Mereka menyebutnya reinkarnasi Art Tatum karena permainan pianonya.
Ketika dia tengah duduk di hadapan piano klasik di sebuah auditorium di tengah kota. Dia terlihat berkonsentrasi seakan-akan satu helai rambut dijatuhkan pun akan memecahkan konsentrasinya. Sebelah kakinya mengetuk mengatur tempo serta tangannya yang melompati tiap tuts hitam-putih.
Satu jarinya melewati lima tuts, menuju tuts nada tinggi untuk mengakhiri lagu yang dimainkan. Tepuk tangan riuh mengisi auditorium sekolah, dan seorang gadis duduk disana, duduk dengan bangga ke balik mata coklat kehitaman pianis itu yang sama-sama menatapnya. Dia telah duduk berkali-kali seperti ini, mengikuti kemana pun sang pianis pergi, mendengar tiap simfoni yang dibawakannya.
"Sheera." Adrian turun dari panggung, segera mendekap Sheera yang telah turun dari kursi penonton ke belakang panggung.
"Kau keren, seperti biasa," ucap Sheera, gadis itu tersenyum bangga. "Heran, mengapa kau tidak menerima tawaran masuk Juilliard? Sudah jelas kau bisa mengembangkan kemampuanmu disana."
Adrian mengedikkan bahu tanda dia tak peduli. Dia berjalan melepas jasnya dan duduk di atas sofa sambil memegang segelas soda. "Aku masih ingin di SMA. Aku tidak mungkin mempercepat tahun pelajaranku hanya untuk Juilliard."
"Jelas-jelas, Juilliard itu lebih keren daripada apapun." Sheera menghembuskan nafas pelan, duduk di samping Adrian yang tengah menengadahkan kepalanya dengan mata terpejam.
"Kau menyuruhku untuk masuk ke Juilliard. Tapi kau sendiri tidak mau masuk Juilliard."
Sheera mendecakkan lidahnya. "Karena aku belum percaya diri sepertimu. Lagipula permainan cello-ku tidak sekeren permainan pianomu."
"Kita bisa melatihnya dari sekarang. Aku akan menerima tawaran masuk Juilliard, asalkan kau ikut audisinya." Adrian bangkit berdiri, menyunggingkan senyum miring favorit Sheera, kemudian menghilang di balik kamar ganti.
Beberapa bulan lalu, ketika Sheera tengah membantu Mrs. Monteg–Ibu Adrian–memasak, Adrian mendapat kiriman surat dari Juilliard yang isinya beasiswa masuk Juilliard tanpa ikut audisi. Alih-alih senang, Adrian justru berpandangan datar seakan-akan itu bukan sesuatu yang keren.
Sheera menarik nafas. Dia tidak mungkin ikut audisi masuk Juilliard karena baginya, Juilliard terlalu sulit digapai. Dia bukan Adrian dengan pianonya. Sheera hanya seorang gadis biasa yang bisa sedikit memainkan cello.
***
Sheera menganggap kalau sekolah adalah satu-satunya tempat di mana dia bisa memainkan cello sepuasnya. Baru beberapa kali dia memainkan cello di rumah, ibu tirinya akan memarahi dia dengan alasan kalau bermain cello cukup mengganggu pendengarannya. Ibu tiri Sheera punya masa kelam sebelum dia bertemu dengan ayah Sheera. Suami ibu tirinya yang telah tewas suka bermain cello. Dan menurutnya, akan membuat dia mengingat lagi.
Mengingat kata Adrian kemarin di auditorium sekolah, Sheera menyempatkan waktu pulang sekolah untuk bermain cello di ruangan musik yang kebetulan sepi. Sheera mendudukkan tubuhnya bersama cello yang ada di deretan alat musik di ruangan. Tangannya mulai menggesekan busur cello sementara tangan satunya lagi mengatur kunci nada. Matanya terpejam, terlalu terhanyut dalam melodi yang dia mainkan.
Sheera bermain cello seakan-akan itu adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan. Bulu matanya bergetar seiring dengan Bach yang dimainkannya dengan baik. Rambut Sheera yang berwarna coklat gelap terbebas kesana kemari karena kepalanya yang tidak bisa diam. Seperti dalam film action di mana karakter menghindari peluru tembakan.
Setelah belasan menit, akhirnya Sheera berhenti dengan keringat yang mengucur di pelipisnya. Ruangan terasa hening dan suara cello Sheera masih berterbangan di ruangan, menyisakan kesenyapan lama yang mencekam. Sheera membuka sepasang matanya. Dan tanpa sadar, Adrian telah ada disana. Tersenyum lebar sambil memandang Sheera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
Romansa“Word spread because word will spread. Stories and secrets fight, stories win, shed new secrets, which new stories fight, and on.” ― China Miéville