Flash Fiction
"Mak...."
"Mak... Mak," panggil seorang bocah berumur 6 tahun dari kejauhan saat melihat ibunya yang tengah mengangkat pakaian.
"Mamak," panggilnya lagi mulai berlari dengan kaki mungilnya, namun karena tak memperhatikan jalan, ia jatuh tersungkur. Tepat di samping kotoran kerbau milik warga yang sering berlalu-lalang.
Sang ibu yang mendengar suara itupun langsung menoleh dengan terkejut, pun dengan bocah yang memakai kaus hitam itu, ia memandang ibunya terkejut bercampur rasa takut. Sadar dari keterkejutan, Ani pun memanggil sang anak seolah tak terjadi apa-apa. Melangkah dengan ragu ia menghampiri ibunya, "Mak," panggilnya sambil menunduk saat berdiri tak jauh dari wanita yang memakai jilbab hitam itu.
"Kenapa lari-lari?" tanya Ani sambil tetap melanjutkan aktifitasnya.
"Anas takut, kalau Anas nggak cepet-cepet samperin Mamak nanti Mamak pergi kaya Bapak," Ani mematung mendengar penjelasan sang anak yang mengungkit perihal kematian suaminya.
Setelah mengontrol ekspresinya, wanita berumur 28 tahun itupun menaruh pakaian yang telah ia ambil separuh dari jemuran ke dalam keranjang. Ani lalu berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Anas. "Mama kan nggak kemana-mana, emang kamu mau bilang apa?"
Melihat ibunya tak marah, senyum lebarpun terbit di wajah anak kelas 1 SD itu, sambil mengulurkan tangan ia berujar, "ini Mak, tadi Anas dikasih uang sama Om Toni."
Ani tersenyum mengerti melihat anaknya yang menunjukan uang 20 ribu. "Bilang makasih nggak?"
"Bilang Mak, kan Mamak yang ngajarin," balasnya sambil tersenyum sumringah karena tak kena marah. Ani pun menyuruhnya masuk ke dalam, sementara ia melanjutkan aktifitasnya yang tertunda. Setelah selesai ia pun berbalik dan melihat Anas yang masih berdiri di tempatnya.
"Mak, bajunya kena eek kebo," tutur Anas dengan wajah polos.
‘Hening’
Antara tertawa dan marah Ani justru memilih tersenyum dan meminta anaknya untuk mandi, namun Anas tak sedikitpun bergerak. Senyum lebar bahkan masih tercetak di wajah tampannya, “Mak, makasih ya.”
Dengan bingung Ani mendekat, “kenapa Anas bilang terimakasih ke Mama?”
“Kata Mamak kalau ada orang yang baik sama Anas, Anas harus bilang makasih. Mamak kan baik sama Anas, nggak marahin Anas. Mak tadi di kali si Edo jatoh, teruskan ya Mak, Anas tolongin. Tapi si Endin, Eko, Enur, Bowo malah ketawa Mak. Kata Bapak kalau ada orang yang kesusahan kita harus tolongin, tapi kenapa mereka ketawa-ketawa Mak?”
Menyimpan keranjang pakaiannya, Ani lalu mensejajarkan tingginya lagi dengan Anas. Menatap tepat pada netra yang kini memandangnya penasaran, disaat seperti inilah ia paling membutuhkan sosok Asep, almarhum suaminya. Sambil menahan kesedihan, Ani mengusap pucuk kepala anaknya, “mungkin, mereka belum tau kalau Edo butuh bantuan.”
“Tapikan jatoh itu nggak lucu Mak? Kenapa mereka ketawa-ketawa?” tannyanya yang membuat Ani menggigit bibir bagian dalam tanpa sadar. Yang ditanyakannya memang sederhana, namun sulit untuk dijelaskan pada anak seusianya.
“Anas laper nggak? Mamak udah masak sayur kesukaan Anas. Ini bajunya juga bau, emang Anas nggak mau mandi?” tuturnya mengalihkan perhatian sambil mencubit sayang hidungnya.
“Hehehe... laper, Anas mandi ya Mak,” balasnya lalu berlari ke dalam. Sepeninggal sang anak, Ani hanya mampu mendesah kecewa dengan jawaban yang ia berikan tadi. Dan itu membuatnya berniat untuk lebih banyak membaca buku lagi. Semakin besar Anas semakin banyak pula pengetahuan yang harus ia kuasai. Wanita yang berprofesi sebagai guru honorer itu tak ingin anaknya merasakan apa yang pernah ia rasakan, kesulitan dalam mencari ilmu.
Keterbatasan yang dulu ia alami karena orang tuanya hanya bekerja sebagai buruh tani tak lantas membuat Ani menyerah dalam mencari ilmu. Hal itu justru semakin membangkitkan semangatnya dalam dunia pendidikan, sama seperti sang idolanya, R.A. Kartini.
Namun terkadang hidup tak seindah yang ia bayangkan. Di tahun kedua kuliah Ani terpaksa mengubur mimpi-mimpinya. Sang ayah yang merupakan tulang punggung keluarga meninggal karena sakit. Merasa bertanggung jawab karena ia anak tunggal, Ani pun melamar di sebuah Sekolah Dasar yang tak jauh dari rumahnya. Disanalah ia bertemu dengan sang pujaan hatinya, Asep.
