Senja di kota Semarang berwarna oranye, melepas matahari menyelami peraduannya. Menambah elok suasana jalanan yang menghubungkan antara Faeza Group dan Masjid Agung Kiai Ma'sum.
Wira mengayuh sepeda sesantai mungkin. Menikmati angin dan sisa-sisa berkas sinar surya yang memanjakan mata. Namun, ia segera menghentikan kayuhannya, turun dari sepeda ketika bertemu seorang perempuan di persimpangan.
"Assalamualaykum, mau ke Masjid Agung ya?"
"Sampeyan?" Nisa kaget. Lagi-lagi kemunculan Wira selalu diluar dugaannya.
"Segitu kagetnya to sampai lupa jawab salam." Wira tersenyum simpul. Menatap sejenak ke arah Nisa untuk kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan.
"Astaghfirulloh, waalaykumussalam warohamtullah, Mas Wira!" Nisa menelungkupkan kedua tangan di depan dada tanda memberi salam. "Mau ke Masjid Agung ya?"
Tak langsung menjawab, Wira tersenyum. "Lucu kamu Nis, itu kan pertanyaanku."
"Oh iya, tadi belum Nisa jawab. Iya ini mau ke Masjid Agung. Sampeyan dari mana?"
"Dari sholat ashar di Masjid Darussalam seberang sana, sekarang mau sholat maghrib ke Masjid Agung, habis itu sholat isya di Pondok Ar Rayan."
"Lho kok pindah-pindah?"
"Saya sering ingat dulu Pak Kiai bercerita tentang anjuran memperbanyak tempat pelaksanaan sholat sebagaimana yang dinyatakan oleh Bukhari dan Al Baghawi. Karena tempat yang digunakan untuk sujud, akan menjadi saksi untuk kita. Sebagaimana Allah juga berfirman dalam surah Az Zalzalah ayat keempat yang artinya, pada hari itu bumi menceritakan beritanya."
"Masyaa Allah." Nisa tertegun mendengar penuturan Wira. Ia menatap laki-laki yang berjalan di sampingnya lumayan lama. Memperhatikan garis muka dan cara ia memandang sesuatu. Sejuk, itu yang Nisa rasakan. Sementara Wira tengah fokus memperhatikan jalan.
Tak lama, merekapun sampai di depan sebuah bangunan bertuliskan Masjid Agung At Taubah di gerbangnya. Mereka masih berjalan beriringan sampai berpisah di halaman masjid. Wira memakirkan sepeda onthelnya kemudian mengambil wudhu. Nisa meletakkan tas jinjingnya di loker kemudian mengambil wudhu.
Terlihat Pak Kiai berdiri di tepi pintu masuk masjid, tengah memperhatikan Wira sejak beberapa waktu lalu.
"Assalamualaykum, Bah!" Wira segera meraih tangan Pak Kiai, menjabat, lalu menciumnya.
"Waalaykumussalam Le! Bareng siapa kamu Le?" Pak Kiai menatap Wira serius.
"Oh tadi itu Annisah, Bah." Wira menjawab sambil merapihkan peci yang baru saja ia pakai. Tanpa menatap Pak Kiai.
"Sudah berapa kali jalan bareng Nduk Nisa?" Pak Kiai mengintrogasi.
Wira menarik napas, tersenyum simpul manatap Pak Kiai, "baru kenal, Bah."
"Bukan apa-apa, Abah hanya khawatir kamu jatuh cinta sama Nduk Nisa." Pak Kiai menepuk bahu Wira.
Wira hanya tersenyum menanggapi kalimat Pak Kiai, kemudian mereka berjalan beriringan menuju shaf sholat.
***Pondok Yatim Ar Rayyan memiliki banyak ruangan. Enam ruangan kelas dibagi menjadi tiga ruang untuk santriwan dan tiga ruang untuk santriwati. Aula pertemuan, dua ruangan untuk pengajar yang dibagi menjadi satu ruang untuk pengajar perempuan, dan satu lainnya untuk pengajar laki-laki. Ruangan kamar untuk santri, perpustakaan. Dan yang paling besar terletak di sudut pondok adalah ruangan pribadi Kiai Ma'sum. Beliau menghabiskan waktu luangnya di ruangan tersebut untuk membaca buku, menulis, berdzikir, apa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"