Zuhdan," Anza menyerahkan beberapa buku catatan yang dipinjami Zuhdan. "Makasih bukunya."
Zuhdan hanya menganggukkan kepala dan memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tas. "Kok kemarin lo nggak langsung chat gue aja kalau perlu catatan?" tanya Zuhdan penasaran.
"Kamu kan sibuk mau ada seleksi tim basket. Jadi, saya minta tolong Kakak Elbi," Anza beralasan.
Zuhdan mengernyit. Merasa jawaban Anza tidak menjawab rasa penasarannya. "Kan lo bisa pinjem setelah masuk sekolah?" cecar Zuhdan tidak mau kalah.
"Saya nggak mau ketinggalan pelajaran." Karena tidak ingin Zuhdan bertanya lebih lanjut, Anza pun ganti menanyainya. "Gimana sama persiapan seleksi tim basket?"
Zuhdan hanya menggedikkan bahu. "Yah, gitu-gitu aja," jawabnya sedikit malas. "Lo beneran nggak mau ikut seleksi?" tanya Zuhdan.
Anza menggeleng. "Sayang banget. Padahal Bang Rio merekomendasikan lo," komentar Zuhdan. Anza hanya tersenyum. Meski mantan kakak kelasnya di SMP itu merekomendasikan Anza, pemuda itu tidak yakin diterima menjadi anggota tim basket. Erlang masih menjadi senior di sana, masih menjadi ketua tim sebelum terpilihnya ketua yang baru. Mustahil Anza diterima mengingat hubungannya dengan Erlang tidak bisa disebut baik.
"Lagi pula saya sudah ikut ekstra jurnalistik," kata Anza. "Ingat tadi Anjani bilang apa. Bu Lia bilang tidak ada yang boleh pindah esktrakurikuler lagi."
Zuhdan menggedikkan bahunya sebagai jawaban. "Yah, kali aja kan lo mau nyoba. Sayang banget skill basket lo nggak dimanfaatkan."
Anza hanya tersenyum menanggapinya. Daripada basket, sejujurnya Anza lebih menyukai sepak bola atau futsal. Akan tetapi, Anza memang sempat mendalami basket semasa SMP. Ia mengikuti ekstra basket pun bukan karena kehendak pribadi, melainkan atas saran sang Papi. "Ikut basket aja, Emas. Biar tinggi gitu, kayak Papi," kata Papinya saat itu. Dan tanpa pikir panjang Anza menurut saja.
"Za," panggilan Zuhdan memaksa Anza mengikuti arah yang ditunjuk pemuda itu dengan dagunya. Tepat di ambang pintu kelas berdiri Elbi yang sedang melambaikan tangan ke arah Anza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?