Dari sosok itu pulalah Ani menyadari, bahwa ilmu bukan hanya bisa ia dapatkan di kampus yang dulu ia anggap sumber ilmu. Tapi dari anak-anak yang saat itu ia ajaripun Ani merasakan limpahan ilmu yang seharusnya disyukuri selama ini. Sikap polos mereka seringkali membuatnya terenyuh dan merasa malu sendiri. Sebagai seorang dewasa seharusnya ia lebih bersikap dewasa, namun justru ia sering kali mengeluh dan kecewa terhadap kondisi keluarganya.
Melihat semangat anak didiknya membuat Ani lebih bersemangat dalam menjalani hidup. Mimpi yang dulu terkubur kini tumbuh kembali namun digantikan dengan mimpi yang berbeda. Di tahun kedua mengajar, Asep yang merupakan idola guru-guru lain termasuk dirinya tiba-tiba melamar. Siapa sangka cinta yang hanya diketahui oleh ia dan Tuhannya ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Dan dari pernikahan itupula mereka dikaruniai seorang putra bernama Anas Hizbullah.
Kebahagiaan yang ia pikir akan bertahan selama puluhan tahun harus terkikis. Di usia anaknya yang baru 5 tahun Asep wafat karena sebuah kecelakaan. Yang mana 5 bulan sebelumnya ia juga telah kehilangan ibunda tercintanya.
Terlalu larut dalam mengingat masa lalu, Ani sampai lupa pada masa depannya yang saat ini berada di dalam rumah. Seseorang yang mana akan membangkitannya bahkan disaat ia berada dalam titik terendah di hidupnya. Sosok yang mana doa dan harapan selalu ia lantunkan pada sang Esa untuk segala kebaikannya.
Berjalan dengan cepat sambil membawa keranjang Ani melihat sosok yang kini tengah memakan masakannya. “Udah mandi? Enak?” tanyanya pada sang anak yang hanya dijawab anggukan antusias.
“Abis ini ikut Mama ke rumah bu RT ya?” Anas lagi-lagi hanya mengangguk.
Selesai membereskan rumah dan solat ashar, ia pun pergi untuk melakukan aktifitas mingguannya. Bersama para wanita yang lain ia mengusulkan untuk membuat organisasi keputrian yang kegiatannya yakni mendaur ulang sampah, baik organik maupun non organik. Aktifitas itu telah berjalan selama dua bulan, dan sampai saat ini mereka telah menghasilkan beberapa kerajinan yang terbuat dari limbah plastik. Sementara sampah organik dijadikan sebagai pupuk.
Disepanjang perjalanan Ani mengumpulkan sampah plastik yang berserakan, hal yang memang kerap ia lakukan. “Mak, kapan nyampenya kalau mungutin sampah terus?” tanya Anas yang juga ikut membantu mengumpulkan sampah dan memasukannya ke dalam plastik yang dibawa sang ibu. Sambil terkekeh Ani menjawab, “nanti juga nyampe.”
“Emang kenapa harus dikumpulin? Yang lain juga nggak Nak,” ujar Anas yang mulai bosan.
“Emang Anas suka ngeliat banyak sampah kaya gini?” Anas hanya menggelengkan kepalanya.
“Allah juga nggak suka. Mangkanya kita harus ngebersihin ini biar Allah suka. Anas maukan disukai dan disayang sama Allah?” sambil memanyunkan bibir Anas mengaguk. Ani lalu mengajaknya duduk di saung pos ronda.
“Capek ya?” tanyanya yang hanya dijawab gelengan sang anak dengan ekspresi sama. Walaupun heran dengan tingkahnya, Ani memutuskan untuk menjelaskan alasan ia selalu mengumpulkan sampah, walaupun tidak benar-benar bersih, setidaknya ia berusaha untuk mengurangi.
“Manusia itu diciptain bukan untuk ngerusak bumi. Allah itu udah ngasih banyak nikmat sama kita. Tubuh sehat, itu juga nikmat. Kalau lingkungan yang sehat itu nikmat atau bukan?” lagi-lagi Anas hanya mengangguk.
“Nah, Anas emangnya nggak mau disayang sama Allah?” tanyanya sambil memandang wajah sang anak yang mulai memerah.
“Anas kenapa?” ujarnya heran bercampur khawatir, namun Anas hanya menunduk.
“Anas?” panggilnya pelan seraya berdiri sambil memegang tangannya.
“Kata Mamak, Bapak pergi karena disukain sama disayang Allah, nanti kalau Anas disayang Allah Anas bakal pergi juga, nanti Mamak sama siapa?” jelas Anas sambil mengeluarkan air mata. Ani tertegun bukan main mendengar penuturan jujur dari anaknya.
Memandangnya dengan haru, ia lalu mendekap Anas dengan erat, tak memperdulikan adanya orang yang berlalu-lalang.
Ya Allah hanya untuk hari ini. Aku mohon, biarkan aku menangis di depan anakku, lirihnya dalam hati.
THE END