Melamar Annisah

157 15 1
                                    

"Pak Kiai bersedia kan memberikan pendapat tentang perempuan pilihan Rayhan? Karena menurut kami, Pak Kiai pasti mengenal dia dengan baik." Bu Hani turut bicara.

"Inshaa Allah, kalau Bapak kenal pasti Bapak beri pendapat." Sambil tersenyum, menatap Pak Rama dan Bu Hani, kemudian menyentuh lagi pundak Rayhan, "Jadi, siapa nama perempuan itu Le?"

"Annisah Nurul Rizqi."
***

Semenjak mengetahui nama perempuan di hati Rayhan, Pak Kiai merasa bahagia disatu sisi, disisi lainnya terasa bingung hendak berbuat apa. Sehingga Pak Kiai meminta beberapa hari penangguhan waktu untuk memutuskan apakah beliau bersedia terlibat dalam perencanaan pernikahan Rayhan.

Benar beliau bahagia karena mengetahui pilihan Rayhan adalah Nisa, gadis cantik nan anggun, lemah lembut dan sopan santun. Namun suara hati yang lain dari beliau menginginkan Nisa menjadi pendamping Wira. Pak Kiai pernah mengutarakan kepada Wira bahwa beliau memiliki kandidat calon istri yang tepat untuknya.

"Allahuma ya muqolibal qulub." Sudah berkali-kali beliau mengucapkan kalimat yang sama, di atas sajadah sambil menggenggam erat tasbih di tangan kanan.

"Hamba hanyalah manusia biasa Gusti, ndak bisa cenderung kepada dua hal sekaligus dalam satu waktu. Ndak bisa menempatkan dua hati dalam satu rongganya." Beliau berucap pelan kemudian kembali diam dalam waktu yang cukup lama. Mulutnya komat-kamit membaca lantunan dzikir sementara matanya terpejam, membenamkan diri dalam memuji kebesaran Allah. Sesekali dalam benaknya terlintas tentang Rayhan dan Wira. Tak dapat terpungkiri hatinya hanya condong ke satu sisi yaitu, Wira. Seperti yang ia keluhkan, tak bisa menempatkan dua hati dalam satu rongganya. Tak bisa memporsikan Rayhan dan Wira dengan cinta yang sama rata.

Di tengah sayup-sayup lantunan kalam Allah dari masjid pondok menjelang subuh, beliau membuka matanya terlintas tentang Nisa.

"Bukankah aku belum tau tentang hati Nduk Nisa? Bukankah aku bisa menanyakan kepadanya tentang adakah laki-laki di hatinya? Baik, aku akan memberi keputusan pada nak Rayhan setelah berbincang dengan Nduk Nisa maghrib nanti." Beliau seperti menemukan petunjuk dari Allah. Kebingungan hatinya seketika sirna. Wajahnya mulai kembali bercahaya, langkahya mantap. Beliau beranjak keluar pondok menuju Masjid Agung untuk mengisi kuliah Fajar.
***

Pukul 03:30, lagi-lagi Nisa kembali membaringkan badan seusai sholat tahajud. Sebenarnya, ia terpikir tentang mimpinya akhir-akhir ini bertemu bapak. Bapak selalu menyampaikan pesan bahwa Nisa harus menuruti kata ibu.

Ibu adalah Tuhan yang ada di hadapanmu. Kalimat bapak dalam mimpi terngiang-ngiang. Ia manatap langit-langit kamar yang redup berharap menemukan gambaran wajah bapak yang ia rindukan.

Mana calon mantu ibu, alih-alih menemukan gambaran wajah bapak, lagi-lagi gurauan Bu Marni tentang calon menantu memnuhi pikirannya.

Apa bapak sedang menyuruhku menikah juga sama seperti ibu? Nisa membatin sambil tersenyum seorang diri.

Lalu apa maksud bapak menurut sama ibu? Sama calon pilihan ibukah? Memangnya ibu punya calon? Kali ini Nisa memperlebar senyum.
***

Seperti ada isyarat baik dari alam, angin sepoi-sepoi dan langit oranye di atas Masjid Agung Kiai Ma'sum.

Pukul 17:30 di Masjid Agung yang mulai ramai. Beberapa orang datang untuk singgah menunaikan sholat maghrib sebentar lagi.
Pak Kiai berdiri di salah satu tepian pintu masuk Masjid Agung, sambil tersenyum menerima jabatan tangan dari setiap jamaah yang hendak memasuki masjid. Pandangannya berputar ke segala arah seperti sedang menunggu kehadiran seseorang. Ya, beliau menunggu Nisa.

Tak lama, pandangannya tertuju ke gerbang Masjid Agung, beliau mendapati Nisa memasukki gerbang. Dan betapa kagetnya beliau ketika menyadari ada lelaki menuntun sepeda, berjalan di samping Nisa.

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang